Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.
“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana. Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain. Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik. “Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!” “Tapi, Den—" “Gue bilang jangan ganggu!!!” Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam. Semua orang di sekolah mungkin menganggap Lana sebagai sosok yang tenang, lebih suka diam daripada ribut. Namun, berbeda ketika ia berada di rumah—tempat yang menjadi wilayah kekuasaannya si anak tunggal, pewaris utama keluarga Gramantha. “Kak Lana, aku harus pulang. Aku ga mau Papa sama Mama cemasin aku.” “Gue bakal telfon mereka, juga bakal kasih bukti ke mereka kalau kamu sama gue. Semua bakal baik-baik aja kalau lu nurut!” Suara dalam pemuda itu membuat Anya merinding, spontan mundur, mengambil jarak ketik Lana melempar hoodie dan celana padanya. “Cepet ganti. Habis ini foto, terus makan malam.” “Foto? Makan malam?” Anya memiringkan kepala, kebingungan. Entah mengapa, Lana merasakan sensasi senang melihat ekspresi bodoh perempuan di hadapannya. Cukup imut, tetapi juga sangat menyebalkan. “Gak usah salah paham. Gue bakal keluar kamar, kalo pas gue balik lu belum ganti juga, gue yang bakalan langsung gantiin baju lu secara paksa.” “E- eh iya iya, aku bakalan ganti baju.” Pemuda dengan tatapan tajam itu berjalan keluar kamar, dan ia sudah menduga pelayan itu ada di depan kamarnya dengan raut serius. “Tuan sudah memberi perintah agar saya memperhatikan siapa saja yang Den Lana bawa ke rumah ini. Agar kejadian hari itu tidak terulang lagi.” “Cih, payah.” Lana menoleh ke belakang, mendapati Anya yang mengintip dari balik pintu. Sosok itu segera keluar dengan cengiran aneh yang membuat Lana semakin kesal. “Berani banget lu nguping!” “Non Anya, jangan takut. Kalau ada apa-apa langsung bilang bibi, ya. Untuk sementara sampai Tuan dan Nyonya pulang, Non Anya bisa di ruang tengah, akan saya temani.” Tentu saja Anya menggeleng, meski Lana tak menyangka reaksi itu, ia tau bahwa gadis itu memang gila. Tak satupun pikiran dari otak kecilnya itu yang dapat ia pahami. Pilihannya untuk selalu menguntit Lana, juga jawaban-jawabannya yang aneh. “Gak, saya mau ama Lana aja, Bi. Saya datang ke sini suka rela kok. Bukan dipaksa." Ada tawa di akhir kalimat Anya, bahkan mata sipit nya tenggelam dia antara pipi yang terangkat tawa. Langkah Anya yang terlihat begitu ringan, mengitari ruang makan itu dengan penuh ketakjuban. Lana juga heran, sebenarnya gadis ini mahkluk darimana, ternyata jauh lebih aneh dari yang pernah ia bayangkan. Jika bukan demi pembuktian pada papanya, ia pasti tak akan mau membawa Anya ke rumah. “Wah, ini foto masa kecil Lana, ya? Waah, lucu jadi pengen cubit pipinya, tembem banget!” Tak terasa, langkah Lana yang mengikuti Anya sudah sampai di ruang tengah. Tatapannya masih tak lepas dari sosok gadis yang merunduk di depan meja laci di mana foto masa kecilnya terpajang indah. Dalam hati, Lana sedikit terkekeh melihat hoodie hitamnya yang seolah menenggelamkan tubuh mungil Anya, membuat gadis itu sibuk membenarkan hoodie yang merosot, menampilkan pundak mulusnya. Rambut yang pendek, tubuh mungil, hoodie kebesaran dan celana pendek yang tenggelam dibalik hoodie itu benar-benar membuat Anya terlihat seperti anak-anak. Sedikit terburu-buru Lana mengeluarkan ponsel, mengambil gambar Anya yang tengah terkagum-kagum pada foro masa kecilnya itu. Bahkan tanpa ijin Anya sudah memfoto semua pajangan itu dengan ponselnya, tak ingin melewatkan kesempatan langka memasuki rumah Lana. “Asal lu tau gue bawa lu ke sini—“ “Aku tau, karena kerja sama perusahaan orang tua kita, kan? Kak Lana tenang aja, selagi aku masih cinta sama kakak, aku bakal selalu di pihak kakak,” ucap Anya dengan senyum cerah yang membuat Lana muak. “Ya, ya. Terserah lu aja. Apa yang gue lakuin ke lu di sekolah, jangan sampe bocor, atau gue bakal hancurin hidup lu.” “Siap, boss!!!” Anya melakukan pose hormat dengan senyum lesung pipinya. Sumpah Lana ingin menendang gadis yang selalu tersenyum seolah tak pernah merasa sedih itu. oOo “Bwahaha, ekspresi lu kelihatan puas banget, Lan." Ardiaz berujar kala melihat Lana berdiri memandangi mading. Di sekolah ia tak pernah mengusik seseorang, dan paling benci jika ada yang mengusiknya terlebih dahulu. Anya sudah melakukan itu, maka Lana menandainya, tak akan dilepaskan sampai ia lulus dari sekolah. Sebuah selembaran tertempel di mading, memperlihatkan foto Anya yang ia ambil kemarin dengan tulisan. ‘Anya stalker sampe ke dalam rumah Lana. Parah!!!’ “Rasain lu Anya. Lagian mau ngadu juga, bukan gue yang bikin berita ini, gue cuma ngasih aja foto nya ke anak-anak media.” Lana berbalik, lalu melangkah menuju kelasnya bersama Ardiaz dengan tenang. Sesekali ada anak-anak perempuan yang menyapanya sambil mengedip-ngedipkan mata atau sok bertingkah imut. Namun, seperti biasa, Lana hanya mengabaikannya. Hingga …. “Hwee … Kak Lana jahat!” Anya berdiri menghadang Lana, menunjukkan selembaran sama seperti yang Lana dan Ardiaz liat di mading. “Kenapa? Bukannya memang bener berita itu?” tanya Lana. “Tapi- tapi Kak Lana gak bisa sebarin seperti ini!” “Aduh, Anya, maaf ya. Lana ini emang agak lain,” ujar Ardiaz coba menghibur gadis yang menangis sesenggukan itu. Lana tertawa puas. “Huhuu, Kak Lana jahat.” Lana berpura-pura menangis, mengejek Anya dengan pose menangisnya yang berlebihan. “Astaga, Kak Lana! Jangan jahat sama Anya deh.” Sosok teman sekelas Anya yang berada dalam satu exkul dengan Lana itu mendekat, mendorong Lana tanpa ragu. Namanya Yuna, tak pernah mengecewakan sebagai adik kelas yang terkenal karena cantik, tapi kali ini benar-benar membuat Lana kesal. “Kak Lana suka banget ya bikin anak orang nangis. Kena karma baru tau!” sewot Yuna sembari memegang pergelangan tanga Anya. Suara keras Yuna di koridor kelas Lana itu membuat beberapa anak keluar ruangan, dan tentu saja mereka bersimpati pada Anya. Entah, Lana juga tak mengerti, sihir pemikat apa yang dipakai Anya sehingga membuat semua orang menyayangi dan membela anak itu apapun situasinya. “Lana!!!” Suara cempreng guru bk membuat kerumunan murid di koridor seketika memberi jalan pada sang guru killer yang berjalan ke arah Lana. “Saya sudah denger dari pak satpam tentang kejadian kemarin di gudang sekolah. Dan lagi, selembaran apa ini? Kekanakan sekali kamu ini!” Lana menatap Anya, membuat gadis itu menunduk ketakutan. “Bukan, bukan aku yang melaporkan Kak Lana.” Pemuda itu mendekati Anya, sedikit merunduk, menyamakan tinggi dengan si manis, lalu berbisik. “Lihat aja kalau sampai gue kena masalah sama guru bk, mampus lu.”"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
"Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik ma
“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya.“Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz.“Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.”Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka.“Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.“Ya elah
Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar."Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana.Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua."Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel.""Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz.Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima."Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe.Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o