"Kau sudah siap, Sayang?"
Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil.Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum.Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat."Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana.Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya bangsawan kelas rendah yang tinggal di desa, ia tetap harus mempelajari semua itu.Etika kesopanan sangat diperlukan seorang gadis dalam pergaulan. Etika juga yang menunjukkan kelas seseorang. Meskipun bangsawan, jika tidak memiliki etika kesopanan tidak ada bedanya dengan rakyat biasa. Itu yang selalu dikatakan Mama kepadanya, dan Crystal selalu mengingatnya.Astrid mengerti perasaan putri kecilnya. Perempuan itu menekuk lutut, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi tubuh Crystal. Tangan lembutnya membingkai wajah sedih sang putri tunggal."Mama tahu kau masih ingin bermain bersama Pangeran Alexant, tetapi kita harus pulang, Sayang. Tempat kita bukan di sini," ucap Astrid lembut, berusaha menjelaskan sebaik mungkin agar kata-katanya bisa dimengerti oleh gadis kecil seumur Crystal.Mata bulat itu menatap Astrid. Tatapannya bertanya. "Tetapi, kata Alexant nanti jika kami dewasa, kami akan menjadi pasangan dan Alexant akan memakaikan mahkota sungguhan di kepalaku," ucapnya polos.Bola mata Astrid melebar. Benarkah apa yang dikatakan putrinya?"Kau sungguh-sungguh, Sayang?" tanya Astrid tak percaya. Mungkin saja, 'kan, Crystal hanya bercanda. Meskipun jika dilihat dari wajahnya dia serius.Dia Ibu Crystal, perempuan yang melahirkannya, dan ia sangat mengenal putrinya. Astrid mengetahui kapan putrinya bercanda, kapan serius, dan sekarang ia tidak melihat jika Crystal sedang bercanda."Benarkah Pangeran Alexant mengatakan hal itu kepadamu, Sayang?"Crystal mengangguk."Kapan?" tanya Astrid lagi sambil menahan napas. Dadanya berdebar menanti jawaban putrinya.Di negeri mereka, perkataan seorang pangeran merupakan ikrar atau janji yang harus dipenuhi. Jika benar Pangeran e berkata seperti itu, berarti Crystal-nya akan menjadi ratu Namira.Senangkah Astrid dengan hal itu? Jawabannya tentu saja tidak. Dia sangat tidak mengharapkan putrinya kenapa-kenapa. Menjadi ratu bukanlah perkara gampang, banyak hal di dunia politik yang bisa merusak kepribadian seseorang. Itulah sebabnya, dia melarang suaminya untuk memasuki kancah politik istana.Astrid tidak ingin keluarga kecilnya ternoda. Kehidupan istana bukanlah sesuatu yang baik, terlalu banyak kebohongan di dalamnya. Dia tidak mau putrinya teracuni, kemudian berubah."Kapan pangeran Alexant mengatakan hal itu?" tanya Astrid lagi. Suaranya bergetar, kentara sekali jika dia sedang menahan gejolak perasaannya."Beberapa hari yang lalu saat kami bermain di taman," jawab Crystal jujur. "George juga ada bersama kami."Jawaban Crystal makin meresahkan hati Astrid. Jika memang George juga berada bersama Crystal dan Alexant saat anak itu mengucapkan ikrar itu, berarti ikrar itu sah."George juga mendengar perkataan Pangeran Alexant?" Pertanyaan yang tak seharusnya Astrid utarakan karena sungguh, dia tak ingin mendengar jawabannya. Dia takut jika jawaban Crystal tidak sesuai dengan yang diharapkannya.Crystal lagi-lagi mengangguk. Gadis kecil itu menatap ibunya bingung. Ia tidak mengerti kenapa sang Ibu justru menggeleng dengan mata terpejam rapat selama beberapa detik.Astrid menghela napas sepanjang yang dia bisa. Mata birunya terbuka perlahan, kedua tangan terangkat membingkai pipi putrinya yang kemerahan."Dengar, Sayang, kau harus melupakan kata-kata Pangeran Alexant. Kau mau, 'kan?" pinta Astrid sungguh-sungguh. Dia tidak bermaksud apa-apa, sama sekali tidak bermaksud menentang hukum dan tradisi kerajaan mereka. Ia hanya seorang Ibu yang ingin melindungi putrinya."Kenapa, Mama?" Crystal bertanya sambil memiringkan kepalanya.Astrid berusaha tersenyum. Pikirannya ke mana-mana, mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Crystal. Sedikit sulit mendapatkan kata-kata yang tepat dan mudah dicerna anak seusia putrinya."Kata Alexant, aku tidak boleh menikah dengan orang lain selain dengannya. Kami akan memimpin Namira."Hati Astrid tercubit melihat senyum manis di wajah cantik putrinya. Crystal bahkan sudah sangat senang meskipun dia tidak tahu apa dan bagaimana itu memimpin."Kau ingin bersama Alexant?" tanya Astrid lirih. Dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika ada yang mendengar perkataan mereka, nyawa Crystal bisa saja terancam. Semua yang menginginkan kedudukan sebagai ratu tentu menginginkan kematian Crystal. Itulah sebabnya, ia lebih memilih hidup di desa daripada di kota, apalagi di istana yang terlalu banyak aturan dan intrik.Crystal mengangguk, lagi. Ia ingin terus bermain bersama Alexant. Ia tidak pernah bosan bermain dengan anak itu. Alexant selalu memperhatikan, juga menjaganya. Selain itu, Alexant juga tampan."Apa aku tidak boleh bermain bersama Alexant lagi, Mama?" tanya Crystal sedih. Wajah cantiknya murung, sinar matanya yang tadi ceria, sekarang mendung.Astrid menghela napas panjang, kemudian menggeleng. "Boleh," jawabnya hati-hati. Perempuan itu berusaha menyunggingkan senyum agar keceriaan kembali ke wajah putrinya yang murung.. "Tapi, tidak sekarang, sebab sekarang kita harus kembali ke desa."Crystal menatap Astrid. Tatapannya masih sedih, membuat Astrid kembali menghela napas panjang."Sayang, kau tahu kan rumah kita tidak di sini?"Crystal tidak menjawab, tidak juga bereaksi. Dia hanya diam menunggu Astrid melanjutkan perkataan."Apa kau tidak merindukan Bibi Autumn?" Astrid berusaha mengalihkan pikiran Crystal. Bibi Autumn adalah pengasuh Crystal dan mereka sangat dekat. Crystal sangat menyayangi pengasuhnya itu. "Bibi Autumn akan sangat sedih jika kau tidak pulang."Crystal mengeejspkan matanya menatap Astrid. Tentu saja dia merindukan Bibi Autumn, dia juga tidak suka melihatnya bersedih, tetapi dia juga ingin bersama Alexant. Bermain dengannya sangat menyenangkan sampai-sampai waktu sangat cepat berlalu. Tahu-tahu sudah sore saja. Tahu-tahu sudah satu minggu saja, dan mereka, para tamu pesta ulang tahun raja, sudah harus pulang.Astrid menoleh saat mendengar pintu kamar mereka dibuka. Dia berdiri begitu Edmund Mars, suaminya, memasuki kamar mereka."Kalian sudah siap?" tanya pria tampan itu.Astrid mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. "Kamu siap. Benar, 'kan, Sayang?" Dia menatap Crystal yang menganggukkan kepalanya dengan lemah."Baiklah, ayo!"Astrid meraih tangan Crystal. Membiarkan para pelayan yang ditugaskan untuk melayani mereka selama di sini membawakan barang-barang mereka menuju keluar. Mereka akan pulang.Suara burung berkicau, ditambah dengan sinar hangat matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya membuat anak laki-laki itu membuka mata. Alexant mengerjap beberapa kali sebelum memejamkan mata abu-abunya kembali, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin tinggi. Ia masih mengantuk, masih memerlukan waktu untuk tidur beberapa saat lagi, sebelum ia ingat kalau tadi malam adalah malam pesta terakhir. Hari ini seluruh tamu undangan akan meninggalkan istana, termasuk keluarga bangsawan Mars. Crystal!Mengingat gadis kecil itu membuat kantuk yang tadi masih menggelayuti mata Alexant, seketika pergi. Bergegas anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bangun. Tanpa memakai mantel atau mengganti piyama, juga tanpa alas kaki Alexant langsung berlari menuju ruangan yang digunakan keluarga Crystal. Betapa terkejut Alexant ketika menemukan ruangan itu telah kosong. Tidak ada lagi barang-barang yang kemarin masih mengisi ruangan. Begitu juga dengan Crystal dan keluarganya. "Di mana Crystal?" ta
Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu. "Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya. "Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berad
Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlu
Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
"Jangan gunakan kekuatan dari sikumu untuk menyerang, seranganmu tidak akan sempurna!" Teriakan Jenderal Wallace Bryne membuat kedua bocah berusia sepuluh tahun di depannya membenarkan posisi mereka. Sudah beberapa kali mereka mempraktekkan apa yang diajarkan sang jenderal, tetapi ternyata tetap saja salah di matanya yang sudah terlatih. "Gunakan kekuatan pada bahu dan punggung untuk mendorong pedang ke depan!" Jenderal Wallace mendekati Alexant, membenarkan posisi tangan kanannya yang memegang pedang, mengarahkannya ke depan. "Posisi yang benar seperti ini, Yang Mulia," katanya, kemudian berpindah ke samping George yang berada di sebelah kirinya. Jenderal Wallace juga melakukan hal yang sama pada George, membenarkan posisi tubuh George, dan mengarahkan pedangnya ke depan. "Lakukan dengan benar, Anak-anak! Kita sudah mengulangi bagian ini sejak dua hari yang lalu. Apakah kalian tidak merasa malu karena masih saja salah?"Tidak ada yang menjawab. Kedua bocah itu terlalu fokus mende
Kesehatan Ratu Amora semakin menurun drastis setelah peristiwa itu. Dia bahkan tidak bisa turun dari tempat tidurnya. Semakin hari semakin memburuk sampai akhirnya Ratu Amora dinyatakan meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan putranya. Bukannya berduka dan menyesal, Raja Henry yang sudah naik tahta menggantikan ayahnya sejak lima tahun yang lalu, malah kembali memanggil si pelayan untuk kembali bekerja. Dia memintanya untuk menjadi pengasuh pangeran yang baru berusia satu bulan. Entah memang tidak memiliki rasa malu atau apa, perempuan itu menerimanya dengan syarat diizinkan pulang ke rumahnya setiap satu minggu sekali. Dia dan suaminya baru memperbaiki hubungan mereka. Lagi pula, dia memerlukan banyak istirahat karena kondisinya yang tengah berbadan dua. Si pelayan yang berubah status menjadi pengasuh putra mahkota tengah mengandung anak dari suaminya. Selena Llyod, mengambil cuti selama sebulan karena melahirkan. Setelah itu dia kembali ke istana. Daripada merawat bayi