Udara terasa lebih pekat, sampai-sampai rasanya sulit untuk bernapas. Tidak ada yang berani bersuara ataupun bergerak, bahkan detak jantung pun rasanya berhenti. Fasha berdiri dengan kedua lutut yang gemetar, kepalanya menunduk dalam. Dia sangat ketakutan. Selama bekerja di istana, baru kali ini dia bertemu langsung dengan Pangeran Alexant. Pertemuan pertama yang sangat buruk, disebabkan oleh gadis kecil putri dari Selena. Seandainya terjadi apa-apa padanya, tak mungkin dia menyalahkan Beatrice. Gadis kecil itu tidak bersalah, dia hanya terlalu bersemangat. Fasha melirik ke arah Alexant yang bangkit perlahan. Sebenarnya dia ingin membantu, tetapi terlalu takut untuk mendekat. Lagi pula, peraturan istana tidak memperbolehkan pelayan sepertinya untuk menyentuh pangeran, meskipun itu sekedar membantu. Saking takutnya, dia bahkan juga membiarkan Beatrice bangun sendiri. Gadis itu meringis, mengusap bokongnya yang sepertinya terasa nyeri. "Di mana matamu?" Pertanyaan Alexant mengguntur.
Fasha sudah memberi tahu namanya pada Beatrice saat perkenalan mereka sebelum dia memandikannya, dan memintanya untuk memanggilnya Bibi Fasha. Dia senang karena Beatrice cepat belajar dan mudah mengingat. Fasha tersenyum. "Kenapa harus takut? Pangeran Alexant sangat tampan.""Tampan?" ulang Beatrice. Sepasang alisnya berkerut. Dia baru pertama kali mendengar kata itu. Selama ini, Nenek tidak pernah mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan kata itu. Nenek selalu menyebutnya dengan kata cantik.Fasha mengangguk. "Apakah itu sama dengan cantik?" Beatrice bertanya lagi. Pengetahuannya memang sangat terbatas, demikian juga dengan kosakatanya. Dia hanya tinggal bersama neneknya, tidak ada siapa pun yang memasuki kehidupan mereka. Dia hanya tahu semua kata yang didengarnya dari Nenek, dan neneknya tidak pernah menyebut kata tampan. Fasha tertawa kecil, kepalanya menggeleng. "Sama, tetapi juga berbeda," jawabnya lembut. Sepertinya pelajaran mereka akan dimulai sekarang. Beruntung tadi dia
"Apa yang kau lakukan di atas sana?" Pertanyaan itu membuat seorang gadis kecil yang tengah duduk di cabang sebuah pohon menundukkan kepalanya. Dia ingin melihat temannya yang berada di bawah. Mata biru Crystal berbinar melihat mahkota bunga yang berada di tangan Chloe. Tampaknya Chloe sudah berhasil menyelesaikannya. Crystal dan Chloe bermain di bukit belakang kediaman keluarga Mars. Kali ini tanpa Neil. Mereka berdua sengaja tidak mengajaknya karena tak ingin bocah itu mengganggu mereka. Chloe mengatakan ingin membuat mahkota bunga seperti milik Crystal. Sementara itu, Crystal lebih memilih untuk memanjat salah satu pohon besar yang ada di bukit, dia ingin membuktikan kata-kata Papa yang mengatakan istana tidak terlihat dari atas bukit, dan ternyata Papa benar. Istana tidak tampak sedikit pun, meski hanya bayangan atapnya. "Mahkota bungamu sudah selesai?" Crystal balas bertanya tanpa menghiraukan wajah Chloe yang menekuk karena tak dijawab pertanyaannya. Dengan sekali lompatan,
"Ini sudah yang kesekian kali aku memergokimu mengintip kami latihan. Apa yang kau inginkan?" Pertanyaan George menggelegar di taman bagian selatan yang sepi. Sore ini hanya ada dirinya dan Alexant yang berlatih. Jenderal Wallace menemani Raja Henry pergi ke suatu tempat bersama Perdana Menteri Nicholas Baige. Entah ke mana mereka tidak tahu, yang pasti mereka diminta untuk berlatih sendirian –hanya untuk sore ini karena besok jenderal sudah akan kembali. George sudah melihatnya, gadis berambut pirang sepinggang itu selalu mengintip mereka berlatih sejak beberapa hari yang lalu. Berlindung di atas pohon, bersembunyi di antara cabang dan daun-daunnya yang rimbun. Entah apa yang diinginkannya, tetapi sebagai seorang pengawal yang bertugas menjaga keselamatan putra mahkota, gerak-gerik gadis itu sangat mencurigakan di matanya. Sementara itu, Beatrice mengerut ketakutan. Dia tidak menyangka jika apa yang dilakukannya akan ketahuan. Dia tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin melihat saja.
Istana ini sangat luas, banyak barang-barang indah dan mewah di dalamnya, juga taman-taman yang ditumbuhi bunga aneka warna. Terdapat air mancur besar pada setiap taman. Namun, tidak ada seorang pun dari penghuni istana yang mendekatinya, mereka takut airnya akan menciprati pakaian dan sepatu mereka jika berjalan melewatinya. Mereka lebih memilih untuk berjalan di lorong istana daripada menikmati indahnya taman. Padahal istana ini memiliki taman yang sangat indah, tetapi ditelantarkan begitu saja. Maksudnya, bukan tidak dirawat, melainkan tidak dinikmati keindahannya. Mungkin karena tidak adanya ratu di istana ini sehingga taman dan tempat-tempat indah lainnya kurang diminati, mereka terabaikan. Beatrice Llyod berlari seorang diri mengitari taman. Dia sedang mengejar seekor kupu-kupu yang sejak tadi menari seolah menggodanya. Sudah beberapa kali dia berusaha menangkapnya, tetapi tak pernah berhasil. Kupu-kupu itu selalu lolos dari kungkungan tangannya yang mungil. Seandainya saja di
Alexant terkejut melihat reaksi Selena. Dikiranya Selena akan mengkhawatirkan putrinya seperti khawatir kepadanya, ternyata sebaliknya. Selena justru menghardik putrinya dan menuduhnya dengan kejam. "A ... aku tidak melakukan apa-apa, Mama." Beatrice menggeleng. Wajahnya semakin mengerut menahan sakit yang semakin menjadi di bagian lengannya. Cengkeraman mamanya terlalu kuat, ditambah cengkeramannya yang sedikit mengenai luka terbuka di sikunya. Rasanya sangat perih. "Di ... dia yang mendorongku sampai terkena dinding kolam air mancur.""Jangan beralasan!" hardik Selena. Mata birunya membelalak. "Pasti kau yang sudah mengajak Pangeran Alexant ke sana. Selama ini dia baik-baik saja. Seperti kuduga sebelumnya, kedatanganmu ke sini hanyalah malapetaka!""Selena!" Sudah cukup, ia tidak bisa membiarkannya lagi. Alexant berdiri, menjauhi sofa yang tadi didudukinya, dan menghampiri Selena. Tangannya membuka cengkeraman kuat Selena di lengan kanan Beatrice. "Apa yang kau lakukan pada putri
Seorang anak kecil sangat jarang memiliki perasaan peka dan kasihan. Akan tetapi, tidak bagi Alexant. Meskipun tidak mengenal dan baru mengetahui nama Beatrice baru tadi siang, dia bersimpati pada gadis itu. Beatrice tidak mendapatkan kasih sayang dari Selena, bahkan sepertinya Selena membencinya, sangat terlihat dari tatapan dan sikap Selena yang tidak peduli dengan keadaannya. Selena lebih mengkhawatirkannya daripada putrinya sendiri yang mengalami luka lebih parah. Beatrice lebih membutuhkan pertolongan medis dibandingkan dengannya. Ia hanya mengalami luka dan memar di bagian pelipis. Sementara itu, Beatrice selain luka di pelipis juga mendapatkan luka tambahan di siku. Kedua lukanya juga lebih besar dari lukanya, harus segera diobati jika tidak ingin infeksi. Saat ini, Alexant sedang berada di dalam kamarnya. Ia bahkan melewatkan latihan bersama George karena merasa kurang enak badan. Bukannya sakit, ia hanya merasa malas saja. Alexant tahu jika ini bukan dirinya. Tidak biasan
Alexant sudah memutuskan untuk meminta bantuan George mencari keberadaan putri Selena. Semoga saja George tidak sedang sibuk atau apa pun itu namanya. Akan sangat memakan waktu jika harus mencari sendirian karena ia tidak mungkin bertanya pada para prajurit ataupun pelayan. Namun, George bisa melakukannya. Peraturan kerajaan memang sedikit aneh dan tidak masuk akal bagi Alexant. Sedikit memberatkan kedua belah pihak –pelayan dan majikannya– di mana keduanya tidak boleh bertegur sapa. Bahkan pelayan tidak boleh menyentuh keluarga kerajaan. Jika pelayan memiliki banyak peraturan, maka prajurit sedikit longgar. Mereka tidak akan dihukum hanya karena menyentuh keluarga kerajaan, apalagi dalam keadaan terdesak. Oleh sebab itu, kemarin saat ia terluka seorang prajurit membantu memapahnya. Meskipun ia merasa tidak memerlukannya, tetapi –mungkin– prajurit itu merasa jika menolongnya adalah suatu kewajiban bagi mereka. Alexant merasa ia sangat mujur hari ini. Di balik hilangnya konsentrasi
Sejak dia tinggal di istana, Nenek juga tidak lagi bekerja. Mama secara rutin mengirimkan uang untuknya, juga untuk membayar pekerjaan gadis pelayan yang menemani Nenek. Sebab, tidak lagi bekerja di perkebunan tomat, Nenek tidak lagi memasak sup tomat. Sekarang makanan di rumahnya sudah berbeda, berbagai hidangan selalu tersedia di meja saat tiba waktu makan. Kehidupan Nenek lebih terjamin. Beatrice mensyukurinya, dia merasa sangat senang karena Nenek bahagia. "Kita ada di mana, Nek?" tanya Beatrice dengan alis berkerut tajam. Matanya menatap liar sekeliling kamar. Dugaannya jika dia tidak sedang berada di rumah Nenek, semakin kuat. Keadaan kamar ini berbeda, lebih sederhana dibandingkan dengan kamar tidurnya di rumah nenek. Tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah meja dan kursi yang kelihatannya sudah tua. "Apakah kita di rumah Nenek?" Imelda tersenyum melihat kepanikan di wajah cucu tersayangnya. Dia sendiri juga awalnya kaget ketika bangun tidur menemukan dirinya di tempat yang
Kicauan burung yang terdengar tajam di telinga membangunkan Beatrice dari tidurnya. Dia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali untuk membiasakan penglihatannya pada cahaya yang masuk. Alam tampak terang benderang di tangkap indra penglihatannya.Beatrice mengucek mata untuk memastikan. Dia menggerakkan kepala ke arah kanan, segera memejamkan mata dan menaikkan tangan untuk melindungi wajahnya dari paparan sinar matahari. Hangat terasa, tetapi juga sangat menyilaukan. Keadaan yang berbeda setiap dia bangun pagi pada biasanya. Beatrice menjauhkan tangan, duduk perlahan. Sepasang alisnya berkerut merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Mulutnya tanpa sadar mengeluarkan ringisan. Dia baru bangun tidur, bahkan nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Apa yang terjadi tadi malam masih belum diingat semuanya, masih samar-samar. Pagi ini dia merasa ada yang aneh. Entah keadaan kamarnya yang terasa jauh lebih terang dari biasanya –sinar matahari langsung masuk tanpa halangan apa pun– juga s
Beatrice mencoba untuk tidur lagi, dan berharap saat terbangun nanti semuanya hanya mimpi. Dia akan tetap berada di istana, berbaring di ranjang empuknya, di kamarnya bersama Bibi Fasha. Sayangnya, Beatrice tidak dapat tidur lagi. Meskipun sudah memejamkan mata, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana. Dia berusaha keras mengosongkan pikiran, tetap saja tidak bisa. Alexant memenuhi pikirannya. Dadanya bergemuruh, keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terikat. Belum lagi dia berada di atas kereta kuda yang melaju kencang. Siapa yang dapat tidur dalam keadaan seperti dirinya saat ini? Air mata terus mengalir membasahi pipi Beatrice. Dalam hati dia terus berdoa semoga dia bisa keluar dari kereta ini dan bertemu dengan Alexant. Dia yakin Bibi Fasha berbohing saat mengatakan padanya tentang Alexant. Tidak mungkin Alexant memiliki gadis lain selain dirinya, hubungan mereka sangat dekat. Alexant selalu jujur padanya, jika ada seorang gadis yang mendekatinya, dia pasti akan berceri
Fasha tidak percaya jika seorang Ibu bisa melakukan hal yang kejam terhadap anaknya. Namun, setelah mendengar rencana Selena, sekarang dia memercayainya. Rencana Selena untuk menyingkirkan Beatrice dari istana tergolong rencana yang gila. Bahkan Selena langsung bergerak setelah mendapatkan rencana itu. Dia meminta seorang prajurit yang dapat dipercayainya untuk membawa ibunya yang tinggal di sebuah desa, memindahkannya ke sebuah tempat terpencil yang sangat sulit untuk dijangkau. Setelah itu, barulah mereka akan membawa Beatrice ke sana, tempat yang sama dengan neneknya. Yang lebih gila lagi, Selena juga meminta Fasha untuk mendampingi mereka. Tidak mempunyai pilihan, dia mengangguk menyetujuinya. Tak mungkin dia membiarkan gadis semuda Beatrice hanya tinggal berdua bersama neneknya di tempat yang penuh bahaya. Mengendap mereka mendekati kamar tidur Fasha yang ditempatinya bersama Beatrice. Fasha sudah memastikan Beatrice tertidur lelap, gadis itu kelelahan setelah seharian menangi
Alexant menoleh ke belakangnya, menatap sekilas Crystal yang berada satu meter di belakangnya. "Kau benar!" katanya tersenyum. "Astaga, George! Aku tidak percaya jika sudah bertindak bodoh seperti itu. Ini sangat memalukan!" Ia menggeram kesal. George tertawa tanpa suara. "Jangan khawatir, ini akan menjadi rahasia kita," sahutnya, menepuk bahu Alexant akrab. Alexant mengusap wajah kasar, kemudian memutar tubuh, melangkah ke arah Crystal, dan memeluknya. Mereka harus berpisah untuk hari ini sekarang. Sudah semakin sore, senja sebentar lagi akan datang. Bayangan pohon-pohon dan ilalang semakin memanjang ke arah timur. Alexant meraih jemari Crystal, meremasnya hangat. "Kau harus pulang sekarang," katanya lirih, tak rela mengucapkan kata-kata itu. "Aku tak ingin Duke Mars melarangnu untuk ke sini lagi besok.""Kita masih bisa bertemu lagi besok, Alexant?" Pertanyaan Crystal penuh semangat. Mata birunya tersenyum. Alexant mengangguk. "Tentu saja, aku tidak akan bersedia untuk pulang sec
Waktu selalu terasa cepat berlalu saat kita berada dalam perasaan bahagia, gembira, dan perasaan positif lainnya. Namun, akan terasa sangat lambat, bahkan lebih lambat dari lari seekor kura-kura, jika kita berada dalam fase tidak bahagia. Itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Ia merasa matahari cepat sekali tergelincir di ufuk barat, padahal rasanya baru beberapa menit ia bersama Crystal matahari sudah hampir terbenam saja. Sebagian bukit sudah terlihat gelap karena terlindung bayangan pohon-pohon yang tumbuh dengan tinggi menjulang dari hutan di sebelah sana. Padang bunga juga sedikit tertutup bayangan ilalang yang lebih tinggi dari mereka. "Bisakah aku menghentikan laju perputaran matahari?" Alexant bertanya entah kepada siapa. Hanya ada dirinya, Crystal, dan George di atas bukit ini. Crystal mengerutkan alis, sementara George tertawa mendengarnya. Keluhan Alexant terdengar lucu di telinganya, seperti mimpi seorang anak kecil. Alexant mendelik tajam, melemparkan ranting kayu k
"Bibi tidak tahu ke mana perginya Pangeran Alexant, Beatrice." Fasha menggelengkan kepala. "Tidak ada yang tahu kecuali Raja Henry dan Jenderal Wallace, dan mereka tentu tidak akan memberi tahu ke mana tujuan Pangeran Alexant. Pelayan seperti kita tidak penting, tidak ada gunanya memberitahukan apa pun pada kita. Tugas kita hanya melayani mereka, bukan untuk ikut campur urusan mereka." Sengaja Fasha mengatakan seperti ini. Dia hanya ingin Beatrice sadar kedudukannya di istana ini. Dia ingin Beatrice melupakan mimpinya untuk bisa berdampingan dengan Alexant sebagai suami istri. Mereka hanyalah pelayan, para bangsawan itu mengingat nama mereka saja sudah merupakan sebuah keberuntungan yang sangat langka bagi mereka. Beatrice menggigit bibir. Air matanya jatuh lagi mendengar jawaban Fasha. Kali ini dia tidak mengusapnya, Dibiarkannya air matanya jatuh melewati dagu dan menetes ke lutut, kemudian diserap oleh gaun yang menutupi lututnya. Kata-kata panjang lebar Fasha menamparnya, mencub
Semua tidak sama tanpa ada Alexant. Istana ini rasanya seperti bukan istana, rasanya dia berada di tempat asing dan sendirian. Setelah Lady Baige pulang, Beatrice memilih untuk kembali ke kamar tidurnya. Tidak ada juga yang bisa dia lakukan di luar sini. Dia tidak memilki teman. Di istana ini, gadis-gadis sebayanya bekerja sebagai pelayan, sementara dirinya tidak. Gadis-gadis pelayan itu tidak mau berteman dengannya. Mereka semua mengatakan dirinya sombong dan tidak tahu diri, padahal dia tidak seperti itu, Dia tidak pernah memilih dalam berteman karena dia tahu siapa dirinya yang sebenarnya, tidak seperti yang mereka tuduhkan. Dia justru ingin berteman dengan mereka, mereka berasal dari golongan yang sama. Meskipun dia bukan pelayan, tetapi dia anak seorang pengasuh yang derajatnya sama sepert pelayan di istana ini. Sayangnya, gadis-gadis pelayan seusianya tidak mau beteman dengannya. Sama seperti para gadis bangsawan, gadis-gadis pelayan juga memusuhinya. Mereka menganggapnya lup
"Apa yang kau buat, Alexant?" Crystal berusaha mencuri lihat ke arah tangan Alexant yang sejak beberapa menit yang lalu terlihat sangat sibuk. Namun, Alexant kembali menyembunyikannya, membuatnya berdecak kesal. Bukit di belakang kastil keluarga Mars memang selalu menghadirkan pemandangan indah. Tidak akan terlihat buruk hanya karena seorang George Bryne yang terlihat melamun. Sudah beberapa kali Crystal mengagetinya, tetapi George kembali melamun jika dia meninggalkannya. Dia tak ingin mengageti George lagi, rasa penasarannya akan apa yang dikerjakan Alexant membuatnya merasa tidak berminat lagi melihat reaksi George yang lucu saat terkejut. Jam makan siang sudah lewat. Mereka bertiga sudah makan siang dengan bekal yang dibawanya dari rumah. Dia menyiapkan bekal itu sendiri, membuat roti isi bukan pekerjaan yang sulit, dia sering membantu Mama dan koki di kediaman mereka memasak sehingga kegiatan itu cukup akrab dengannya. Dia bisa membuat beberapa hidangan sederhana, roti lapis is