"Selamat malam, Yang Mulia, selamat tidur." Selena mengecup kening Alexant setelah mengusap rambutnya. Dia menarik selimut Alexant, menutupi tubuhnya sampai sebatas dada. "Tidurlah yang nyenyak." Selena tersenyum kemudian mematikan lampu dan meninggalkan kamar itu, menutupnya dengan hati-hati.Alexant membuka mata, dengan kasar menyibakkan selimut. Bukannya ia tidak menghargai apa yang dilakukan Selena, hanya saja ia merasa akan mengkhianati ibunya yang sudah meninggal jika bersikap lebih baik pada Selena. Alexant turun dari tempat tidur, melangkah menuju balkon. Malam ini cuacanya sangat bagus. Langit cerah, bintang bertaburan dengan indahnya. Ia menumpukan kedua siku pada pagar balkon, kepalanya sedikit terangkat menatap langit kelam bertabur bintang. Senyum menghiasi wajah tampan anak laki-laki berusia sebelas tahun tersebut. Bintang-bintang itu membentuk wajah Crystal yang sedang tersenyum manis. Sudah lebih dari satu tahun mereka tidak bertemu. Ulang tahun Raja Henry sudah lewa
[Aku sedang sakit, tidak ada yang merawat Beatrice. Bisakah kau menjemputnya untuk tinggal bersamamu selama aku masih belum sembuh? Itu juga jika kau merasa sebagai wanita yang telah melahirkannya.]Sudah beberapa kali Selena membaca surat itu, tetapi isinya tetap sama. Salahkah dirinya jika mengharapkan apa yang tertulis di surat itu hanyalah kebohongan ibunya semata? Sebab ibunya ingin mempertemukannya dengan putrinya, atau dia yang salah membaca deretan huruf di kertas itu. Sejak beberapa menit yang lalu, Selena mondar-mandir di dalam kamarnya. Dia bersyukur Alexant sekarang sedang tidak rewel sehingga dia bisa lebih bebas. Maksudnya, dia bisa memikirkan isi surat dengan benar. Surat itu datang kemarin. Ibunya memberi tahu jika sedang sakit, dan tidak bisa merawat Beatrice. Hal ini adalah petaka baginya. Dia tak ingin melihat anak itu, anak yang sudah dilahirkannya, tetapi tidak diinginkannya. Selama menikah dengan Joseph, tak pernah sekalipun dia merasa bahagia. Pernikahan tanp
Beatrice sedikit bersemangat dengan apa yang ada di pikirannya. Kemungkinan dia akan memiliki teman jika bertemu dengan Pangeran Alexant. Selama ini, tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya. Para ibu-ibu melarang anak-anak mereka untuk berdekatan dengannya. Mereka semua memandangnya sebagai gadis kecil yang rendah dan hina. Ibunya saja tidak menginginkannya apalagi orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya. "Wah, kau sangat cantik!" Seruan kagum itu membuat Beatrice menatap pelayan wanita di depannya. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Fasha, dan akan merawatnya selama dia tinggal di sini. "Nyonya Selena sangat beruntung memiliki putri cantik sepertimu." Fasha tersenyum, tangannya terus bergerak memberikan sentuhan akhir pada Beatrice. "Nah, sudah selesai. Lihatlah dirimu di dalam cermin." Dia mendorong lembut bahu Beatrice ke arah cermin besar yang berada di kamar itu. Beatrice terpana. Bukan karena melihat pantulan dirinya di dalam cermin, tetapi
Udara terasa lebih pekat, sampai-sampai rasanya sulit untuk bernapas. Tidak ada yang berani bersuara ataupun bergerak, bahkan detak jantung pun rasanya berhenti. Fasha berdiri dengan kedua lutut yang gemetar, kepalanya menunduk dalam. Dia sangat ketakutan. Selama bekerja di istana, baru kali ini dia bertemu langsung dengan Pangeran Alexant. Pertemuan pertama yang sangat buruk, disebabkan oleh gadis kecil putri dari Selena. Seandainya terjadi apa-apa padanya, tak mungkin dia menyalahkan Beatrice. Gadis kecil itu tidak bersalah, dia hanya terlalu bersemangat. Fasha melirik ke arah Alexant yang bangkit perlahan. Sebenarnya dia ingin membantu, tetapi terlalu takut untuk mendekat. Lagi pula, peraturan istana tidak memperbolehkan pelayan sepertinya untuk menyentuh pangeran, meskipun itu sekedar membantu. Saking takutnya, dia bahkan juga membiarkan Beatrice bangun sendiri. Gadis itu meringis, mengusap bokongnya yang sepertinya terasa nyeri. "Di mana matamu?" Pertanyaan Alexant mengguntur.
Fasha sudah memberi tahu namanya pada Beatrice saat perkenalan mereka sebelum dia memandikannya, dan memintanya untuk memanggilnya Bibi Fasha. Dia senang karena Beatrice cepat belajar dan mudah mengingat. Fasha tersenyum. "Kenapa harus takut? Pangeran Alexant sangat tampan.""Tampan?" ulang Beatrice. Sepasang alisnya berkerut. Dia baru pertama kali mendengar kata itu. Selama ini, Nenek tidak pernah mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan kata itu. Nenek selalu menyebutnya dengan kata cantik.Fasha mengangguk. "Apakah itu sama dengan cantik?" Beatrice bertanya lagi. Pengetahuannya memang sangat terbatas, demikian juga dengan kosakatanya. Dia hanya tinggal bersama neneknya, tidak ada siapa pun yang memasuki kehidupan mereka. Dia hanya tahu semua kata yang didengarnya dari Nenek, dan neneknya tidak pernah menyebut kata tampan. Fasha tertawa kecil, kepalanya menggeleng. "Sama, tetapi juga berbeda," jawabnya lembut. Sepertinya pelajaran mereka akan dimulai sekarang. Beruntung tadi dia
"Apa yang kau lakukan di atas sana?" Pertanyaan itu membuat seorang gadis kecil yang tengah duduk di cabang sebuah pohon menundukkan kepalanya. Dia ingin melihat temannya yang berada di bawah. Mata biru Crystal berbinar melihat mahkota bunga yang berada di tangan Chloe. Tampaknya Chloe sudah berhasil menyelesaikannya. Crystal dan Chloe bermain di bukit belakang kediaman keluarga Mars. Kali ini tanpa Neil. Mereka berdua sengaja tidak mengajaknya karena tak ingin bocah itu mengganggu mereka. Chloe mengatakan ingin membuat mahkota bunga seperti milik Crystal. Sementara itu, Crystal lebih memilih untuk memanjat salah satu pohon besar yang ada di bukit, dia ingin membuktikan kata-kata Papa yang mengatakan istana tidak terlihat dari atas bukit, dan ternyata Papa benar. Istana tidak tampak sedikit pun, meski hanya bayangan atapnya. "Mahkota bungamu sudah selesai?" Crystal balas bertanya tanpa menghiraukan wajah Chloe yang menekuk karena tak dijawab pertanyaannya. Dengan sekali lompatan,
"Ini sudah yang kesekian kali aku memergokimu mengintip kami latihan. Apa yang kau inginkan?" Pertanyaan George menggelegar di taman bagian selatan yang sepi. Sore ini hanya ada dirinya dan Alexant yang berlatih. Jenderal Wallace menemani Raja Henry pergi ke suatu tempat bersama Perdana Menteri Nicholas Baige. Entah ke mana mereka tidak tahu, yang pasti mereka diminta untuk berlatih sendirian –hanya untuk sore ini karena besok jenderal sudah akan kembali. George sudah melihatnya, gadis berambut pirang sepinggang itu selalu mengintip mereka berlatih sejak beberapa hari yang lalu. Berlindung di atas pohon, bersembunyi di antara cabang dan daun-daunnya yang rimbun. Entah apa yang diinginkannya, tetapi sebagai seorang pengawal yang bertugas menjaga keselamatan putra mahkota, gerak-gerik gadis itu sangat mencurigakan di matanya. Sementara itu, Beatrice mengerut ketakutan. Dia tidak menyangka jika apa yang dilakukannya akan ketahuan. Dia tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin melihat saja.
Istana ini sangat luas, banyak barang-barang indah dan mewah di dalamnya, juga taman-taman yang ditumbuhi bunga aneka warna. Terdapat air mancur besar pada setiap taman. Namun, tidak ada seorang pun dari penghuni istana yang mendekatinya, mereka takut airnya akan menciprati pakaian dan sepatu mereka jika berjalan melewatinya. Mereka lebih memilih untuk berjalan di lorong istana daripada menikmati indahnya taman. Padahal istana ini memiliki taman yang sangat indah, tetapi ditelantarkan begitu saja. Maksudnya, bukan tidak dirawat, melainkan tidak dinikmati keindahannya. Mungkin karena tidak adanya ratu di istana ini sehingga taman dan tempat-tempat indah lainnya kurang diminati, mereka terabaikan. Beatrice Llyod berlari seorang diri mengitari taman. Dia sedang mengejar seekor kupu-kupu yang sejak tadi menari seolah menggodanya. Sudah beberapa kali dia berusaha menangkapnya, tetapi tak pernah berhasil. Kupu-kupu itu selalu lolos dari kungkungan tangannya yang mungil. Seandainya saja di