Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya.
Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja.Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlukannya saat ini adalah berteman dengan anak seusianya, bukan dengan buku-buku tebal seperti yang berada di atas meja di depannya sekarang.Alexant menjatuhkan kepalanya di atas sebuah buku yang berada tepat di depannya. Buku itu setebal satu jengkal orang dewasa. Jangan pernah berusaha menebak apa isinya karena kau tidak akan menyukainya.Buku itu hanya berisi tentang etika dan adab kesopanan, serta hal-hal yang membosankan lainnya. Coba saja kau pikirkan, seorang anak berusia sepuluh tahun dijejali dengan etika dan adab serta berbagai macam peraturan yang seharusnya dikonsumsi oleh orang dewasa. Alasan mereka pun sangat klise, sebab dirinya adalah seorang putra mahkota yang kelak akan menjadi raja dan memimpin Namira. Mereka selalu mengatakan itu berulang-ulang setiap harinya, seolah berusaha mendoktrinnya agar ia mau menuruti semua yang mereka katakan.Terkadang ia iri melihat George atau anak seusianya yang lain. Mereka bisa ke mana pun dengan bebas, apalagi anak-anak di luar sana. Sungguh, ia sangat ingin bisa seperti mereka. Bermain sepanjang hari tanpa harus mengikuti aturan. Membantu keluarga mereka bekerja di ladang atau kebun mereka tanpa dipusingkan dengan pelajaran etika dan tata negara, Sangat menyenangkan seandainya bisa menjadi mereka. Meskipun sehari saja, ia rela bertukar tempat dengan siapa pun anak di luar sana."Pangeran Alexant, saya harap Anda mendengarkan apa yang saya jelaskan!"Alexant mengangkat kepala dengan malas. Suara mengguntur Madam Petrova yang lebih keras dari suara terompet perang semakin membuatnya tak bersemangat. Alexant menguap, bukan karena ia mengantuk, melainkan sebagai pengalih perhatian. Ia berharap Madam Petrova akan segera mengakhiri pelajaran mereka hari ini. Jika tidak, ia bisa mati karena bosan."Astaga! Jangan katakan jika tadi Anda tertidur di kelas saya!"Mata hijau Madam Petrova membelalak, dan itu terlihat sangat lucu di mata Alexant. Hidungnya memerah di bagian cuping dan bergerak kembang kempis dengan cepat, wajahnya yang masih bisa dikatakan cantik juga memerah, sangat kentara dia sedang marah hanya saja tak berani melampiaskannya.Sebenarnya Madam Petrova adalah wanita yang cantik, seandainya dia tidak galak dan angkuh pastilah banyak pria bangsawan atau bahkan raja dan pangeran yang meminangnya. Sayangnya, dua sifat itu melekat erat padanya sehingga sampai sekarang wanita berambut cokelat terang tersebut masih sendiri.Bukan rahasia lagi, jika beredar gosip di luaran sana tentang klub para wanita dewasa yang belum menikah. Madam Petrova adalah salah satu anggotanya. Mereka menamakan klubnya The Old Ladies. Entah apa artinya, yang pasti nama itu sangat konyol. Meskipun klub itu beranggotakan para wanita yang sudah melewati batas usia menikah, tetapi tidakkah mereka merasa jika nama klub terlalu ekstrem?"Maafkan saya, Pangeran Alexant, tetapi dengan segala hormat saya akan menghukum Anda!"Suara itu menggelegar, meskipun tak membuat Alexant takut. Begitu juga dengan kata hukuman. Tidak ada seorang pun dari guru-gurunya yang berani memberikan hukuman berat kepadanya, mereka terlalu takut pada Raja Henry, ayahnya.Madam Petrova melangkah tegap ke arahnya. Jarak mereka sekitar lima meter. Dagu wanita itu terangkat ketika dia berjalan, mempertegas sikapnya yang angkuh. Matanya jatuh lurus terarah padanya. Sebenarnya Alexant menyukai warna mata Madam Petrova, warna mata itu sama dengan warna mata Selena, pengasuhnya. Sangat cantik. Hanya saja disebabkan sikap galak Madam Petrova sehingga membuat matanya tak lagi terlihat cantik."Pangeran Alexant, sebelumnya saya meminta maaf kepada Anda karena saya akan memberikan hukuman pada Anda."Alexant memutar bola mata mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar seorang guru meminta maaf hanya karena ingin memberikan hukuman terhadap muridnya yang melanggar peraturan. Selama ini ia memang tidak pernah dihukum. Guru-gurunya tidak berminat memberikannya hukumannya. Madam Petrova adalah yang pertama, dan Alexant sudah tidak sabar menanti apa hukumannya. Dadanya berdebar, tubuhnya bergetar menantikan hukuman yang akan didapatnya dari guru pelajaran tata krama dan etiket."Saya memberikan Anda tugas untuk mencatat di buku Anda tentang apa saja yang kita pelajari hari ini."Alexant menaikkan sebelah alisnya. Mencatat pelajaran hari ini? Oh, astaga, itu adalah sebuah petaka! Ia tidak benar-benar memperhatikan pelajaran tadi, dan bukan hanya hari ini saja. Sebenarnya sudah sejak dua minggu yang lalu ia terserang penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit malas. Apalagi hari ini, semua pikirannya tertuju pada Crystal. Ia sudah tak sabar menantikan pertemuan mereka yang entah kapan. Alexant mengerang kesal dalam hati."Dan, saya ingin Anda mengumpulkannya pada saya minggu depan."Alexant membuang muka. Tak ingin melihat wajah Madam Petrova yang sangat menyebalkan di matanya."Sebab Anda tadi terlihat menguap, jadi pelajaran hari ini cukup sampai di sini. Beristirahatlah, Yang Mulia. Saya permisi!"Setelah Madam Petrova pamit, Alexant masih berdiri di tempatnya, bahkan setelah bermenit-menit kemudian. Semilir angin yang berembus masuk melalui beberapa buah jendela besar di ruangan ini, menerpanya. Menerbangkan rambut pirangnya yang sebatas bahu. Beberapa kali tangan Alexant terangkat untuk memperbaikinya. Napasnya terembus dengan kasar, memikirkan harus menulis apa yang dipelajarinya hari ini bukanlah sesuatu yang mudah dan menyenangkan.Setiap pelajaran tidak ada yang menempati otaknya dengan baik selain pelajaran strategi perang dan kegiatan yang dilakukan di luar ruangan. Ia lebih mahir menunggang kuda serta memainkan senjata daripada cara menjabat tangan perempuan saat bertemu. Semua yang diajarkan di dalam ruangan sangat membosankan, apalagi pelajaran yang diajarkan oleh Madam Petrova.Kepala berambut pirang Alexant tertunduk, mata abu-abunya terpejam selama beberapa detik. Ketika mata itu terbuka, Alexant berbalik dan keluar dari perpustakaan pribadi raja.Istana memiliki lima buah perpustakaan yang tersebar di empat penjuru istana. Semua perpustakaan bebas dimasuki oleh siapa saja yang tinggal di istana, kecuali sebuah perpustakaan yang terletak di dalam istana.Perpustakaan itu adalah perpustakaan pribadi milik Raja Henry. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki perpustakaan itu, contohnya Madam Petrova. Bukan karena dirinya istimewa sehingga Madam Petrova bisa memasuki perpustakaan pribadi raja, pekerjaannya sebagai guru Alexant lah yang membuatnya bisa masuk ke sana.Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
"Jangan gunakan kekuatan dari sikumu untuk menyerang, seranganmu tidak akan sempurna!" Teriakan Jenderal Wallace Bryne membuat kedua bocah berusia sepuluh tahun di depannya membenarkan posisi mereka. Sudah beberapa kali mereka mempraktekkan apa yang diajarkan sang jenderal, tetapi ternyata tetap saja salah di matanya yang sudah terlatih. "Gunakan kekuatan pada bahu dan punggung untuk mendorong pedang ke depan!" Jenderal Wallace mendekati Alexant, membenarkan posisi tangan kanannya yang memegang pedang, mengarahkannya ke depan. "Posisi yang benar seperti ini, Yang Mulia," katanya, kemudian berpindah ke samping George yang berada di sebelah kirinya. Jenderal Wallace juga melakukan hal yang sama pada George, membenarkan posisi tubuh George, dan mengarahkan pedangnya ke depan. "Lakukan dengan benar, Anak-anak! Kita sudah mengulangi bagian ini sejak dua hari yang lalu. Apakah kalian tidak merasa malu karena masih saja salah?"Tidak ada yang menjawab. Kedua bocah itu terlalu fokus mende
Kesehatan Ratu Amora semakin menurun drastis setelah peristiwa itu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya Ratu Amora dinyatakan meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan putranya. Bukannya berduka dan menyesal, Raja Henry yang sudah naik tahta menggantikan ayahnya sejak lima tahun yang lalu, malah kembali memanggil si pelayan untuk kembali bekerja. Dia memintanya untuk menjadi pengasuh pangeran yang baru berusia satu bulan. Entah memang tidak memiliki rasa malu atau apa, perempuan itu menerimanya dengan syarat diizinkan pulang ke rumahnya setiap satu minggu sekali. Dia dan suaminya baru memperbaiki hubungan mereka. Lagi pula, dia memerlukan banyak istirahat karena kondisinya yang tengah berbadan dua. Si pelayan yang berubah status menjadi pengasuh putra mahkota tengah mengandung anak dari suaminya. Selena Llyod, mengambil cuti selama sebulan karena melahirkan. Setelah itu dia kembali ke istana. Daripada merawat bayi
Suasana di pedesaan memang lebih asri dibandingkan di kota. Udaranya sejuk dan masih segar tanpa banyak polusi. Padang rumput dan pohon-pohon besar menghiasi setiap jalan yang dilalui. Pemandangan yang indah dan menyegarkan indra penglihatan. Crystal sudah sejak pagi berada di atas bukit yang terletak di belakang kastil keluarga Mars. Memetik bunga liar yang tumbuh di atas bukit dan menangkap kupu-kupu adalah dua hal yang dilakukannya. Meskipun matahari bersinar cukup terik, dia tak berhenti. Belum ada satu ekor pun kupu-kupu yang berhasil ditangkapnya. Crystal berjalan mengendap-endap, sangat hati-hati. Tangan kanannya memegang jala penangkap serangga, tangan kirinya memegangi gaun yang dipakainya. Dia berusaha agar ujung gaunnya tidak jatuh mengenai rumput yang dilaluinya, tak ingin menimbulkan gerakan berarti yang membuat kupu-kupu buruannya terbang. Seorang anak perempuan seusia dengannya dan seorang bocah laki-laki berlari ingin menghampirinya. Crystal meletakkan jari telunjuk
Chloe dan Neil saling pandang sesaat, kemudian kembali menatap Crystal dengan sorot mata penasaran. Apakah yang dimaksud Crystal dengan Alexant adalah putra mahkota kerajaan mereka? Setiap orang tua di Namira selalu memperkenalkan nama pemimpin mereka, juga anggota kerajaan yang lain. Kerajaan Namira hanya memiliki dua orang anggota kerajaan, Raja Henry dan putranya, pangeran Alexant. Sejak sedari bisa menyebutkan kata, para orang tua mengajari anak-anaknya tentang itu sehingga baik Neil maupun Chloe sudah mengetahui jika yang disebut Crystal adalah putra mahkota di kerajaan mereka. Tidak ada orang lain yang menggunakan nama itu selain dirinya. "Alexant?" ulang Niel bertanya. Sepasang alisnya berkerut. "Apakah yang kau maksud adalah Pangeran Alexant?" Crystal mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya tanpa menatap. Kepalanya menunduk, memperhatikan rumput tebal yang mereka duduki. "Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Chloe tidak percaya. Matanya melebar menatap Crystal. Sekali lagi Cr
Sebenarnya gadis kecil berambut pirang sepinggang itu tidak terlalu menyukai tomat. Hanya saja neneknya bekerja di perkebunan tomat seorang bangsawan di desa mereka, dan dia membantunya hingga mereka sering makan sup tomat yang dimasak oleh nenek. Sup tomat sangat enak, sangat cocok di lidahnya. Rasanya sangat berbeda dengan tomat segar, lebih manis dan terasa meleleh saat di dalam mulutnya. Awalnya, dia juga kurang menyukai sup tomat. Namun, Nenek tetap menyajikannya sebagai menu makan malam mereka setiap malamnya. Lama-kelamaan, dia terbiasa dan tidak masalah dengan menu sup tomat. Bahkan rasanya akan terasa ada yang kurang jika menu itu tidak terlihat di atas meja makan saat makan malam. Beatrice Llyod sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Sejak berumur satu bulan, dia sudah ditinggalkan Ibu kandungnya, dan tinggal bersama neneknya. Mereka hidup dalam serba kekurangan dalam segala hal. Neneknya sudah tua, tidak bisa bekerja terlalu berat lagi seperti halnya para anak muda. Tid