Seorang polisi bernama Bobby menikah diam diam dengan wanita lain tanpa sepengetahuan Lani istrinya. Beberapa bulan kemudian, Lani menyadari kelakuan suami yang berbeda. Melalui gawai Bobby, Lani mulai melacak adanya perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Hingga akhirnya dia mengetahui kenyataan pahit yang ada. Lani mundur dari hubungan segitiga yang dialaminya, kemudian mengajukan cerai. Dalam proses perceraian, Lani ternyata hamil tapi dia tutupi kehamilannya.
View More🍁🍁🍁
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa seperti bukan janda. Auw.
Kalau diingat-ingat, pertemuanku dengan Mas Bobby tanpa sengaja. Tiap pagi, dia sering banget ngopi di warung kopi, sebelah salon kecantikan tempatku bekerja. Waktu itu Cece yang punya salon minta dibelikan kopi. Biasanya Kang Karman si tukang parkir yang berangkat, tapi entah kenapa dia belum kelihatan sama sekali, akhirnya akulah yang disuruh.
"Mas, kopi satu!" pesanku.
"Buat Cece ya?" tanyanya kembali.
"Iya." jawabku singkat. Sambil menunggu pesanan, kuamati sekeliling, ternyata rame juga. Kuketuk-ketukkan jari ke meja sembari berdendang lirih.
"Ini Mbak" Pesanan selesai dibuat, dan segera kuambil. Begitu memutar badan, tanpa sengaja menabrak orang yang berada di belakang. Cangkir berisi kopi tumpah ke bajunya. Ya ampun..
"Maaf, Mas.. Maaf banget!" Gegas menyabet tisu di meja untuk membantu membersihkan.
"Gak pa-pa Mbak" ucapnya membuatku terkesima. Ya Tuhan. Dia tinggi, hitam manis, polisi pula, naluri kewanitaanku muncul seketika. Harus bisa kenalan ini. Harus! Syukur-syukur bisa jadi pacar, apalagi jadi istri. Uh la la.
Dari situ mulai gencar yang namanya mencari informasi, kemudian mempermak diri, rebonding rambut, pakai hand body agak mehong, beli skincare sistem kredit, ha ha ha.. Secara, wajah cantik, kulit kuning langsat, body aduhai pokoknyalah, tinggal poles sedikit, sempurna.
Memang usaha tidak mempengaruhi hasil, tiga bulan akhirnya aku bisa dekat dengan yang namanya Bobby. Enam bulan berpacaran, akhirnya aku bisa meyakinkannya untuk menikah, dengan servis paripurna tentunya, dia bilang tidak ingin menambah dosa, ya sudahlah, rejeki kan gak boleh ditolak. Tapi syaratnya, aku tidak boleh bekerja. Ok babe.
Selama enam bulan itu, apapun yang kuminta pasti dituruti, mulai dari sepatu, baju, tas, dan yang terpenting kebutuhan anakku, susu dan sebagainya. Maklum, ibu muda butuh bahagia ya beginilah. Ngomong-ngomong bahagia, demi anak rela kulakukan segalanya, termasuk mencarikannya bapak kaya. Walaupun tanpa cinta, ah, cinta hanya perasaan semu buatku. Cinta hanya untuk menderita, buktinya aku cinta dengan suami pertama, malah ujungnya sakit jua yang kudapat
***
Kipas angin bergerak memutar, mengeluarkan suara deritan yang lumayan keras mengalahkan suara jam dinding. Sambil sesekali mencomot pisang goreng, bermodalkan video di y** t**e aku mempercantik diri. Langkah pertama, bersihkan wajah terlebih dahulu, selanjutnya serum supaya make up bertahan agak lama, tidak lupa mengaplikasikan foundation dan concealer untuk menutupi kulitku yang agak berjerawat, oles dengan compact powder supaya terlihat natural. Tambahkan eyeliner untuk mempertegas garis mata, tambahkan blush on warna pink, yang terakhir oleskan liptic matte warna merah.
Sengaja aku memakai atasan kemeja putih, dan celana jeans hitam. Rambut kucepol agak tinggi menyisakan poni di depan. Sip. Terlihat manis.
Memilih sepatu hitam high hells, tas untuk make up warna maroon. Cucoklah.
Kusiapkan lingerie merah menyala seperti semangatku yang membara di atas kasur. Persiapan setelah akad mungkin akan langsung siang pertama. Bukan malam pertama. Karena kalau malam, dia harus pulang. Hiks.
"Halo?" Suara di seberang sana.
"Sayang, sudah berangkat?" kuucap dengan suara manja mendesah.
"Ini mau berangkat"
"Ya sudah, ayok cepetan, aku tunggu ya?" Telepon kututup dengan hati bahagia, pipi merona, membayangkan yang indah-indah. Aaah.
Akad dilangsungkan di desa sebelah, dengan menyewa jasa ustadz kampung, Pak RT setempat, dan satu saksi. Sekali lagi jangan tanya orang tua kemana. Ya jelas saja, yang aku nikahi adalah orang beristri, mana mungkin Bapakku setuju aku kawin dengan laki orang. Jadi jalan satu-satunya ya itu.
Rambut sudah, make up sudah, baju sudah. Ok, persiapan sudah sembilan puluh persen, tinggal akadnya. Oh, aku sudah tidak sabar.
🍁🍁🍁
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa seperti bukan janda. Auw.
Kalau diingat-ingat, pertemuanku dengan Mas Bobby tanpa sengaja. Tiap pagi, dia sering banget ngopi di warung kopi, sebelah salon kecantikan tempatku bekerja. Waktu itu Cece yang punya salon minta dibelikan kopi. Biasanya Kang Karman si tukang parkir yang berangkat, tapi entah kenapa dia belum kelihatan sama sekali, akhirnya akulah yang disuruh.
"Mas, kopi satu!" pesanku.
"Buat Cece ya?" tanyanya kembali.
"Iya." jawabku singkat. Sambil menunggu pesanan, kuamati sekeliling, ternyata rame juga. Kuketuk-ketukkan jari ke meja sembari berdendang lirih.
"Ini Mbak" Pesanan selesai dibuat, dan segera kuambil. Begitu memutar badan, tanpa sengaja menabrak orang yang berada di belakang. Cangkir berisi kopi tumpah ke bajunya. Ya ampun..
"Maaf, Mas.. Maaf banget!" Gegas menyabet tisu di meja untuk membantu membersihkan.
"Gak pa-pa Mbak" ucapnya membuatku terkesima. Ya Tuhan. Dia tinggi, hitam manis, polisi pula, naluri kewanitaanku muncul seketika. Harus bisa kenalan ini. Harus! Syukur-syukur bisa jadi pacar, apalagi jadi istri. Uh la la.
Dari situ mulai gencar yang namanya mencari informasi, kemudian mempermak diri, rebonding rambut, pakai hand body agak mehong, beli skincare sistem kredit, ha ha ha.. Secara, wajah cantik, kulit kuning langsat, body aduhai pokoknyalah, tinggal poles sedikit, sempurna.
Memang usaha tidak mempengaruhi hasil, tiga bulan akhirnya aku bisa dekat dengan yang namanya Bobby. Enam bulan berpacaran, akhirnya aku bisa meyakinkannya untuk menikah, dengan servis paripurna tentunya, dia bilang tidak ingin menambah dosa, ya sudahlah, rejeki kan gak boleh ditolak. Tapi syaratnya, aku tidak boleh bekerja. Ok babe.
Selama enam bulan itu, apapun yang kuminta pasti dituruti, mulai dari sepatu, baju, tas, dan yang terpenting kebutuhan anakku, susu dan sebagainya. Maklum, ibu muda butuh bahagia ya beginilah. Ngomong-ngomong bahagia, demi anak rela kulakukan segalanya, termasuk mencarikannya bapak kaya. Walaupun tanpa cinta, ah, cinta hanya perasaan semu buatku. Cinta hanya untuk menderita, buktinya aku cinta dengan suami pertama, malah ujungnya sakit jua yang kudapat
***
Kipas angin bergerak memutar, mengeluarkan suara deritan yang lumayan keras mengalahkan suara jam dinding. Sambil sesekali mencomot pisang goreng, bermodalkan video di y** t**e aku mempercantik diri. Langkah pertama, bersihkan wajah terlebih dahulu, selanjutnya serum supaya make up bertahan agak lama, tidak lupa mengaplikasikan foundation dan concealer untuk menutupi kulitku yang agak berjerawat, oles dengan compact powder supaya terlihat natural. Tambahkan eyeliner untuk mempertegas garis mata, tambahkan blush on warna pink, yang terakhir oleskan liptic matte warna merah.
Sengaja aku memakai atasan kemeja putih, dan celana jeans hitam. Rambut kucepol agak tinggi menyisakan poni di depan. Sip. Terlihat manis.
Memilih sepatu hitam high hells, tas untuk make up warna maroon. Cucoklah.Kusiapkan lingerie merah menyala seperti semangatku yang membara di atas kasur. Persiapan setelah akad mungkin akan langsung siang pertama. Bukan malam pertama. Karena kalau malam, dia harus pulang. Hiks.
"Halo?" Suara di seberang sana.
"Sayang, sudah berangkat?" kuucap dengan suara manja mendesah.
"Ini mau berangkat"
"Ya sudah, ayok cepetan, aku tunggu ya?" Telepon kututup dengan hati bahagia, pipi merona, membayangkan yang indah-indah. Aaah.
Akad dilangsungkan di desa sebelah, dengan menyewa jasa ustadz kampung, Pak RT setempat, dan satu saksi. Sekali lagi jangan tanya orang tua kemana. Ya jelas saja, yang aku nikahi adalah orang beristri, mana mungkin Bapakku setuju aku kawin dengan laki orang. Jadi jalan satu-satunya ya itu.
Rambut sudah, make up sudah, baju sudah. Ok, persiapan sudah sembilan puluh persen, tinggal akadnya. Oh, aku sudah tidak sabar.
Cincin kedua akan memasuki sekuel kedua, selamat membaca.. 😊😊 Ketika Lani sudah mulai melupakan masa lalunya dengan Bobby, ternyata Bobby melakukan pendekatan dengan Lani kembali. Dia menyadari kalau masih mencintai dan menyayanginya. Apalagi sudah ada buah hati mereka. Lani merasa risih dengan Bobby, sehingga ia mulai menghindari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyimpan rasa padanya. Ketika Lani sudah akan menyerah, Istri siri Bobby, yang dulu sudah pergi meninggalkan ternyata kembali dengan masalah baru, meminta pertanggung jawaban pada hal yang tak pernah ia lakukan. Selain itu, sesosok laki-laki datang mendekati dan nenyatakan cintanya. Apakah Lani akan kembali dengan Bobby, ataukah memilih membuka lembaran baru dengan laki-laki yang datang? Atau mungkin tidak memilih kedua-duanya?
Kita tidak akan tahu jalan kita akhirnya kemana. Satu yang pasti, masa lalu adalah pelajaran sedang masa depan adalah harapan. Jangan sampai kita terpaku hanya pada masa lalu tanpa adanya keinginan untuk memperbaiki masa depan. Dan jangan sampai pula kita hanya menatap masa depan tanpa melihat masa lalu sebagai cambukan.Mas Bobby, pernah menjadi suami terbaikku. Imam yang sangat aku segani. Dia juga pernah menjadi penjahat bagiku. Pembohong ulung yang sangat aku benci. Mungkin aku masih mencintainya, iya. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga sangat membencinya. Dua hal yang bertolak belakang tapi mampu membuat hati seperti mati.Satu tahun perpisahan kami mungkin tidak akan cukup untuk melupakan kenangan indah atau buruk yang ada. Untungnya ada orang tua yang menemani. Kalau tidak, entah kemana otak ini. Stres berkepanjangan. Menghilangkan segala rasa, juga menghadapi dunia nyata bahwa aku menyandang status janda.Yudha, laki-lak
Baru satu jam berada di ruangan tanpa ada komunikasi itu sesuatu yang menjengahkan. Lani sepertinya sengaja tak menggubrisku sama sekali. Awal pertemuan, penengah menyuruh kami saling bertegur sapa, dia hanya menangkupkan tangan tanpa melihat.Pertanyaan demi pertanyaan terasa seperti angin lalu, aku menjawab hanya sekenanya saja. Pikiranku dipenuhi kenapa Lani berubah. Tatapanku tak ubahnya seekor elang yang mengejar mangsa. Lani terus menunduk.Di tengah mediasi, aku merasa gawai bergetar tidak berjeda di saku celana. Terpaksa aku mengeluarkannya. Aku ditegur tapi tak kugubris. Sofi menghubungi, tidak seperti biasanya. Walaupun manja, dia tidak akan seperti ini volume menghubungi.Aku hanya mendekatkan gawai di telinga. Terdengar suara kesakitan, Sofi berteriak meminta tolong agar aku segera pulang. Aku bingung, antara meneruskan atau kuhentikan di tengah acara mediasi ini.Sampai akhirnya aku memberanikan diri.
"Mas? Aku mau dibeliin baju yang itu dong?""Iya, besok Mas belikan. Mas belum gajian.""Mas nggak seru ah! Ini permintaan anak kita sepertinya. Pingin lihat ibunya tampil cantik di depan ayahnya.""Ya sudah, Mas telepon teman dulu, pinjam uang."🍒🍒🍒Satu bulan hidup dengan Sofi, hutangku ada di mana-mana. Memenuhi keinginannya yang diluar kendali. Tapi aku tidak bisa menolak. Setiap kali Sofi meminta dan merengek aku merasa harus menuruti.Seorang teman pernah berkata, hidupku seperti tidak bermakna. Berbeda dengan dulu. Wajahku sekarang kuyu, kusam dan menyedihkan. Kumis dan jambang tumbuh tidak beraturan.Ibu juga pernah menelepon memarahi. Sofi menghubungi beliau meminta jatah uang. Tapi tidak aku hiraukan ceritanya. Yang ada di pikiran adalah bagaimana cara mendapatkan uang supaya hari ini aku bisa memenuhi keinginan Sofi.🍒🍒🍒"Bob? Nanti sepulang kerja ikut aku!
"Bagaimana kabar pengajuanmu, Nduk? Ada kemajuan?" Tanya Ibu."Nggak tahu, Bu. Belum ada yang menghubungi masalah itu.""Ya sudah, kamu istirahat."Aku terpaksa pulang ke rumah orang tua, karena tidak mungkin aku tetap tinggal di rumah itu. Sudah satu bulan semenjak aku mengajukan permohonan cerai ke kantor, belum ada sama sekali yang menghubungi.Kamu sedang apa, Mas malam ini. Tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintai. Kamu laki-laki pertama yang membuatku terkesan dengan semua lakumu. Sudah hampir satu bulan ini juga kamu tidak menghubungi, biasanya tiap menit selalu ada pesan masuk darimu. Ah, apa mungkin kamu sudah menerima atau mungkin kamu sudah rela dan melupakanku.Air mata setia menemani di setiap malamku. Untaian doa aku panjatkan setiap waktu. Aku ingin bahagiaku juga bahagiamu. Tapi untuk bersatu kembali, rasanya tidak mungkin. Kamu sudah cacat di hatiku.🍒🍒🍒[Halo, Lin? Besok
Limbung aku berjalan menuju rumah kontrakanku dengan Sofi. Begitu masuk, seperti biasa rumah berantakan. Aku baru menyadari kalau Sofi sangat berbeda dengan Lani.Niat untuk beristirahat malah jadi bersih-bersih. Entah kemana Sofi. Rumah tidak terkunci, sampah di sana sini. Piring kotor dimana-mana. Untungnya pundak sudah tidak begitu sakit, masih bisa dikompromi.Gawai Sofi tergeletak di bawah depan tivi. Aku mengambilnya kemudian meletakkan di atas kursi. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk. Penasaran aku buka. Terdapat chat yang lumayan panjang.[Sof? Bagaimana? Polisi itu sudah bisa dihubungi?][Belum, Pak. Mungkin dia sudah mati!][Waah, kalau mati, Bapak sama Makmu nggak bisa beli sawah][Tenang, Pak. Aku masih punya cara lain. Anaknya kan masih aman di perut][Ya sudah, apa perlu ditambah lagi yang lebih dahsyat, supaya suamimu itu tambah klepek-klepek?][Boleh, Pak. Yang bisa ber
Empat hari sudah aku dirawat Lani. Talak, juga tidak lagi menjadi pembahasan. Walaupun dia menjaga jarak, tapi perlakuannya tidak. Tetap lembut dan penuh kasih sayang. Orang tuaku juga merasa senang di sini.Lani tersenyum, tertawa, bercanda denganku seperti tidak ada apa-apa. Tapi ketika di dalam kamar, dia berbeda. Lani murung dan diam. Kami tidur bersisihan tapi tidak berkomunikasi.Aku sering mengajaknya ngobrol, tapi hanya menimpali seperlunya. Kamar ini dingin, rumah ini mati. Aku rindu Laniku.Tengah malam aku terjaga. Melihat Lani memanjatkan doa dalam salatnya. Sangat khusyuk. Tidak berapa lama dia mengambil gawai di sebelahnya. Membaca sesuatu entah apa. Dia tersenyum manis, sangat manis. Senyum yang aku rindukan.Beberapa menit berikutnya ada panggilan masuk. Jelas aku dengar ada nada pasrah di sana. Mungkin ayah Lani yang berbicara.[Inggih, Yah. Lani akan segera pulang. Tapi harus menyelesaik
🍒🍒🍒"Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang," ucap Ibu tersenyum senang."Nduk, nanti kalau sudah sampai rumah, mbok yo Ibuk dimasakne urap-urap daun pepaya. Sama ikan kering yang biasa kamu masak itu loh?""Inggih, Buk, siap! Kebetulan di tetangga ada pohon pepaya," jawab Lani."Mulai wes Ibuk ini. Kasihan toh mantu kita, masih ngurus Bobby, juga disuruh masak," ayah menimpali."Nggak pa--pa tah, Yah? Wonk sama mantu kita ini, Ibuk kangen masakannya.""Ya enakan masakan Ibu toh, masakan saya masih di bawah standart.""Sudah lama Ibukmu ini pengen masak gitu Lan, tapi selalu pait. Wuek.""Direndam dulu sama air rendaman tanah lempung, Bu?""Nggak remdem-rendeman pokoke wes langsung masak."Kami semua tertawa di dalam mobil. Terlihat jelas, Lani pandai mengambil hati Ibu dari pertama aku kenalkan dulu.Orang tuaku belum tahu masalah kami. Lani pa
Seharian ini hati merasa gundah gulana. Keberadaan Lani sudah aku ketahui, tapi tidak dengan perasaannya. Pekerjaan yang menyita waktu pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, entahlah. Kalau memang Lani sudah mengetahui semuanya, aku harus bersiap untuk segala hal yang tidak aku inginkan.Fokus, aku harus fokus. Kali ini aku membantu berjaga, ada penggerebekan sarang begal motor. Semuanya sudah berada di titik yang ditentukan, tim kami sudah beredar, kalau-kalau ada yang melarikan diri.Sesekali aku melirik gawai yang kupegang, berharap Lani menjawab banyak pesan yang aku kirimkan. Sungguh, aku rindu.Selang setengah jam, aku mendengar suara tembakan. Kami bersiap-siap. Aku menambah ketelitian, takut salah satu komplotan lepas dari pantauan.Semuanya bergerak menyebar, aku pun sama. Mengambil posisi di belakang pohon mangga besar, aku bersembunyi. Salah satu teman di saluran menginformasikan seseoran
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments