"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.
"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.
"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.
Aku mengangguk pasrah.
Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.
Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.
Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini.
Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.
Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.
Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.
"Kok ngelamun, Mas?"
"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.
Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa.
Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan.
Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.
***
"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.
"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.
Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.
"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"
Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.
Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis.
Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra.
***
[Mas? Pulang ke kos ya?]
[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]
[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]
[Iya, iya, Mas ke sana]
Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.
Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.
"Lan?" kupegangi bahunya pelan.
"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.
"Kenapa?" tanyaku gugup.
"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.
"Oh, kenapa nggak telepon?"
"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.
Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.
Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku.
Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.
"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.
"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.
"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.
Aku mengangguk pasrah.
Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.
Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.
Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini.
Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.
Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.
Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.
"Kok ngelamun, Mas?"
"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.
Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa.
Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan.
Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.
***
"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.
"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.
Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.
"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"
Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.
Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis.
Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra.
***
[Mas? Pulang ke kos ya?]
[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]
[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]
[Iya, iya, Mas ke sana]
Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.
Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.
"Lan?" kupegangi bahunya pelan.
"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.
"Kenapa?" tanyaku gugup.
"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.
"Oh, kenapa nggak telepon?"
"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.
Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.
Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku.
Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kub
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.🍒🍒🍒Aku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.🍁🍁🍁 💔💔"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
"Dek? Maksud kamu apa? Jangan memutar balikkan fakta! Jelas-jelas kamu yang salah!""Salah? Ha ha, lucu kamu Mas. Aku tidak bisa menyuruh seseorang untuk menyukaiku ataupun tidak menyukaiku. Tapi yang jelas aku tidak pernah memberikan respon."Sambil berjalan meninggalkannya menuju arah dapur."Ok, ok! Anggaplah dia hanya pengagummu, tapi Mas tetap tak suka!" Jawabnya mengejar ku.Mas Bobby menarik tangan kemudian memaksaku berhadapan dengannya. Terlihat wajahnya yang kuyu. Beberapa hari ini aku memang terpaku dengan kesedihanku. Tapi bukankah dia sudah ada yang baru.Belum ada cukup bukti atas hubungannya dengan yang lain, aku hanya berharap dia belum jauh. Karena mungkin aku tak sanggup jika mendengarnya sudah melangkah keluar jalur."Tatap mataku, Dek?""Mas, lepas!""Lani, istriku? Tolong jaga kepercayaanku. Mas tidak akan sanggup hidup tanpamu. Beberapa hari ini, Mas merasa kamu agak jauh."
Aku mengambil gawai dan gegas memfoto nomer Sofian. Aku kembalikan gawai Mas Bobby ke tampilan semula. Kemudian meletakkannya sesuai posisi awal.Air mataku mengucur deras, perasaanku tidak enak. Aku berbalik ketika Mas Bobby lewat dan pamit dengan tergesa. Badan langsung luruh ke lantai. Aku tergugu dengan posisi memeluk kaki.Tidak, tidak. Aku tidak boleh lemah. Kalau dia memang menduakanku, dia harus merasakan sakit hatiku.Pergi ke counter pulsa menjadi tujuan utama. Aku membeli kartu baru. Kemudian memasangnya. Setelah aktif kemudian aku memasukkan nomer Sofian. Kemudian mengiriminya pesan dengan pura-pura menjadi teman lama.[Sofi .. an?][Siapa?][Teman lama, benarkah ini Sofian?][Salah nomer! Di sini cewek ya? Sofi! Bukan Sofian! Enak saja.]Deg, deg, deg. Jantungku bertalu membaca chatnya, ternyata selama ini Mas Bobby membohongiku dengan menyembunyikan nama aslinya.
Cincin kedua akan memasuki sekuel kedua, selamat membaca.. 😊😊 Ketika Lani sudah mulai melupakan masa lalunya dengan Bobby, ternyata Bobby melakukan pendekatan dengan Lani kembali. Dia menyadari kalau masih mencintai dan menyayanginya. Apalagi sudah ada buah hati mereka. Lani merasa risih dengan Bobby, sehingga ia mulai menghindari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyimpan rasa padanya. Ketika Lani sudah akan menyerah, Istri siri Bobby, yang dulu sudah pergi meninggalkan ternyata kembali dengan masalah baru, meminta pertanggung jawaban pada hal yang tak pernah ia lakukan. Selain itu, sesosok laki-laki datang mendekati dan nenyatakan cintanya. Apakah Lani akan kembali dengan Bobby, ataukah memilih membuka lembaran baru dengan laki-laki yang datang? Atau mungkin tidak memilih kedua-duanya?
Kita tidak akan tahu jalan kita akhirnya kemana. Satu yang pasti, masa lalu adalah pelajaran sedang masa depan adalah harapan. Jangan sampai kita terpaku hanya pada masa lalu tanpa adanya keinginan untuk memperbaiki masa depan. Dan jangan sampai pula kita hanya menatap masa depan tanpa melihat masa lalu sebagai cambukan.Mas Bobby, pernah menjadi suami terbaikku. Imam yang sangat aku segani. Dia juga pernah menjadi penjahat bagiku. Pembohong ulung yang sangat aku benci. Mungkin aku masih mencintainya, iya. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga sangat membencinya. Dua hal yang bertolak belakang tapi mampu membuat hati seperti mati.Satu tahun perpisahan kami mungkin tidak akan cukup untuk melupakan kenangan indah atau buruk yang ada. Untungnya ada orang tua yang menemani. Kalau tidak, entah kemana otak ini. Stres berkepanjangan. Menghilangkan segala rasa, juga menghadapi dunia nyata bahwa aku menyandang status janda.Yudha, laki-lak
Baru satu jam berada di ruangan tanpa ada komunikasi itu sesuatu yang menjengahkan. Lani sepertinya sengaja tak menggubrisku sama sekali. Awal pertemuan, penengah menyuruh kami saling bertegur sapa, dia hanya menangkupkan tangan tanpa melihat.Pertanyaan demi pertanyaan terasa seperti angin lalu, aku menjawab hanya sekenanya saja. Pikiranku dipenuhi kenapa Lani berubah. Tatapanku tak ubahnya seekor elang yang mengejar mangsa. Lani terus menunduk.Di tengah mediasi, aku merasa gawai bergetar tidak berjeda di saku celana. Terpaksa aku mengeluarkannya. Aku ditegur tapi tak kugubris. Sofi menghubungi, tidak seperti biasanya. Walaupun manja, dia tidak akan seperti ini volume menghubungi.Aku hanya mendekatkan gawai di telinga. Terdengar suara kesakitan, Sofi berteriak meminta tolong agar aku segera pulang. Aku bingung, antara meneruskan atau kuhentikan di tengah acara mediasi ini.Sampai akhirnya aku memberanikan diri.
"Mas? Aku mau dibeliin baju yang itu dong?""Iya, besok Mas belikan. Mas belum gajian.""Mas nggak seru ah! Ini permintaan anak kita sepertinya. Pingin lihat ibunya tampil cantik di depan ayahnya.""Ya sudah, Mas telepon teman dulu, pinjam uang."🍒🍒🍒Satu bulan hidup dengan Sofi, hutangku ada di mana-mana. Memenuhi keinginannya yang diluar kendali. Tapi aku tidak bisa menolak. Setiap kali Sofi meminta dan merengek aku merasa harus menuruti.Seorang teman pernah berkata, hidupku seperti tidak bermakna. Berbeda dengan dulu. Wajahku sekarang kuyu, kusam dan menyedihkan. Kumis dan jambang tumbuh tidak beraturan.Ibu juga pernah menelepon memarahi. Sofi menghubungi beliau meminta jatah uang. Tapi tidak aku hiraukan ceritanya. Yang ada di pikiran adalah bagaimana cara mendapatkan uang supaya hari ini aku bisa memenuhi keinginan Sofi.🍒🍒🍒"Bob? Nanti sepulang kerja ikut aku!
"Bagaimana kabar pengajuanmu, Nduk? Ada kemajuan?" Tanya Ibu."Nggak tahu, Bu. Belum ada yang menghubungi masalah itu.""Ya sudah, kamu istirahat."Aku terpaksa pulang ke rumah orang tua, karena tidak mungkin aku tetap tinggal di rumah itu. Sudah satu bulan semenjak aku mengajukan permohonan cerai ke kantor, belum ada sama sekali yang menghubungi.Kamu sedang apa, Mas malam ini. Tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintai. Kamu laki-laki pertama yang membuatku terkesan dengan semua lakumu. Sudah hampir satu bulan ini juga kamu tidak menghubungi, biasanya tiap menit selalu ada pesan masuk darimu. Ah, apa mungkin kamu sudah menerima atau mungkin kamu sudah rela dan melupakanku.Air mata setia menemani di setiap malamku. Untaian doa aku panjatkan setiap waktu. Aku ingin bahagiaku juga bahagiamu. Tapi untuk bersatu kembali, rasanya tidak mungkin. Kamu sudah cacat di hatiku.🍒🍒🍒[Halo, Lin? Besok
Limbung aku berjalan menuju rumah kontrakanku dengan Sofi. Begitu masuk, seperti biasa rumah berantakan. Aku baru menyadari kalau Sofi sangat berbeda dengan Lani.Niat untuk beristirahat malah jadi bersih-bersih. Entah kemana Sofi. Rumah tidak terkunci, sampah di sana sini. Piring kotor dimana-mana. Untungnya pundak sudah tidak begitu sakit, masih bisa dikompromi.Gawai Sofi tergeletak di bawah depan tivi. Aku mengambilnya kemudian meletakkan di atas kursi. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk. Penasaran aku buka. Terdapat chat yang lumayan panjang.[Sof? Bagaimana? Polisi itu sudah bisa dihubungi?][Belum, Pak. Mungkin dia sudah mati!][Waah, kalau mati, Bapak sama Makmu nggak bisa beli sawah][Tenang, Pak. Aku masih punya cara lain. Anaknya kan masih aman di perut][Ya sudah, apa perlu ditambah lagi yang lebih dahsyat, supaya suamimu itu tambah klepek-klepek?][Boleh, Pak. Yang bisa ber
Empat hari sudah aku dirawat Lani. Talak, juga tidak lagi menjadi pembahasan. Walaupun dia menjaga jarak, tapi perlakuannya tidak. Tetap lembut dan penuh kasih sayang. Orang tuaku juga merasa senang di sini.Lani tersenyum, tertawa, bercanda denganku seperti tidak ada apa-apa. Tapi ketika di dalam kamar, dia berbeda. Lani murung dan diam. Kami tidur bersisihan tapi tidak berkomunikasi.Aku sering mengajaknya ngobrol, tapi hanya menimpali seperlunya. Kamar ini dingin, rumah ini mati. Aku rindu Laniku.Tengah malam aku terjaga. Melihat Lani memanjatkan doa dalam salatnya. Sangat khusyuk. Tidak berapa lama dia mengambil gawai di sebelahnya. Membaca sesuatu entah apa. Dia tersenyum manis, sangat manis. Senyum yang aku rindukan.Beberapa menit berikutnya ada panggilan masuk. Jelas aku dengar ada nada pasrah di sana. Mungkin ayah Lani yang berbicara.[Inggih, Yah. Lani akan segera pulang. Tapi harus menyelesaik
🍒🍒🍒"Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang," ucap Ibu tersenyum senang."Nduk, nanti kalau sudah sampai rumah, mbok yo Ibuk dimasakne urap-urap daun pepaya. Sama ikan kering yang biasa kamu masak itu loh?""Inggih, Buk, siap! Kebetulan di tetangga ada pohon pepaya," jawab Lani."Mulai wes Ibuk ini. Kasihan toh mantu kita, masih ngurus Bobby, juga disuruh masak," ayah menimpali."Nggak pa--pa tah, Yah? Wonk sama mantu kita ini, Ibuk kangen masakannya.""Ya enakan masakan Ibu toh, masakan saya masih di bawah standart.""Sudah lama Ibukmu ini pengen masak gitu Lan, tapi selalu pait. Wuek.""Direndam dulu sama air rendaman tanah lempung, Bu?""Nggak remdem-rendeman pokoke wes langsung masak."Kami semua tertawa di dalam mobil. Terlihat jelas, Lani pandai mengambil hati Ibu dari pertama aku kenalkan dulu.Orang tuaku belum tahu masalah kami. Lani pa
Seharian ini hati merasa gundah gulana. Keberadaan Lani sudah aku ketahui, tapi tidak dengan perasaannya. Pekerjaan yang menyita waktu pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, entahlah. Kalau memang Lani sudah mengetahui semuanya, aku harus bersiap untuk segala hal yang tidak aku inginkan.Fokus, aku harus fokus. Kali ini aku membantu berjaga, ada penggerebekan sarang begal motor. Semuanya sudah berada di titik yang ditentukan, tim kami sudah beredar, kalau-kalau ada yang melarikan diri.Sesekali aku melirik gawai yang kupegang, berharap Lani menjawab banyak pesan yang aku kirimkan. Sungguh, aku rindu.Selang setengah jam, aku mendengar suara tembakan. Kami bersiap-siap. Aku menambah ketelitian, takut salah satu komplotan lepas dari pantauan.Semuanya bergerak menyebar, aku pun sama. Mengambil posisi di belakang pohon mangga besar, aku bersembunyi. Salah satu teman di saluran menginformasikan seseoran