Waktu satu minggu ternyata berjalan sangat cepat saat seseorang yang merasa bahagia. Hal itu juga yang dirasakan Alexant. Tidak terasa pesta yang dilangsungkan di istana akan berakhir malam ini. Setelah ini, istana akan kembali sepi seperti biasanya. Tidak ada lagi suara musik dan suara ramai para tamu. Yang ada hanya para dayang dan pembantu serta prajurit.
Alexant menatap bosan pada para dayang yang berseliweran di depannya. Ia ingin meninggalkan pesta sejak tadi, ingin bermain bersama Crystal. Malam ini adalah malam terakhir mereka bertemu. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semoga sebelum mereka dewasa mereka masih bisa bertemu.Alexant celingukan mencari Crystal. Gadis kecil itu tidak tampak sejak pesta dimulai. Hanya terlihat kedua orang tuanya saja di sudut sana. Selain Crystal, George juga tak terlihat. Sahabatnya itu tadi pulang ke kediaman keluarga Bryne lebih dulu, setelah itu baru kembali ke sini lagi. Itu yang dikatakan George sebelum pergi tadi. Namun, sampai sekarang George masih belum datang juga.Setelah mendapatkan izin dari ayahnya untuk meninggalkan pesta lebih dulu, Alexant segera berlari ke arah taman yang berada di samping ruang pesta. Ia tidak suka berada di pesta yang tidak ada Crystal-nya. Lagi pula, pesta itu adalah pesta ulang tahun ayahnya, bukan pesta untuk anak kecil seperti dirinya.Alexant memperlambat larinya, ia sudah hampir sampai. Ia ingat kalau Crystal sangat menyukai taman samping itu. Beberapa kali mereka berdua menghabiskan waktu bermain di taman itu.Dugaan Alexant benar, Crystal berada di taman, tetapi gadis itu tidak sendiri. Ia bersama seseorang, dan yang pasti orang itu bukan George. Orang itu adalah tamu pesta, putra mahkota dari Alastoire, kerajaan tetangga mereka. Ia benar, orang yang sedang berbicara dengan Crystal adalah Lance Loire. Pemuda dengan tatapan dingin dan menakutkan.Alexant tidak terlalu mengenal Lance, tetapi sedikit banyak ia sudah tahu tentang pemuda tersebut. Lance sangat jarang tersenyum, mungkin karena ia tinggal di negeri yang dingin seperti Alastoire sehingga senyumnya ikut beku. Selain itu, sikap Lance juga kurang ramah. Ia sangat dingin, tatapan mata ambernya juga sangat tajam dan menusuk.Alexant berdeham agar Crystal dan Lance menyadari kehadirannya. Kedua orang yang sedang duduk di sebuah bangku batu itu sama-sama menoleh. Crystal lebih dulu menghampirinya, memeluk lengannya erat. Lance Loire juga ikut berdiri. Namun, dilihat dari caranya sangat terlihat jika pemuda itu terpaksa."Pangeran Alexant." Lance Loire mengangguk hormat.Alexant membalas anggukan itu. Ia memang masih sangat muda, bisa dikatakan ia masih anak kecil, tingginya juga tidak sampai batas dada Lance. Sehingga saat mengangguk ia terlihat seperti membungkuk."Selamat malam, Pangeran Lance. Jika boleh aku tahu, kenapa Anda berada di sini? Pesta berada di dalam sana." Alexant menunjuk ruangan tempat pesta berlangsung dengan sedikit memiringkan kepalanya."Aku hanya bosan dan ingin suasana yang baru," jawab Lance."Suasana seperti apa?" Alexant tahu bahwa sangat tidak sopan ingin tahu apa yang menjadi masalah orang lain, kesannya seolah kita ingin ikut campur. Namun, ia tidak suka dengan Lance yang menatap tajam ke arah Crystal, sementara ia tidak tahu arti tatapan itu. Terlalu misterius."Maaf, Yang Mulia. Bukankah sangat tidak sopan bertanya seperti itu pada tamu Anda?" tanya Lance dingin. "Saya tidak terlalu suka pesta dan saya harap jawaban saya cukup membuat Anda puas. Permisi!"Alexant memerah mendengar kata-kata itu. Ia memang tidak sopan dan sepertinya harus meminta maaf kepada salah satu tamu penting ayahnya. Pangeran Lance datang mewakili ayahnya, Raja Alastoire, yang tidak bisa menghadiri undangan ayahnya. Ia menundukkan kepala, menyesali sikapnya barusan yang sudah mempermalukan dirinya dan Namira."Maafkan aku."Lance menghentikan niatnya untuk melangkah. Kaki kanannya yang tadi terangkat kembali ke posisi semula. Pemuda itu memutar tubuh menghadap anak kecil di depannya. Menatap Alexant dengan sebelah alis terangkat."Maafkan ketidaksopananku." Alexant membungkukkan badan sedikit. "Atas nama diriku pribadi aku meminta maaf pada Anda, Pangeran Lance," ucapnya."Tidak perlu sampai seperti ini," sahut Lance dingin. Pemuda itu mengangkat bahu acuh. "Aku memaklumi tindakan Anda, Yang Mulia. Anda masih anak kecil." Berkata anak kecil, Lance melirik gadis kecil yang berdiri di samping Alexant. Gadis kecil yang tadi menemaninya dan selalu mengajaknya bicara. Sungguh gadis yang berisik. "Sekarang aku permisi. Selamat malam.""Terima kasih, Pangeran Lance." Alexant mengangguk. "Selamat malam.""Selamat malam, Nona Kecil." Lance menatap Crystal dengan tatapan sulit diartikan. "Senang berbicara denganmu. Kuharap lain kali kita bisa bertemu lagi." Lance membungkuk, kemudian berlalu dari tempat itu tanpa menunggu Crystal membalas salamnya."Selamat malam, Tuan Yang Aku Tidak Tahu Siapa Namamu!" seru Crystal. Gadis kecil itu melambai ke arah Lance yang sudah berada di luar taman. "Senang berbicara dengan Anda!"Alexant mengembuskan napas lega. Rasanya sangat menyesakkan saat berbicara dengan Lance, seolah semua udara diraup oleh pemuda itu. Alexant tidak tahu kenapa aura yang terpancar dari Lance sangat menyeramkan, seperti Lance itu seorang monster saja."Kenapa kau berada di sini?" tanya Alexant. "Taman ini kurang menyenangkan di malam hari."Crystal menoleh. Gadis itu memutar tubuh agar bisa melihat wajah Alexant. "Aku bosan di dalam," jawabnya dengan bibir mengerucut. "Tidak ada teman. Orang-orang dewasa itu selalu melarangku untuk meminum minuman yang sama dengan yang mereka minum. Ibuku hanya memberiku susu."Alexant tersenyum. Tangan kanannya terulur mengusap pipi yang menunduk itu."Aku juga bosan," ucap Alexant. "Itu memang pesta orang dewasa, bukan pesta untuk anak kecil seperti kita."Crystal mengangguk. Gadis itu melangkah ke arah kursi panjang taman. Duduk di kursi itu dengan diikuti Alexant yang juga duduk di sampingnya."Kata ibuku, pesta sudah selesai. Malam ini adalah malam terakhir kami di sini, besok pagi kami akan pulang ke rumah." Crystal menatap Alexant. "Apa kita bisa bertemu lagi setelah ini, Alexant?" tanyanya.Alexant mengangguk. "Kita pasti bisa bertemu lagi. Harus!" jawabnya. "Sebab, kau adalah calon istri masa depanku.""Akan tetapi, rumahku sangat jauh dari istanamu. Bagaimana kita bisa bertemu?" tanya Crystal dengan sepasang alis pirangnya yang mengerut ragu.Alexant mengangkat bahu. "Entahlah," sahutnya. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri pelan. "Kita tetap harus bertemu. Kau harus mendampingiku memerintah Namira. Aku tidak mau memerintah bersama yang lain."Crystal mengangguk. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang seperti boneka. Sangat cantik dan menggemaskan. Alexant memajukan wajahnya untuk mencuri sebuah ciuman di pipi yang selalu kemerahan itu."Kalau aku lupa, kau harus mengingatkanku nanti," bisik Alexant di telinga Crystal.Gadis kecil itu mengangguk."Tapi, aku tidak akan lupa, Crystal."Crystal mengangguk lagi. Ingatan anak kecil selalu tajam dan itu berlaku pada Crystal hingga ia dewasa."Kau sudah siap, Sayang?" Seorang perempuan muda di kisaran dua puluh tahun menghampiri Crystal. Perempuan yang memiliki rambut sewarna Crystal itu mengusap pucuk kepala si gadis kecil. Crystal mendongak kemudian mengangguk. "Iya, Mama," jawabnya tersenyum. Astrid Mars tersenyum manis membalas senyuman sang putri. Tangannya berpindah ke arah pipi Crystal, mencubit pipi itu pelan sebelum mengusapnya hangat."Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang."Senyum di bibir mungil Crystal langsung surut. Gadis kecil itu mengangguk sedih. Mereka akan kembali ke kediaman mereka di desa pagi ini. Para tamu yang lain juga pulang hari ini. Tadi ia sempat melihat ratusan kereta kuda berjejer di halaman istana. Kepala Crystal tertunduk luruh. Ia masih belum ingin pulang, masih ingin bermain bersama Alexant, juga George. Di desanya ia tidak banyak memiliki teman, orang tuanya selalu memintanya untuk belajar etika kesopanan dan tata krama. Sebagai seorang gadis bangsawan, walaupun mereka hanya
Suara burung berkicau, ditambah dengan sinar hangat matahari pagi yang jatuh tepat di wajahnya membuat anak laki-laki itu membuka mata. Alexant mengerjap beberapa kali sebelum memejamkan mata abu-abunya kembali, tak peduli dengan sinar matahari yang semakin tinggi. Ia masih mengantuk, masih memerlukan waktu untuk tidur beberapa saat lagi, sebelum ia ingat kalau tadi malam adalah malam pesta terakhir. Hari ini seluruh tamu undangan akan meninggalkan istana, termasuk keluarga bangsawan Mars. Crystal!Mengingat gadis kecil itu membuat kantuk yang tadi masih menggelayuti mata Alexant, seketika pergi. Bergegas anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu bangun. Tanpa memakai mantel atau mengganti piyama, juga tanpa alas kaki Alexant langsung berlari menuju ruangan yang digunakan keluarga Crystal. Betapa terkejut Alexant ketika menemukan ruangan itu telah kosong. Tidak ada lagi barang-barang yang kemarin masih mengisi ruangan. Begitu juga dengan Crystal dan keluarganya. "Di mana Crystal?" ta
Jenderal Wallace berdeham sekali, menatap tegas pria yang juga balas menatapnya dengan tatapan tak terbantahkan. Edmund Mars, meskipun hanya seorang bangsawan yang berasal dari desa, tetapi ketegasan dan wibawanya tidak perlu diragukan. Terlihat dari tatapan tajamnya itu. "Aku juga minta maaf pada Anda, Duke Mars." Wallace menundukkan sedikit kepalanya. "Namun, bagaimanapun juga peraturan kerajaan kita....""Kami hanya bangsawan dari desa, Jenderal." Sekali lagi Edmund memotong perkataan jenderal Wallace. "Sangat tidak pantas untuk putriku berada di istana. Crystal lebih pantas berada di kastil kami daripada di istana di ibu kota."Wallace menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan tanpa gerakan berarti. Bangsawan desa yang keras kepala dan pemberani. Meskipun menentang aturan kerajaan dan negara, pria berambut hitam di depannya ini tetap tidak mau melepaskan putrinya. "Mereka masih anak-anak, Jenderal." Astrid ikut berbicara. Dia yang sejak beberapa menit yang lalu sudah berad
Dua minggu tanpa Crystal terasa seperti dua tahun. Mungkin kedengarannya sedikit berlebihan bagi seorang anak kecil, tetapi itulah yang dirasakan Alexant sekarang. Hari-harinya terasa sangat membosankan, terlalu monoton karena hanya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Tak ada lagi waktu untuk bermain, semua tersita untuk belajar yang kata mereka –para orang dewasa– untuk bekalnya kelak saat ia dewasa, agar ia bisa memimpin Namira sehebat ayahnya. Alexant mendengkus, ia selalu saja tidak suka setiap kali gurunya membicarakan tentang kehebatan sang Ayah karena menurutnya ayahnya biasa saja. Tak ada yang dapat dibanggakan dari seorang pria yang hanya duduk diam di atas singgasana dan menerima upeti tanpa harus bekerja. Seandainya saja bisa memilih, ia tak ingin menjadi raja. Menjadi raja bukanlah sesuatu yang mudah. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang berada di kerajaannya. Itu tidak terdengar menyenangkan untuk seorang anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Yang diperlu
Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya. Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya. George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George. Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jender
"Kapan kita kembali ke istana, Mama?" Itu adalah pertanyaan kesekian dari Crystal yang didengar Astrid hari ini. Entah sudah berapa kali putri kecilnya menanyakan hal itu. Katanya, dia ingin cepat ke istana lagi agar bisa bertemu dan bermain bersama Alexant. Untuk hari ini, entah sudah berapa kali Crystal menanyakannya. Belum lagi hari-hari belakangan. Mungkin seandainya dihitung, dalam tiga bulan terakhir sejak mereka kembali dari istana sudah lebih dari jutaan kali dia bertanya, sampai rasanya dia bosan menjawabnya. Setiap hari pertanyaan Crystal selalu sama, seolah dia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Astrid mengembuskan napas pelan. "Mama tidak tahu, Sayang. Tidak ada undangan dari istana, kita tidak bisa ke sana." Dia tersenyum, tangannya membingkai pipi chubby putrinya yang kemerahan. "Kau pasti tahu, 'kan, tidak sembarang orang bisa memasuki istana. Jika tidak ada undangan atau izin, para penjaga tidak akan membiarkanmu masuk."Wajah mungil Crystal tertunduk. "Tapi, aku
Lalu, apakah Astrid senang? Apakah dia gembira dengan kenyataan itu? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang ingin menjerumuskan putrinya dalam masalah. Lingkungan istana penuh intrik, orang-orang yang tinggal di dalamnya adalah orang-orang yang berpikiran licik. Semua hanya mementingkan jabatan dan kekuasaan. Menjadi ratu bukanlah hal yang patut dibanggakan. Menjadi ratu di kerajaan yang penuh tipu muslihat sama saja dengan menceburkan diri dalam permasalahan yang tak kunjung usai. Seandainya saja bisa, dia ingin menghentikan hal itu. Sayangnya tidak. Bukannya pernikahan yang batal, malah dirinya yang akan kehilangan kepala. Entah siapa yang memutuskan demikian –perkataan keluarga kerajaan adalah ikrar dan harus terjadi– untuk pertama kali, dia tidak tahu. Yang pasti semua ini sangat merugikan semua pihak, kecuali mereka yang menginginkan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum jika mendiang Ratu Amora mangkat karena tidak sanggup lagi bertahan mengh
"Jangan gunakan kekuatan dari sikumu untuk menyerang, seranganmu tidak akan sempurna!" Teriakan Jenderal Wallace Bryne membuat kedua bocah berusia sepuluh tahun di depannya membenarkan posisi mereka. Sudah beberapa kali mereka mempraktekkan apa yang diajarkan sang jenderal, tetapi ternyata tetap saja salah di matanya yang sudah terlatih. "Gunakan kekuatan pada bahu dan punggung untuk mendorong pedang ke depan!" Jenderal Wallace mendekati Alexant, membenarkan posisi tangan kanannya yang memegang pedang, mengarahkannya ke depan. "Posisi yang benar seperti ini, Yang Mulia," katanya, kemudian berpindah ke samping George yang berada di sebelah kirinya. Jenderal Wallace juga melakukan hal yang sama pada George, membenarkan posisi tubuh George, dan mengarahkan pedangnya ke depan. "Lakukan dengan benar, Anak-anak! Kita sudah mengulangi bagian ini sejak dua hari yang lalu. Apakah kalian tidak merasa malu karena masih saja salah?"Tidak ada yang menjawab. Kedua bocah itu terlalu fokus mende
Kedua tangan Alexant mengepal erat, gigi-giginya bergemeletuk. Apa maksud perkataan Selena? Dengan berkata seperti itu, apakah dia berpikir jika putrinya tidak berarti? Astaga, Selena benar-benar kejam untuk menjadi seorang Ibu. Tidak salah memang dia menginginkan kesejahteraan kerajaan dengan mengorbankan apa pun, tetapi dia juga harus memikirkan perasaan putrinya. Tidak ada seorang pun Ibu di dunia ini yang tega mengorbankan putrinya, meskipun itu demi negerinya sendiri. Sangat menggelikan mendengar Selena mencintai Namira sedalam itu. Satu lagi, dengan berkata seperti itu, secara tak langsung Selena sudah mengakui bahwa dia mengetahui di mana keberadaan Beatrice. "Maafkan aku, Selena, tetapi aku tidak bisa menghargai rasa cintamu yang berlebihan terhadap Namira. Aku akan lebih menghargaimu jika kau memberi tahu di mana Beatrice berada!" Selena berdecak. Alexant memang sangat keras kepala, dan dia sudah mengetahuinya. Jika belum mendapatkan apa yang diinginkannya, dia tidak akan
"Kau tetap akan mencarinya?" tanya George sambil berusaha menjajari langkah cepat Alexant. Mereka baru kembali dari kamar tidur yang ditempati Beatrice dan Bibi Fasha, dan menemukan fakta bahwa memang telah terjadi tindak kekerasan di kamar itu. Mereka menemukan seutas tali yang sering digunakan untuk mengikat tangan atau kaki penjahat agar tidak melarikan diri. Jadi, ada kemungkinan Beatrice telah diculik, dan sepertinya Bibi Fasha juga demikian. Namun, jika dilihat dari kekacauan yang ada, hanya tempat tidur Beatrice yang berantakan, sementara tempat tidur Bibi Fasha tetap terlihat rapi seperti biasanya. Dengan semua fakta yang ada membuat mereka berdua ragu apakah Bibi Fasha juga merupakan korban penculikan sama seperti Beatrice, ataukah Bibi Fasha yang sudah menculik Beatrice? Bukan menculik secara langsung, atau dalang penculikan, melainkan ikut andil dalam penculikan terhadap Beatrice. "Aku yakin Selena pasti tahu sesuatu!" Alexant mempercepat langkahnya begitu mereka hampir
"Tidak sesederhana itu, Beatrice." Fasha tersenyum. Dia harus menjelaskan dengan lebih sabar lagi pada gadis di depannya ini. Pemahaman Beatrice terhadap sesuatu sepertinya masih kurang. "Pangeran Alexant hanya berkata akan melindungimu, bukan menikahi. Dua hal itu memiliki makna yang berbeda. Lagi pula, Pangeran Alexant sudah memiliki calon istri. Dia memintanya untuk menikah saat usianya masih sepuluh tahun. Kau bisa membayangkannya, 'kan, bagaimana perasaan Pangeran Alexant? Dia meminta Lady Crystal Mars untuk menjadi permaisurinya di depan Jenderal Wallace dan ibumu, juga para prajurit dan pelayan lainnya. Oh, iya, para bangsawan juga ada di sana saat dia mengucapkan ikrarnya."Beatrice menggeleng. "Itu tidak benar!" bantahnya. "Bibi berbohong! Bibi hanya membohongiku agar aku melupakan Alexant. Tidak benar Alexant mencintai gadis lain. Dia mencintaiku!" Beatrice berteriak. Suaranya terdengar serak karena dia sudah menangis sejak beberapa saat yang lalu. "Itulah kenapa aku menga
"Kau sudah merasa baikan?" Beatrice mengangkat kepala, menatap pemilik suara. Namun, segera saja dia membuang muka setelah tahu jika Fasha yang sedang duduk di depannya. Seandainya saja neneknya, dia tidak akan bersikap memusuhi seperti ini, pasti dia akan langsung memeluknya, dan menangis di bahu tuanya yang ringkih. Namun, tidak untuk Fasha. Jika dulu, sewaktu mereka masih berada di istana, dia sangat menyayanginya, berbeda dengan di tempat ini. Bibi Fasha berubah menjadi seseorang yang sangat menyebalkan baginya. Selalu saja berpura-pura tidak tahu jalan keluar dari tempat ini. Padahal, apa sulitnya mengatakan jalan keluar kepadanya? Jika memang ingin tinggal di tempat seperti ini, jangan pernah mengajaknya. Dia tidak mau tinggal di tempat yang tidak ada Alexant. Dulu, dia mengira Bibi Fasha berpihak kepadanya. Dia mengira Bibi Fasha yang anggun selalu mendukungnya, itulah kenapa dia sangat menyayanginya. Akan tetapi, siapa yang menyangka ternyata Bibi Fasha sama seperti Mama
"Memang mustahil," sahut George parau. Ia menganggukkan kepala. Gerakannya sedikit kaku. Rasa penasaran akan perasaan Alexant membuatnya gelisah. Bukannya ia mencintai Beatrice sehingga takut jika mereka harus bersaing. Hatinya sudah dimiliki oleh gadis angkuh itu. Entah bagaimana Elsa Bryne bisa mencurinya, yang pasti ia tergila-gila padanya. Yang ditakutkannya hanyalah masa depan Namira. Apa yang akan dilakukan Alexant ke depannya akan sangat berpengaruh pada kelangsungan Namira. "Alexant, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu, sebagai seorang sahabat?" tanya George ragu. Alexant mengangguk. Sepasang alisnya yang berwarna abu-abu berkerut. Tampaknya George ingin menanyakan sesuatu yang penting. Ia melihat keraguan dan kekhawatiran di mata birunya. "Bertanyalah!" "Jangan marah jika pertanyaanku nanti membuatmu tersinggung. Aku hanya ingin mengetahui, dan kuharap apa yang kupikirkan tidak benar!" George menggeleng pelan beberapa kali. Pasti akan sangat menakutkan jika perasaan A
Istana tak pernah terasa sepi seperti sekarang ini. Para pelayan dan prajurit yang berlalu-lalang seolah tak terlihat, mereka bagaikan bayangan dan tak bersuara. Hanya saat berada di dalam kamar tidurnya saja Alexant merasakan sedikit lebih terhibur, atau saat ia fokus memikirkan Crystal. Rasa sepi yang datang karena ketidakhadiran Beatrice, membuatnya sedikit uring-uringan, dan ia menyadari ketidakberadaan sahabatnya di istana seminggu setelah kepulangannya dari Rainbow Hill. Sangat miris. Di saat ia merasa lega dan sangat bahagia, salah satu sahabatnya justru menghilang entah ke mana. Seandainya ia tidak menanyakan keberadaan Beatrice pada salah satu pelayan, ia tidak akan tahu jika sahabatnya menghilang. Empat hari setelah kembali dari Rainbow Hill, kesibukannya sedikit berkurang. Baginda Raja sudah memilih beberapa orang terpercaya, termasuk Jenderal Wallace di dalamnya, untuk mengurus masalah pernikahannya dengan Crystal. Itu membuatnya lega dan merasa bebannya sedikit berkur
"Apa?" Mata biru Chloe melebar. "Kau tidak sedang bercanda, 'kan, Crystal Mars? Dua tahun? Astaga! Itu adalah waktu yang sangat lama!"Crystal meringis. Dia sudah menduga jika reaksi Chloe akan seperti ini. Sepertinya, semua orang selalu berpikir, waktu dua tahun adalah waktu yang lama. Namun, tidak baginya dan Alexant. Waktu dua tahun tidak terlalu lama bagi mereka. Apa yang dikatakan Alexant seminggu yang lalu saat perpisahan mereka itu benar. Jika mereka bisa melalui waktu selama tujuh tahun, apalah artinya dua tahun lagi. Dia yakin mereka pasti bisa bertahan sekali lagi."Apa kau sudah gila?" tanya Chloe. Dia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan Crystal. Tak bertemu selama dua tahun? Sungguh, Crystal benar-benar sedang mengajaknya bercanda. "Kenapa harus menunggu selama dua tahun lagi? Kupikir, kalian tidak akan berpisah lagi setelah bertemu kembali."Kepala berambut pirang Crystal menggeleng. "Tidak semudah itu, Chloe. Ada peraturan-peraturan yang harus dipatuhi Alexant,
Hutan di gunung Bond masih liar, tak ada seorang pun dari penduduk Namira yang berani memasukinya. Gunung Bond sendiri merupakan tempat terlarang bagi mereka karena tidak ada orang yang pernah kembali jika menginjakkan kaki ke gunung paling tinggi di Namira. Fasha sudah pernah mendengar akan hal itu, juga gosip yang diembuskan oleh para prajurit dan warga tentang adanya mahluk mengerikan yang mendiami dan menjaga gunung Bond. Dia yakin, alasan kenapa orang-orang yang tidak pernah pulang lagi itu disebabkan mereka tersesat. Orang-orang itu tidak bisa menemukan jalan pulang karena hutan di gunung ini yang terlalu lebat. Jika memang ada makhluk buas seperti yang dikatakan orang-orang itu, pastilah sekarang mereka sudah berada di dalam perutnya. Buktinya, sampai sekarang mereka yang berada di sini baik-baik saja. Hanya saja, mereka tidak bisa pulang karena tidak bisa menemukan jalan pulang lagi. Prajurit yang membawa mereka ke sini sudah pulang. Prajurit itu juga yang sudah membawa Ime
Bukit pelangi. Begitu Crystal dan teman-temannya menyebut bukit yang terletak di belakang kediaman keluarga Mars. Bukit itu tidak terlalu terjal jika ditempuh melewati jalan setapak yang berada di samping kanan kediaman keluarga Mars. Jalan yang beberapa hari ini selalu dilalui oleh Alexant untuk mencapai bukit, sampai-sampai ia hafal dengan kondisi jalan itu. Batu-batu kerikil yang tersebar di sepanjang jalan membuat jalanan selebar satu meter itu seperti jalanan menuju taman. Ilalang yang tumbuh di kanan dan kirinya membuat jalan tak terlihat dari jauh. Bisa dikatakan jalan ini tersembunyi, termasuk dari sinar matahari. Meskipun sudah hafal di luar kepala, Alexant tetap berusaha memetakan pemandangan terakhir jalan setapak ini, di dalam memori otaknya. Sesekali ia memejamkan mata, tetapi lebih banyak menarik napas dan mengembuskannya melalui mulut, tanpa suara karena ia tak ingin George yang selalu setia mengikuti ke mana pun ia pergi, mendengar suara desahan napasnya. Ia tak ing