“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.
Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya. “Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz. “Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.” Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka. “Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana. “Ya elah, ga bakal juga dia masuk ruang ganti baju. Dah lah, biarin, pura-pura aja ga lihat.” “Gak bisa.” Lana merasa terprovokasi dengan kelakuan Anya yang makin membuatnya kesal. Ia berbalik, menatap tajam pada gadis dengan hoodie hitam oversize yang menenggelamkan tubuh mungilnya itu. “Bisa gak sih lu gak usah ngikutin gue! Muak tau ga!” Lana mendorong kepala Anya hingga gadis itu terjerembab memegangi kepala yang terasa pening karena ulah pemuda itu. Beberapa anak sekelas Lana menatap pertengkaran itu, tetapi bukannya membela teman beberapa anak perempuan justru membantu Anya berdiri, lalu melempar tatapan nyalang pada Lana. “Jangan keterlaluan sama adek kelas, kita ini harusnya jadi panutan.” “Gak usah sok baik!” sewot Lana. “Lagian selama ini gue gak pernah bikin masalah sama adek kelas, kecuali sama si boncel ini.” Isakan Anya terdengar semakin jelas di koridor, membuat beberapa murid lainnya di ruang ganti ikut keluar melihat apa yang terjadi. Lana mendengus kesal, kalau sudah seperti ini sudah pasti ia yang akan di salahkan. Si Anya itu rupanya selain menyebalkan juga sangat cengeng. “Gue bilang juga apa, gak usah diurusin, lu malah kayak gini,” ujar Ardiaz dengan santainya melewati Lana. Sementara itu Anya masih menangis sesenggukan. “Anya, kamu tidak apa-apa, kan? Kamu pasti mau mengungkapkan perasaan ke Lana, kan? Dia memang kasar, tapi gak perlu kamu ambil hati,” ujar salah satu coba menenangkan bocah itu. “Iya. Lagian anak semanis kamu gak pantas kalau bersanding sama Lana.” Mendengar perkataan itu, Lana kembali terprovokasi. Kedua telapak tangannya mengepal erat. Bukannya Lana yang tidak pantas, tapi si boncel cengeng itu yang tak pantas untuknya, menyukai seseorang hanya karena keren di jam olah raga. “Mati lu, Anya!” bisik Lana sembari memegang dagu Anya, mengancam dengan tatapan tajam. oOo Lana benar-benar dibuat kepayang oleh makhluk pendek yang terus mengikutinya itu. Pemuda itu bahkan sudah sembunyi-sembunyi keluar dari kelas menuju perpustakaan, tapi tetap saja Anya tau. "Hyun, gak pergi ke kantin?" tanya beberapa pemuda yang duduk di hadapan Lana, meletakkan buku mereka sembari tersenyum ringan. Lana sama sekali tak menggubris teman sekelasnya itu. Ia tau betul apa motif mereka mendekati Lana, mungkin keluarga mereka menekankan untuk berteman dengan Lana untuk menjaga kelancaran bisnis. Namun, sungguh, Lana sama sekali tak perduli. Pemuda itu memilih angkat kaki tanpa mengatakan apapun. tatapannya tertuju pada Anya yang sudah sibuk berbicara dengan anak perempuan lainnya, mulai sibuk sendiri. "Syukur deh, bisa kabur dari si boncel." Brugh Lana mendesis kala melihat seorang pemuda dengan tatapan mata malas yang sengaja menabraknya. "Lu bakal ngerasain hal setimpal malam ini. Kalau bukan karna dia—" arah tatapan Lana mengikuti jemari si pemuda yang menunjuk Anya. "Udah gue bunuh, lu." "Apa lu bilang?!" Lana tau betul, pemuda itu adalah anak dari seorang pengusaha terkemuka di kota, anak yang juga termasuk jajaran most wanted sekolah, angkatan yang sama dengan Lana. "Wow, santai dong." Sosok dengan name tag Bima itu melengos pergi memasuki perpustakaan, sementara Lana dengan kesal melangkah keluar perpustakaan. Usahanya untuk menenangkan diri dan menghindari Anya gagal sudah. "Sial! Sial! Apa urusannya coba sama anak boncel itu. Kalau suka ya tinggal bilang aja, ngapain pake ngomong ke gue segala!" Beberapa anak di sekitar koridor memilih minggir kala mendengar teriakan kesal Lana yang sudah seperti orang kesetanan Telapak tangan menggenggam erat, memukul tembok di samping, mengabaikan rasa sakit yang seolah tak terasa. "Memang gak bisa dibiarin si Anya itu!" "Lana!" Suara bentakan Ardiaz menggema di tempat sepi itu. Maniknya menatap tajam pada teman masa kecilnya itu. Tanpa ragu Ardiaz menarik kerah seragam Lana, lalu memukul wajah tampan itu. Lana tak tinggal diam, ia balik membalas pukulan Ardiaz. "Lu kayak anak kecil aja, deh! Kenapa malah bikin ribut di perpus?! Udah gue bilang, abaiin aja Anya!" "Apa? Abaiin? Setelah dia permaluin gue? Gak, sampai gue puas, gue bakal bikin perhitungan sama boncel satu itu!" Ucapan Lana selama di sekolah itu sempat membuat Ardiaz was-was, masalahnya selama ia kenal Lana, pemuda itu tak pernah semarah ini. Wajahnya terlihat begitu serius dengan tatapan berapi-api setiap melihat Anya atau mendengar pembicaraan tentang Anya. Sebegitu bencinya. oOo "Kamu bisa 'kan temenan sama dia, Lana?" tanya Mama Lana dengan senyum lebar. Lana masih tak bereaksi, diam mematung, kembali mencerna apa yang baru saja dikatakan kedua orang tuanya. Apa barusan? Anya adalah anak dari rekan kerja papanya yang sangat penting untuk kemajuan bisnis perusahaan mereka, dan Lana harus berteman dengan si boncel itu? "Kali ini kamu bisa diandalkan, bukan?" Kalimat papa nya membuat Lana seketika terbangun dari lamunannya. "Bisa, Pa." "Kalau begitu pastikan Anya baik-baik saja disekolah. Dan bertemanlah dengan Anya." Entah untuk beberapa kalinya Lana mengumpat dalam hati. Jemari mengepal hingga buku-buku tangannya memutih. Sial. Inikah yang dimaksud Bima? Apa pemuda itu yang menyiapkan semua jebakan ini agar Lana terpaksa dekat dengan Anya? Dalam diam nya. Lana tersenyum miring, mungkin jika dekat dengan Anya, ia baru bisa membalas dendam pada gadis pendek itu dan mempermalukan nya. Masalahnya, bagaimana Lana bisa menutupi semua kelakuan buruk itu di hadapan kedua orang tuanya? "Kamu sudah kenal dengan Anya, ya? Kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Mama sembari tersenyum lembut. Laba seketika tersadar dari pikiran. Ia menggeleng kasar. "Bukan! Lana ga kenal sama Anya, Ma. Tapi besok Lana bakal coba temui dia di sekolah," ujar pemuda itu. "Kalo udah kenal malah lebih bagus lagi. Papa bakal ngabisin permintaan kamu kalo kamu bisa jadi pacar Anya. Lagian itu pasti baik buat bisnis kita kalau kalian saling berpacaran." Lana hanya tersenyum getir. Dalam hati ia menyumpahi Beni Gramantha yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Bagaimana pria itu berharap Lana berpacaran dengan si boncel menyebalkan itu? "Benar Papa bakal kabulin semua keinginanku?" "Ya. Kita bertaruh saja, apa kamu bisa memenuhi keinginan papa itu."Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar."Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana.Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua."Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel.""Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz.Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima."Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe.Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
"Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik ma