πππ
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa seperti bukan janda. Auw.
Kalau diingat-ingat, pertemuanku dengan Mas Bobby tanpa sengaja. Tiap pagi, dia sering banget ngopi di warung kopi, sebelah salon kecantikan tempatku bekerja. Waktu itu Cece yang punya salon minta dibelikan kopi. Biasanya Kang Karman si tukang parkir yang berangkat, tapi entah kenapa dia belum kelihatan sama sekali, akhirnya akulah yang disuruh.
"Mas, kopi satu!" pesanku.
"Buat Cece ya?" tanyanya kembali.
"Iya." jawabku singkat. Sambil menunggu pesanan, kuamati sekeliling, ternyata rame juga. Kuketuk-ketukkan jari ke meja sembari berdendang lirih.
"Ini Mbak" Pesanan selesai dibuat, dan segera kuambil. Begitu memutar badan, tanpa sengaja menabrak orang yang berada di belakang. Cangkir berisi kopi tumpah ke bajunya. Ya ampun..
"Maaf, Mas.. Maaf banget!" Gegas menyabet tisu di meja untuk membantu membersihkan.
"Gak pa-pa Mbak" ucapnya membuatku terkesima. Ya Tuhan. Dia tinggi, hitam manis, polisi pula, naluri kewanitaanku muncul seketika. Harus bisa kenalan ini. Harus! Syukur-syukur bisa jadi pacar, apalagi jadi istri. Uh la la.
Dari situ mulai gencar yang namanya mencari informasi, kemudian mempermak diri, rebonding rambut, pakai hand body agak mehong, beli skincare sistem kredit, ha ha ha.. Secara, wajah cantik, kulit kuning langsat, body aduhai pokoknyalah, tinggal poles sedikit, sempurna.
Memang usaha tidak mempengaruhi hasil, tiga bulan akhirnya aku bisa dekat dengan yang namanya Bobby. Enam bulan berpacaran, akhirnya aku bisa meyakinkannya untuk menikah, dengan servis paripurna tentunya, dia bilang tidak ingin menambah dosa, ya sudahlah, rejeki kan gak boleh ditolak. Tapi syaratnya, aku tidak boleh bekerja. Ok babe.
Selama enam bulan itu, apapun yang kuminta pasti dituruti, mulai dari sepatu, baju, tas, dan yang terpenting kebutuhan anakku, susu dan sebagainya. Maklum, ibu muda butuh bahagia ya beginilah. Ngomong-ngomong bahagia, demi anak rela kulakukan segalanya, termasuk mencarikannya bapak kaya. Walaupun tanpa cinta, ah, cinta hanya perasaan semu buatku. Cinta hanya untuk menderita, buktinya aku cinta dengan suami pertama, malah ujungnya sakit jua yang kudapat
***
Kipas angin bergerak memutar, mengeluarkan suara deritan yang lumayan keras mengalahkan suara jam dinding. Sambil sesekali mencomot pisang goreng, bermodalkan video di y** t**e aku mempercantik diri. Langkah pertama, bersihkan wajah terlebih dahulu, selanjutnya serum supaya make up bertahan agak lama, tidak lupa mengaplikasikan foundation dan concealer untuk menutupi kulitku yang agak berjerawat, oles dengan compact powder supaya terlihat natural. Tambahkan eyeliner untuk mempertegas garis mata, tambahkan blush on warna pink, yang terakhir oleskan liptic matte warna merah.
Sengaja aku memakai atasan kemeja putih, dan celana jeans hitam. Rambut kucepol agak tinggi menyisakan poni di depan. Sip. Terlihat manis.
Memilih sepatu hitam high hells, tas untuk make up warna maroon. Cucoklah.
Kusiapkan lingerie merah menyala seperti semangatku yang membara di atas kasur. Persiapan setelah akad mungkin akan langsung siang pertama. Bukan malam pertama. Karena kalau malam, dia harus pulang. Hiks.
"Halo?" Suara di seberang sana.
"Sayang, sudah berangkat?" kuucap dengan suara manja mendesah.
"Ini mau berangkat"
"Ya sudah, ayok cepetan, aku tunggu ya?" Telepon kututup dengan hati bahagia, pipi merona, membayangkan yang indah-indah. Aaah.
Akad dilangsungkan di desa sebelah, dengan menyewa jasa ustadz kampung, Pak RT setempat, dan satu saksi. Sekali lagi jangan tanya orang tua kemana. Ya jelas saja, yang aku nikahi adalah orang beristri, mana mungkin Bapakku setuju aku kawin dengan laki orang. Jadi jalan satu-satunya ya itu.
Rambut sudah, make up sudah, baju sudah. Ok, persiapan sudah sembilan puluh persen, tinggal akadnya. Oh, aku sudah tidak sabar.
πππ
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa seperti bukan janda. Auw.
Kalau diingat-ingat, pertemuanku dengan Mas Bobby tanpa sengaja. Tiap pagi, dia sering banget ngopi di warung kopi, sebelah salon kecantikan tempatku bekerja. Waktu itu Cece yang punya salon minta dibelikan kopi. Biasanya Kang Karman si tukang parkir yang berangkat, tapi entah kenapa dia belum kelihatan sama sekali, akhirnya akulah yang disuruh.
"Mas, kopi satu!" pesanku.
"Buat Cece ya?" tanyanya kembali.
"Iya." jawabku singkat. Sambil menunggu pesanan, kuamati sekeliling, ternyata rame juga. Kuketuk-ketukkan jari ke meja sembari berdendang lirih.
"Ini Mbak" Pesanan selesai dibuat, dan segera kuambil. Begitu memutar badan, tanpa sengaja menabrak orang yang berada di belakang. Cangkir berisi kopi tumpah ke bajunya. Ya ampun..
"Maaf, Mas.. Maaf banget!" Gegas menyabet tisu di meja untuk membantu membersihkan.
"Gak pa-pa Mbak" ucapnya membuatku terkesima. Ya Tuhan. Dia tinggi, hitam manis, polisi pula, naluri kewanitaanku muncul seketika. Harus bisa kenalan ini. Harus! Syukur-syukur bisa jadi pacar, apalagi jadi istri. Uh la la.
Dari situ mulai gencar yang namanya mencari informasi, kemudian mempermak diri, rebonding rambut, pakai hand body agak mehong, beli skincare sistem kredit, ha ha ha.. Secara, wajah cantik, kulit kuning langsat, body aduhai pokoknyalah, tinggal poles sedikit, sempurna.
Memang usaha tidak mempengaruhi hasil, tiga bulan akhirnya aku bisa dekat dengan yang namanya Bobby. Enam bulan berpacaran, akhirnya aku bisa meyakinkannya untuk menikah, dengan servis paripurna tentunya, dia bilang tidak ingin menambah dosa, ya sudahlah, rejeki kan gak boleh ditolak. Tapi syaratnya, aku tidak boleh bekerja. Ok babe.
Selama enam bulan itu, apapun yang kuminta pasti dituruti, mulai dari sepatu, baju, tas, dan yang terpenting kebutuhan anakku, susu dan sebagainya. Maklum, ibu muda butuh bahagia ya beginilah. Ngomong-ngomong bahagia, demi anak rela kulakukan segalanya, termasuk mencarikannya bapak kaya. Walaupun tanpa cinta, ah, cinta hanya perasaan semu buatku. Cinta hanya untuk menderita, buktinya aku cinta dengan suami pertama, malah ujungnya sakit jua yang kudapat
***
Kipas angin bergerak memutar, mengeluarkan suara deritan yang lumayan keras mengalahkan suara jam dinding. Sambil sesekali mencomot pisang goreng, bermodalkan video di y** t**e aku mempercantik diri. Langkah pertama, bersihkan wajah terlebih dahulu, selanjutnya serum supaya make up bertahan agak lama, tidak lupa mengaplikasikan foundation dan concealer untuk menutupi kulitku yang agak berjerawat, oles dengan compact powder supaya terlihat natural. Tambahkan eyeliner untuk mempertegas garis mata, tambahkan blush on warna pink, yang terakhir oleskan liptic matte warna merah.
Sengaja aku memakai atasan kemeja putih, dan celana jeans hitam. Rambut kucepol agak tinggi menyisakan poni di depan. Sip. Terlihat manis.
Memilih sepatu hitam high hells, tas untuk make up warna maroon. Cucoklah.Kusiapkan lingerie merah menyala seperti semangatku yang membara di atas kasur. Persiapan setelah akad mungkin akan langsung siang pertama. Bukan malam pertama. Karena kalau malam, dia harus pulang. Hiks.
"Halo?" Suara di seberang sana.
"Sayang, sudah berangkat?" kuucap dengan suara manja mendesah.
"Ini mau berangkat"
"Ya sudah, ayok cepetan, aku tunggu ya?" Telepon kututup dengan hati bahagia, pipi merona, membayangkan yang indah-indah. Aaah.
Akad dilangsungkan di desa sebelah, dengan menyewa jasa ustadz kampung, Pak RT setempat, dan satu saksi. Sekali lagi jangan tanya orang tua kemana. Ya jelas saja, yang aku nikahi adalah orang beristri, mana mungkin Bapakku setuju aku kawin dengan laki orang. Jadi jalan satu-satunya ya itu.
Rambut sudah, make up sudah, baju sudah. Ok, persiapan sudah sembilan puluh persen, tinggal akadnya. Oh, aku sudah tidak sabar.
ππππPagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!ππππ"Mas? Besok kan lepas dinas, bagaimana kalau kita ke dokter kandungan? Kan sudah janji waktu itu?" Pintanya dengan nada hati-hati."Eng.. Anu Dek, lihat besok ya?" Dengan nada suara terbata-bata."Kenapa? Mas gak bisa ya?" Pertanyaannya seolah meminta kepastian."Eng.. Itu.. Itu.. Takut tiba-tiba ada telepon dari komandan.""Masa' tiap lepas dinas masih disuruh kerja terus Mas? Terus kapan kita ke dokternya?""Ya kan, Mas bilang lihat besok? Kamu juga ngerti kan resikonya nikah dengan aparat
ππππPagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!ππππ"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat."Mmmm... Iyah sama-sama."Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat."Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?""Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja."Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!""Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.
"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan."Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar."Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.Aku mengangguk pasrah.Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah seder
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kub
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.πππAku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.πππ ππ"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
Cincin kedua akan memasuki sekuel kedua, selamat membaca.. ππ Ketika Lani sudah mulai melupakan masa lalunya dengan Bobby, ternyata Bobby melakukan pendekatan dengan Lani kembali. Dia menyadari kalau masih mencintai dan menyayanginya. Apalagi sudah ada buah hati mereka. Lani merasa risih dengan Bobby, sehingga ia mulai menghindari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyimpan rasa padanya. Ketika Lani sudah akan menyerah, Istri siri Bobby, yang dulu sudah pergi meninggalkan ternyata kembali dengan masalah baru, meminta pertanggung jawaban pada hal yang tak pernah ia lakukan. Selain itu, sesosok laki-laki datang mendekati dan nenyatakan cintanya. Apakah Lani akan kembali dengan Bobby, ataukah memilih membuka lembaran baru dengan laki-laki yang datang? Atau mungkin tidak memilih kedua-duanya?
Kita tidak akan tahu jalan kita akhirnya kemana. Satu yang pasti, masa lalu adalah pelajaran sedang masa depan adalah harapan. Jangan sampai kita terpaku hanya pada masa lalu tanpa adanya keinginan untuk memperbaiki masa depan. Dan jangan sampai pula kita hanya menatap masa depan tanpa melihat masa lalu sebagai cambukan.Mas Bobby, pernah menjadi suami terbaikku. Imam yang sangat aku segani. Dia juga pernah menjadi penjahat bagiku. Pembohong ulung yang sangat aku benci. Mungkin aku masih mencintainya, iya. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga sangat membencinya. Dua hal yang bertolak belakang tapi mampu membuat hati seperti mati.Satu tahun perpisahan kami mungkin tidak akan cukup untuk melupakan kenangan indah atau buruk yang ada. Untungnya ada orang tua yang menemani. Kalau tidak, entah kemana otak ini. Stres berkepanjangan. Menghilangkan segala rasa, juga menghadapi dunia nyata bahwa aku menyandang status janda.Yudha, laki-lak
Baru satu jam berada di ruangan tanpa ada komunikasi itu sesuatu yang menjengahkan. Lani sepertinya sengaja tak menggubrisku sama sekali. Awal pertemuan, penengah menyuruh kami saling bertegur sapa, dia hanya menangkupkan tangan tanpa melihat.Pertanyaan demi pertanyaan terasa seperti angin lalu, aku menjawab hanya sekenanya saja. Pikiranku dipenuhi kenapa Lani berubah. Tatapanku tak ubahnya seekor elang yang mengejar mangsa. Lani terus menunduk.Di tengah mediasi, aku merasa gawai bergetar tidak berjeda di saku celana. Terpaksa aku mengeluarkannya. Aku ditegur tapi tak kugubris. Sofi menghubungi, tidak seperti biasanya. Walaupun manja, dia tidak akan seperti ini volume menghubungi.Aku hanya mendekatkan gawai di telinga. Terdengar suara kesakitan, Sofi berteriak meminta tolong agar aku segera pulang. Aku bingung, antara meneruskan atau kuhentikan di tengah acara mediasi ini.Sampai akhirnya aku memberanikan diri.
"Mas? Aku mau dibeliin baju yang itu dong?""Iya, besok Mas belikan. Mas belum gajian.""Mas nggak seru ah! Ini permintaan anak kita sepertinya. Pingin lihat ibunya tampil cantik di depan ayahnya.""Ya sudah, Mas telepon teman dulu, pinjam uang."πππSatu bulan hidup dengan Sofi, hutangku ada di mana-mana. Memenuhi keinginannya yang diluar kendali. Tapi aku tidak bisa menolak. Setiap kali Sofi meminta dan merengek aku merasa harus menuruti.Seorang teman pernah berkata, hidupku seperti tidak bermakna. Berbeda dengan dulu. Wajahku sekarang kuyu, kusam dan menyedihkan. Kumis dan jambang tumbuh tidak beraturan.Ibu juga pernah menelepon memarahi. Sofi menghubungi beliau meminta jatah uang. Tapi tidak aku hiraukan ceritanya. Yang ada di pikiran adalah bagaimana cara mendapatkan uang supaya hari ini aku bisa memenuhi keinginan Sofi.πππ"Bob? Nanti sepulang kerja ikut aku!
"Bagaimana kabar pengajuanmu, Nduk? Ada kemajuan?" Tanya Ibu."Nggak tahu, Bu. Belum ada yang menghubungi masalah itu.""Ya sudah, kamu istirahat."Aku terpaksa pulang ke rumah orang tua, karena tidak mungkin aku tetap tinggal di rumah itu. Sudah satu bulan semenjak aku mengajukan permohonan cerai ke kantor, belum ada sama sekali yang menghubungi.Kamu sedang apa, Mas malam ini. Tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintai. Kamu laki-laki pertama yang membuatku terkesan dengan semua lakumu. Sudah hampir satu bulan ini juga kamu tidak menghubungi, biasanya tiap menit selalu ada pesan masuk darimu. Ah, apa mungkin kamu sudah menerima atau mungkin kamu sudah rela dan melupakanku.Air mata setia menemani di setiap malamku. Untaian doa aku panjatkan setiap waktu. Aku ingin bahagiaku juga bahagiamu. Tapi untuk bersatu kembali, rasanya tidak mungkin. Kamu sudah cacat di hatiku.πππ[Halo, Lin? Besok
Limbung aku berjalan menuju rumah kontrakanku dengan Sofi. Begitu masuk, seperti biasa rumah berantakan. Aku baru menyadari kalau Sofi sangat berbeda dengan Lani.Niat untuk beristirahat malah jadi bersih-bersih. Entah kemana Sofi. Rumah tidak terkunci, sampah di sana sini. Piring kotor dimana-mana. Untungnya pundak sudah tidak begitu sakit, masih bisa dikompromi.Gawai Sofi tergeletak di bawah depan tivi. Aku mengambilnya kemudian meletakkan di atas kursi. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk. Penasaran aku buka. Terdapat chat yang lumayan panjang.[Sof? Bagaimana? Polisi itu sudah bisa dihubungi?][Belum, Pak. Mungkin dia sudah mati!][Waah, kalau mati, Bapak sama Makmu nggak bisa beli sawah][Tenang, Pak. Aku masih punya cara lain. Anaknya kan masih aman di perut][Ya sudah, apa perlu ditambah lagi yang lebih dahsyat, supaya suamimu itu tambah klepek-klepek?][Boleh, Pak. Yang bisa ber
Empat hari sudah aku dirawat Lani. Talak, juga tidak lagi menjadi pembahasan. Walaupun dia menjaga jarak, tapi perlakuannya tidak. Tetap lembut dan penuh kasih sayang. Orang tuaku juga merasa senang di sini.Lani tersenyum, tertawa, bercanda denganku seperti tidak ada apa-apa. Tapi ketika di dalam kamar, dia berbeda. Lani murung dan diam. Kami tidur bersisihan tapi tidak berkomunikasi.Aku sering mengajaknya ngobrol, tapi hanya menimpali seperlunya. Kamar ini dingin, rumah ini mati. Aku rindu Laniku.Tengah malam aku terjaga. Melihat Lani memanjatkan doa dalam salatnya. Sangat khusyuk. Tidak berapa lama dia mengambil gawai di sebelahnya. Membaca sesuatu entah apa. Dia tersenyum manis, sangat manis. Senyum yang aku rindukan.Beberapa menit berikutnya ada panggilan masuk. Jelas aku dengar ada nada pasrah di sana. Mungkin ayah Lani yang berbicara.[Inggih, Yah. Lani akan segera pulang. Tapi harus menyelesaik
πππ"Alhamdulillah, hari ini sudah boleh pulang," ucap Ibu tersenyum senang."Nduk, nanti kalau sudah sampai rumah, mbok yo Ibuk dimasakne urap-urap daun pepaya. Sama ikan kering yang biasa kamu masak itu loh?""Inggih, Buk, siap! Kebetulan di tetangga ada pohon pepaya," jawab Lani."Mulai wes Ibuk ini. Kasihan toh mantu kita, masih ngurus Bobby, juga disuruh masak," ayah menimpali."Nggak pa--pa tah, Yah? Wonk sama mantu kita ini, Ibuk kangen masakannya.""Ya enakan masakan Ibu toh, masakan saya masih di bawah standart.""Sudah lama Ibukmu ini pengen masak gitu Lan, tapi selalu pait. Wuek.""Direndam dulu sama air rendaman tanah lempung, Bu?""Nggak remdem-rendeman pokoke wes langsung masak."Kami semua tertawa di dalam mobil. Terlihat jelas, Lani pandai mengambil hati Ibu dari pertama aku kenalkan dulu.Orang tuaku belum tahu masalah kami. Lani pa
Seharian ini hati merasa gundah gulana. Keberadaan Lani sudah aku ketahui, tapi tidak dengan perasaannya. Pekerjaan yang menyita waktu pun tidak bisa mengalihkan perhatianku. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya, entahlah. Kalau memang Lani sudah mengetahui semuanya, aku harus bersiap untuk segala hal yang tidak aku inginkan.Fokus, aku harus fokus. Kali ini aku membantu berjaga, ada penggerebekan sarang begal motor. Semuanya sudah berada di titik yang ditentukan, tim kami sudah beredar, kalau-kalau ada yang melarikan diri.Sesekali aku melirik gawai yang kupegang, berharap Lani menjawab banyak pesan yang aku kirimkan. Sungguh, aku rindu.Selang setengah jam, aku mendengar suara tembakan. Kami bersiap-siap. Aku menambah ketelitian, takut salah satu komplotan lepas dari pantauan.Semuanya bergerak menyebar, aku pun sama. Mengambil posisi di belakang pohon mangga besar, aku bersembunyi. Salah satu teman di saluran menginformasikan seseoran