ππππ
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!
ππππ
"Mas? Besok kan lepas dinas, bagaimana kalau kita ke dokter kandungan? Kan sudah janji waktu itu?" Pintanya dengan nada hati-hati.
"Eng.. Anu Dek, lihat besok ya?" Dengan nada suara terbata-bata.
"Kenapa? Mas gak bisa ya?" Pertanyaannya seolah meminta kepastian.
"Eng.. Itu.. Itu.. Takut tiba-tiba ada telepon dari komandan."
"Masa' tiap lepas dinas masih disuruh kerja terus Mas? Terus kapan kita ke dokternya?"
"Ya kan, Mas bilang lihat besok? Kamu juga ngerti kan resikonya nikah dengan aparat negara? Ya begini ini. Kalau gak ada telepon, besok kita berangkat, ya?" Kutowel hidungnya yang mancung, seketika membuat pipinya merona.
Jangan sampai istri tahu kalau besok adalah pernikahan keduaku. Tanpa ijinnnya tentu saja, kalau ijin menikah lagi, bisa-bisa tamat karirku.
Aku bukannya tidak mencintai istri, sangat malah. Dia perempuan yang cantik, kalem, berhijab. Ibu rumah tangga yang sempurna. Di tahun keempat pernikahan, belum juga dikarunia buah hati, tapi aku masih setia. Janjiku padanya, tidak akan pernah ada yang lain. Kenapa aku menikah lagi? Entahlah.
Secara tidak sengaja, aku ketemu seorang cewek, Sofi namanya. Awalnya biasa saja, geli malah, dia getol sekali untuk bisa dekat denganku. Sudah kubilang, aku sudah beristri, dia malah tambah merasa tertantang, herannya aku juga merasa demikian. Sepertinya senjata makan tuan.
Beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku menjadi ketagihan apalagi suatu malam secara sengaja aku ke tempat kosnya, terjadilah yang seharusnya tidak terjadi, aku sangat menikmati. Dia sangat liar dan panas, sampai membuat aku kewalahan. Hal yang tidak kudapat dari Lani, istriku. Aku jadi sering mencuri waktu dengannya, kalau tidak di kosnya, ya di losmen luar kota. Alasan dinas mendadak selalu kuutarakan pada Lani.
Segala hal yang Sofi minta, dengan segera aku kabulkan. Barang-barang branded, termasuk bedak macam-macam yang disebutnya skincare, langsung aku belikan. Berbeda dengan Lani, waktu kutanya apa gak pengen skincare, jawabnya sayang uangnya mending untuk yang lain, kulit Lani tanpa itupun juga mulus. Ya, mengurangi jatah lah. Lumayan.
Suatu waktu, ada salah satu teman yang curiga, dia hanya memberi saran menikahlah supaya tidak menjadi dosa, aku berkelit dan hanya menjawab kalau menikah satu saja pusing biaya, apalagi menikah dua. Tapi dalam hati, benar juga perkataannya. Ah, akan kucari informasi dimana jasa bisa menikah di bawah tangan tanpa ribet, dan akhirnya besoklah waktunya.
Malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan besok. Benarkah langkahku, atau salah. Kudengar dengkuran halus Lani di sebelah, kutatap wajahnya, ada perasaan bersalah. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah terlanjur. Maafkan Mas Lan, yang sudah membohongimu. Aku peluk dia dan kuciumi kepalanya. Dia terbangun.
"Ada apa Mas?" Dengan mengerjapkan mata.
"Gak pa-pa Dek, pengen aja meluk kamu."
"Mmm.. Bilang aja kalau mau minta itu ih." dicubitnya pinggangku.
"Ampun.. Ampun nyonya.." Ucapku.
Kami saling menatap. Kubelai pipinya yang mulus. Kemudian kukecup keningnya lama. Dia melihat dengan heran. Seperti ada pertanyaan di benaknya.
"Ya sudah, bobok yuk, kamu pasti capek seharian mengurus rumah." Entah kenapa hasrat yang ingin kutuntaskan pada Lani menguap begitu saja, dalam ingatan hanya ada Sofi.
Dia eratkan pelukan, beberapa menit kemudian kamipun tertidur dengan posisi saling memeluk.
***
Pagi ini aku sudah bersiap memakai kemeja putih dan celana hitam, sengaja bersepatu supaya Lani tidak curiga.
"Mas? Sarapan dulu?" Panggil Lani dari ruang tengah.
"Sebentar Dek,"
Sambil berjalan menuju meja makan, mata Lani tidak berhenti mengamati, dari atas sampai bawah.
"Mas mau kemana?"
"Ya mau dinas lah Dek."
"Ooh, kok seperti mau akad?" Dikerucutkan bibirnya.
Deg. Sejurus kemudian bisa mengatasi grogi.
Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Mas sayang Adek!" ucapku.
"Dari tadi malam Mas aneh!"
Aku terkekeh. Iya Dek, suamimu ini memang aneh, sudah punya istri sempurna malah pingin beristri dua.
Kami makan dalam diam, tiba-tiba hp berbunyi, waduh Sofi. Mau diangkat gimana, gak diangkat gimana. Lani memberi kode untuk mengangkatnya.
'Halo... iya ini mau berangkat'
Secepatnya kututup panggilan. Takut ada kecurigaan. Aku berdehem keras mengusir kecanggungan.
"Dek, mas berangkat ya?" Merogoh saku, mencari kotak cincin yang akan kugunakan sebagai mas kawin. Sengaja memesan dua, cincin kawin palladium emas putih dengan model yang sama, satu mata berlian tersemat di atasnya.
Dua saku sudah dicari tapi tidak kutemukan, kembali ke kamar, menyisir lantai dan kolong kasur kalau-kalau jatuh, nihil. Jangan sampai ditemukan Lani.
"Cari apa Mas?" Lani tiba-tiba masuk.
"Mm itu Dek, apa itu ya?" kepala masih tetap celingukan.
"Mas cari ini?" Ditunjukkannya kotak cincin dan dibuka.
Haduh, keringat dingin sebesar biji-biji jagung keluar membasahi leher dan wajah. Mati aku!
ππππ
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!ππππ
"Mas? Besok kan lepas dinas, bagaimana kalau kita ke dokter kandungan? Kan sudah janji waktu itu?" Pintanya dengan nada hati-hati.
"Eng.. Anu Dek, lihat besok ya?" Dengan nada suara terbata-bata.
"Kenapa? Mas gak bisa ya?" Pertanyaannya seolah meminta kepastian.
"Eng.. Itu.. Itu.. Takut tiba-tiba ada telepon dari komandan."
"Masa' tiap lepas dinas masih disuruh kerja terus Mas? Terus kapan kita ke dokternya?"
"Ya kan, Mas bilang lihat besok? Kamu juga ngerti kan resikonya nikah dengan aparat negara? Ya begini ini. Kalau gak ada telepon, besok kita berangkat, ya?" Kutowel hidungnya yang mancung, seketika membuat pipinya merona.
Jangan sampai istri tahu kalau besok adalah pernikahan keduaku. Tanpa ijinnnya tentu saja, kalau ijin menikah lagi, bisa-bisa tamat karirku.
Aku bukannya tidak mencintai istri, sangat malah. Dia perempuan yang cantik, kalem, berhijab. Ibu rumah tangga yang sempurna. Di tahun keempat pernikahan, belum juga dikarunia buah hati, tapi aku masih setia. Janjiku padanya, tidak akan pernah ada yang lain. Kenapa aku menikah lagi? Entahlah.
Secara tidak sengaja, aku ketemu seorang cewek, Sofi namanya. Awalnya biasa saja, geli malah, dia getol sekali untuk bisa dekat denganku. Sudah kubilang, aku sudah beristri, dia malah tambah merasa tertantang, herannya aku juga merasa demikian. Sepertinya senjata makan tuan.
Beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku menjadi ketagihan apalagi suatu malam secara sengaja aku ke tempat kosnya, terjadilah yang seharusnya tidak terjadi, aku sangat menikmati. Dia sangat liar dan panas, sampai membuat aku kewalahan. Hal yang tidak kudapat dari Lani, istriku. Aku jadi sering mencuri waktu dengannya, kalau tidak di kosnya, ya di losmen luar kota. Alasan dinas mendadak selalu kuutarakan pada Lani.
Segala hal yang Sofi minta, dengan segera aku kabulkan. Barang-barang branded, termasuk bedak macam-macam yang disebutnya skincare, langsung aku belikan. Berbeda dengan Lani, waktu kutanya apa gak pengen skincare, jawabnya sayang uangnya mending untuk yang lain, kulit Lani tanpa itupun juga mulus. Ya, mengurangi jatah lah. Lumayan.
Suatu waktu, ada salah satu teman yang curiga, dia hanya memberi saran menikahlah supaya tidak menjadi dosa, aku berkelit dan hanya menjawab kalau menikah satu saja pusing biaya, apalagi menikah dua. Tapi dalam hati, benar juga perkataannya. Ah, akan kucari informasi dimana jasa bisa menikah di bawah tangan tanpa ribet, dan akhirnya besoklah waktunya.
Malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan besok. Benarkah langkahku, atau salah. Kudengar dengkuran halus Lani di sebelah, kutatap wajahnya, ada perasaan bersalah. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah terlanjur. Maafkan Mas Lan, yang sudah membohongimu. Aku peluk dia dan kuciumi kepalanya. Dia terbangun.
"Ada apa Mas?" Dengan mengerjapkan mata.
"Gak pa-pa Dek, pengen aja meluk kamu."
"Mmm.. Bilang aja kalau mau minta itu ih." dicubitnya pinggangku.
"Ampun.. Ampun nyonya.." Ucapku.
Kami saling menatap. Kubelai pipinya yang mulus. Kemudian kukecup keningnya lama. Dia melihat dengan heran. Seperti ada pertanyaan di benaknya.
"Ya sudah, bobok yuk, kamu pasti capek seharian mengurus rumah." Entah kenapa hasrat yang ingin kutuntaskan pada Lani menguap begitu saja, dalam ingatan hanya ada Sofi.
Dia eratkan pelukan, beberapa menit kemudian kamipun tertidur dengan posisi saling memeluk.
***
Pagi ini aku sudah bersiap memakai kemeja putih dan celana hitam, sengaja bersepatu supaya Lani tidak curiga.
"Mas? Sarapan dulu?" Panggil Lani dari ruang tengah.
"Sebentar Dek,"
Sambil berjalan menuju meja makan, mata Lani tidak berhenti mengamati, dari atas sampai bawah.
"Mas mau kemana?"
"Ya mau dinas lah Dek."
"Ooh, kok seperti mau akad?" Dikerucutkan bibirnya.
Deg. Sejurus kemudian bisa mengatasi grogi.
Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya."Mas sayang Adek!" ucapku.
"Dari tadi malam Mas aneh!"
Aku terkekeh. Iya Dek, suamimu ini memang aneh, sudah punya istri sempurna malah pingin beristri dua.
Kami makan dalam diam, tiba-tiba hp berbunyi, waduh Sofi. Mau diangkat gimana, gak diangkat gimana. Lani memberi kode untuk mengangkatnya.
'Halo... iya ini mau berangkat'
Secepatnya kututup panggilan. Takut ada kecurigaan. Aku berdehem keras mengusir kecanggungan."Dek, mas berangkat ya?" Merogoh saku, mencari kotak cincin yang akan kugunakan sebagai mas kawin. Sengaja memesan dua, cincin kawin palladium emas putih dengan model yang sama, satu mata berlian tersemat di atasnya.
Dua saku sudah dicari tapi tidak kutemukan, kembali ke kamar, menyisir lantai dan kolong kasur kalau-kalau jatuh, nihil. Jangan sampai ditemukan Lani.
"Cari apa Mas?" Lani tiba-tiba masuk.
"Mm itu Dek, apa itu ya?" kepala masih tetap celingukan.
"Mas cari ini?" Ditunjukkannya kotak cincin dan dibuka.
Haduh, keringat dingin sebesar biji-biji jagung keluar membasahi leher dan wajah. Mati aku!
ππππPagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!ππππ"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat."Mmmm... Iyah sama-sama."Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat."Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?""Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja."Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!""Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.
"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan."Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar."Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.Aku mengangguk pasrah.Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah seder
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kub
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.πππAku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.πππ ππ"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
Cincin kedua akan memasuki sekuel kedua, selamat membaca.. ππ Ketika Lani sudah mulai melupakan masa lalunya dengan Bobby, ternyata Bobby melakukan pendekatan dengan Lani kembali. Dia menyadari kalau masih mencintai dan menyayanginya. Apalagi sudah ada buah hati mereka. Lani merasa risih dengan Bobby, sehingga ia mulai menghindari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyimpan rasa padanya. Ketika Lani sudah akan menyerah, Istri siri Bobby, yang dulu sudah pergi meninggalkan ternyata kembali dengan masalah baru, meminta pertanggung jawaban pada hal yang tak pernah ia lakukan. Selain itu, sesosok laki-laki datang mendekati dan nenyatakan cintanya. Apakah Lani akan kembali dengan Bobby, ataukah memilih membuka lembaran baru dengan laki-laki yang datang? Atau mungkin tidak memilih kedua-duanya?
Kita tidak akan tahu jalan kita akhirnya kemana. Satu yang pasti, masa lalu adalah pelajaran sedang masa depan adalah harapan. Jangan sampai kita terpaku hanya pada masa lalu tanpa adanya keinginan untuk memperbaiki masa depan. Dan jangan sampai pula kita hanya menatap masa depan tanpa melihat masa lalu sebagai cambukan.Mas Bobby, pernah menjadi suami terbaikku. Imam yang sangat aku segani. Dia juga pernah menjadi penjahat bagiku. Pembohong ulung yang sangat aku benci. Mungkin aku masih mencintainya, iya. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga sangat membencinya. Dua hal yang bertolak belakang tapi mampu membuat hati seperti mati.Satu tahun perpisahan kami mungkin tidak akan cukup untuk melupakan kenangan indah atau buruk yang ada. Untungnya ada orang tua yang menemani. Kalau tidak, entah kemana otak ini. Stres berkepanjangan. Menghilangkan segala rasa, juga menghadapi dunia nyata bahwa aku menyandang status janda.Yudha, laki-lak
Baru satu jam berada di ruangan tanpa ada komunikasi itu sesuatu yang menjengahkan. Lani sepertinya sengaja tak menggubrisku sama sekali. Awal pertemuan, penengah menyuruh kami saling bertegur sapa, dia hanya menangkupkan tangan tanpa melihat.Pertanyaan demi pertanyaan terasa seperti angin lalu, aku menjawab hanya sekenanya saja. Pikiranku dipenuhi kenapa Lani berubah. Tatapanku tak ubahnya seekor elang yang mengejar mangsa. Lani terus menunduk.Di tengah mediasi, aku merasa gawai bergetar tidak berjeda di saku celana. Terpaksa aku mengeluarkannya. Aku ditegur tapi tak kugubris. Sofi menghubungi, tidak seperti biasanya. Walaupun manja, dia tidak akan seperti ini volume menghubungi.Aku hanya mendekatkan gawai di telinga. Terdengar suara kesakitan, Sofi berteriak meminta tolong agar aku segera pulang. Aku bingung, antara meneruskan atau kuhentikan di tengah acara mediasi ini.Sampai akhirnya aku memberanikan diri.
"Mas? Aku mau dibeliin baju yang itu dong?""Iya, besok Mas belikan. Mas belum gajian.""Mas nggak seru ah! Ini permintaan anak kita sepertinya. Pingin lihat ibunya tampil cantik di depan ayahnya.""Ya sudah, Mas telepon teman dulu, pinjam uang."πππSatu bulan hidup dengan Sofi, hutangku ada di mana-mana. Memenuhi keinginannya yang diluar kendali. Tapi aku tidak bisa menolak. Setiap kali Sofi meminta dan merengek aku merasa harus menuruti.Seorang teman pernah berkata, hidupku seperti tidak bermakna. Berbeda dengan dulu. Wajahku sekarang kuyu, kusam dan menyedihkan. Kumis dan jambang tumbuh tidak beraturan.Ibu juga pernah menelepon memarahi. Sofi menghubungi beliau meminta jatah uang. Tapi tidak aku hiraukan ceritanya. Yang ada di pikiran adalah bagaimana cara mendapatkan uang supaya hari ini aku bisa memenuhi keinginan Sofi.πππ"Bob? Nanti sepulang kerja ikut aku!
"Bagaimana kabar pengajuanmu, Nduk? Ada kemajuan?" Tanya Ibu."Nggak tahu, Bu. Belum ada yang menghubungi masalah itu.""Ya sudah, kamu istirahat."Aku terpaksa pulang ke rumah orang tua, karena tidak mungkin aku tetap tinggal di rumah itu. Sudah satu bulan semenjak aku mengajukan permohonan cerai ke kantor, belum ada sama sekali yang menghubungi.Kamu sedang apa, Mas malam ini. Tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintai. Kamu laki-laki pertama yang membuatku terkesan dengan semua lakumu. Sudah hampir satu bulan ini juga kamu tidak menghubungi, biasanya tiap menit selalu ada pesan masuk darimu. Ah, apa mungkin kamu sudah menerima atau mungkin kamu sudah rela dan melupakanku.Air mata setia menemani di setiap malamku. Untaian doa aku panjatkan setiap waktu. Aku ingin bahagiaku juga bahagiamu. Tapi untuk bersatu kembali, rasanya tidak mungkin. Kamu sudah cacat di hatiku.πππ[Halo, Lin? Besok
Limbung aku berjalan menuju rumah kontrakanku dengan Sofi. Begitu masuk, seperti biasa rumah berantakan. Aku baru menyadari kalau Sofi sangat berbeda dengan Lani.Niat untuk beristirahat malah jadi bersih-bersih. Entah kemana Sofi. Rumah tidak terkunci, sampah di sana sini. Piring kotor dimana-mana. Untungnya pundak sudah tidak begitu sakit, masih bisa dikompromi.Gawai Sofi tergeletak di bawah depan tivi. Aku mengambilnya kemudian meletakkan di atas kursi. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk. Penasaran aku buka. Terdapat chat yang lumayan panjang.[Sof? Bagaimana? Polisi itu sudah bisa dihubungi?][Belum, Pak. Mungkin dia sudah mati!][Waah, kalau mati, Bapak sama Makmu nggak bisa beli sawah][Tenang, Pak. Aku masih punya cara lain. Anaknya kan masih aman di perut][Ya sudah, apa perlu ditambah lagi yang lebih dahsyat, supaya suamimu itu tambah klepek-klepek?][Boleh, Pak. Yang bisa ber
Empat hari sudah aku dirawat Lani. Talak, juga tidak lagi menjadi pembahasan. Walaupun dia menjaga jarak, tapi perlakuannya tidak. Tetap lembut dan penuh kasih sayang. Orang tuaku juga merasa senang di sini.Lani tersenyum, tertawa, bercanda denganku seperti tidak ada apa-apa. Tapi ketika di dalam kamar, dia berbeda. Lani murung dan diam. Kami tidur bersisihan tapi tidak berkomunikasi.Aku sering mengajaknya ngobrol, tapi hanya menimpali seperlunya. Kamar ini dingin, rumah ini mati. Aku rindu Laniku.Tengah malam aku terjaga. Melihat Lani memanjatkan doa dalam salatnya. Sangat khusyuk. Tidak berapa lama dia mengambil gawai di sebelahnya. Membaca sesuatu entah apa. Dia tersenyum manis, sangat manis. Senyum yang aku rindukan.Beberapa menit berikutnya ada panggilan masuk. Jelas aku dengar ada nada pasrah di sana. Mungkin ayah Lani yang berbicara.[Inggih, Yah. Lani akan segera pulang. Tapi harus menyelesaik
πππ"Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang," ucap Ibu tersenyum senang."Nduk, nanti kalau sudah sampai rumah, mbok yo Ibuk dimasakne urap-urap daun pepaya. Sama ikan kering yang biasa kamu masak itu loh?""Inggih, Buk, siap! Kebetulan di tetangga ada pohon pepaya," jawab Lani."Mulai wes Ibuk ini. Kasihan toh mantu kita, masih ngurus Bobby, juga disuruh masak," ayah menimpali."Nggak pa--pa tah, Yah? Wonk sama mantu kita ini, Ibuk kangen masakannya.""Ya enakan masakan Ibu toh, masakan saya masih di bawah standart.""Sudah lama Ibukmu ini pengen masak gitu Lan, tapi selalu pait. Wuek.""Direndam dulu sama air rendaman tanah lempung, Bu?""Nggak remdem-rendeman pokoke wes langsung masak."Kami semua tertawa di dalam mobil. Terlihat jelas, Lani pandai mengambil hati Ibu dari pertama aku kenalkan dulu.Orang tuaku belum tahu masalah kami. Lani pa
Seharian ini hati merasa gundah gulana. Keberadaan Lani sudah aku ketahui, tapi tidak dengan perasaannya. Pekerjaan yang menyita waktu pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, entahlah. Kalau memang Lani sudah mengetahui semuanya, aku harus bersiap untuk segala hal yang tidak aku inginkan.Fokus, aku harus fokus. Kali ini aku membantu berjaga, ada penggerebekan sarang begal motor. Semuanya sudah berada di titik yang ditentukan, tim kami sudah beredar, kalau-kalau ada yang melarikan diri.Sesekali aku melirik gawai yang kupegang, berharap Lani menjawab banyak pesan yang aku kirimkan. Sungguh, aku rindu.Selang setengah jam, aku mendengar suara tembakan. Kami bersiap-siap. Aku menambah ketelitian, takut salah satu komplotan lepas dari pantauan.Semuanya bergerak menyebar, aku pun sama. Mengambil posisi di belakang pohon mangga besar, aku bersembunyi. Salah satu teman di saluran menginformasikan seseoran