Pagi ini Lana datang ke sekolah dengan wajah murung, membuat Ardiaz menatap keheranan. Kenapa lagi sahabatnya ini.
"Lah, napa lu udah monyong aja pagi-pagi gini," sapa Ardiaz yang merangkul pundak sahabatnya itu, lalu berjalan bersama menuju gerbang. "Lu percaya ga sih kalo orang seganteng gue ini bisa ditolak cewek?" Ardiaz menatap Lana dengan tatapan tajam, menelisik. "Lu ditolak? Emang lu nembak siapa cuy, kok ga koordinasi sama anak-anak, kan bisa kita kasih kejutan biar acara lu makin romantis." "Stress." Lana mendorong Ardiaz menjauh darinya. "Itu, si Anya." Dapat terlihat jelas raut kaget di wajah Ardiaz. Pemuda itu menatap dengan mata terbelalak. "Lu ditolak Anya?" Setelahnya pemuda itu tertawa kencang seolah puas melihat pangeran sekolah yang di tolak cewek cupu. Anya itu biasa saja, tidak secantik Elsa atau Eliyah. Hanya saja, Anya itu manis dan tingkah nya selalu saja mengundang tawa. "Seriusan lu nembak Anya? Demi apa? Lu serius kan sama dia?" "Ga." Kali ini langkah Lana terhenti, begitupun Ardiaz yang menampilkan wajah tak suka. "Lu kok bisa-bisanya sih Lana. Gue tau lu ga suka sama dia, tapi ga usah manfaatin dia gitu lah." "Masalah? Lu suka ya sama Anya?" Lana tersenyum miring, mendorong pundak temannya itu. Belum jauh Lana melangkah, pundaknya ditarik dari belakang. Sebuah bogem mentah melayang ke wajah tampan Lana. Tidak, itu bukan Ardiaz, melainkan Bima yang baru datang ke sekolah. "Anj1m, lu ga liat tangan gue masih sakit set4n! Kalo ga, udah gue hajar lu!" persetan dengan citra baiknya di sekolah, Lana kepalang marah karena tiba-tiba dipukul. "Apa maksud lu nembak Anya, hah! Gue tau lu ga suka sama dia!" Bima meninggikan suara, membuat beberapa murid yang lewat ikut memperhatikan mereka. "Oh, jadi lu salah satu pembela dia juga? Emangnya kenapa kalo gue suka atau ga suka sama dia, itu bukan urusan elu!" balas Lana. Ardiaz mencoba merelai dua pemuda itu. Ia menjauhkan Lana, tetapi Bima kembali menyerang dengan memukuli wajah Lana. "Lihat aja Bima, gue bakal balas lu!" pekik Lana saat Bima memukul sudut bibirnya hingga berdarah. "Kalo bisa pukul gue pake tangan lu sendiri ga usah nyuruh orang lain, peng3cut!" Riki datang mendekat setelah memanggil guru. Ia menjauhkan Bima sementara Ardiaz menjauhkan Lana. "Kalian kenapa sih tingkahnya kayak anak sd gini. Emang gak malu kelahi di depan temen-temen kalian!" guru bk berujar dengan tegas. "Bawa mereka ke ruang bk." **** Lana terdiam di ruangan kepala sekolah. Tak ada siapapun di sana selagi ia menunggu sosok pria sibuk itu. Ada rasa heran saat kejadian pembalasan pada Elsa kemarin tiba-tiba saja diketahui kepala sekolah. Ponsel Lana sudah berdering sejak beberapa saat lalu, menampilkan notifikasi panggilan dari papanya. "Ck, kenapa sih ni orang tua ribut mulu," gerutu Lana. Namun, pada akhirnya ia tetap mengangkat panggilan itu. "Jelasin sama Papa, kenapa kamu bisa dipanggil guru bk. Kenapa kamu bisa sampai ada catatan kenakalan remaja di sekolah?!" ujar Beni tanpa basa-basi. Lana menghembuskan nafas, jengah. Ia sangat muak dengan sikap papanya yang sekejap memuji dan sekejap memaki. "Lana ga tau apa-apa," ujar pemuda itu, lalu mematikan panggilan. "Fokus sama sekolah kamu, papa bakal selesaiin masalah ini. Bilang sama Papa siapa yang ganggu kamu." "Bima." Setelah berucap, Lana langsung mematikan panggilan dan melempar ponsel itu sembarangan, bertepatan saat guru bk memasuki ruang kepala sekolah bersama Elsa. "Kak Lana tunggu, kita mau bicarain sidang orang tua—" "Ser4h lu, deh!" sela Lana yang menyenggol kasar lengan Elsa, lalu beranjak pergi. Selama ini ia sudah terlalu muak menjadi sempurna di mata papanya. Kenyataan Lana selalu membuat keributan, dan kenakalan. "Kabur lagi?" Riki menghadang Lana yang hampir sampai di tembok belakang sekolah. Dari belakang Riki, muncul Anya yang berlarian mengejar sambil bernafas ngos-ngosan. "Kak Lana jangan bolos, guru bk cariin—" "Diem lu Bonchel!" sentak Lana. Ia menoleh pada Riki. "Bilang sama Ardiaz suruh ambil hp gue di ruang guru, terus jangan kasih tau papa kalo gue di markas." Riki mengangguk pelan. Sebenarnya ia ingin memberitahu guru bk kalau Lana berada di sini, tetapi juga tak bisa menghentikan temannya itu untuk pergi keluar dari sekolah. Sejujurnya ... Riki tidak menyukai Lana, apalagi saat pemuda itu terus bersama Anya. "Ikut!" Anya menarik bagian belakang seragam Lana, tetapi pria itu menepis kasar. "Ga usah sibuk deh, gue mau nenangin diri, tau ga lu!" "Ish, pokoknya aku mau ikut! Kalau gak aku bakal bilang sama Papa kalau—" "Dih, iya-iya! Cepet naik ke tumpukan kayu itu, terus pegang tangan gue naik ke sini. Dasar ngerepotin!" Anya itu bukannya anak baik-baik atau si kutu buku yang selalu berada di perpus. Ia justru sering membolos di sekolah lamanya, untuk menjajankan mereka. Setelah membantu Anya turun dari tembok pembatas, Lana pun berjalan mendahului Anya yang berusaha mengimbangi langkah cepatnya dengan kaki pendek itu. Saat sampai di depan minimarket Lana terpikir untuk membeli minuman dingin dulu, ia merogoh saku celananya. "Anj1r, dompet gue ketinggalan, hp gue juga udah hancur." Lana menoleh pada Anya yang hanya menggaruk pipi, canggung. "A- apa? Kenapa liat aku kayak gitu?" ujar Anya saat Lana menatap tajam ke arahnya. "Siniin duit lu! Gue pake dulu, tar gue bayar deh kalo dah balik ke rumah," ujar Lana. Dengan wajah culunnya Anya menatap kedua telapak tangan, lalu memegang saku roknya sebelum tersenyum canggung. "Gak bawa hp sama dompet juga, hehe." Spontan Lana mengetuk dahi kepala Anya, membuat gadis itu mengembik menahan air mata yang memaksa untuk meloloskan diri dari pelupuk mata. "Sakit, tau," lirih gadis itu. "Ya habisnya, elu sih, bikin gue emosi mulu." Anya mengeluarkan selembar uang 50.000-an dari kantong bajunya. "Ini ... Uang darurat aku, pake aja buat beli es krim." "Beg0!" ketus Lana. Sudah dapat ketukan di dahi, sekarang Lana mendorong kepala Anya dengan telapak tangan, membuat gadis itu memejam erat. "Ish, Kak Lana jangan sembarangan pegang kepala aku dong!' protes Anya. "Itu duit buat nanti pesen taksi, lu pulang aja dah. Gue mah jadi gelandangan juga bisa," ujar Lana dengan nada sendu. "Ngapain juga gue pake duit lu, gue aja udah ditolak." Seketika manik mata Anya membulat, ia pikir Lana sudah melupakan kejadian semalam. Jantung gadis itu kembali berpacu cepat, rona merah muda di pipinya terlibat jelas, membuat Lana yakin bahwa Anya masih menyukainya. "Lu bisa ga sih jadi stalker gue aja, jangan jadi stalker orang lain atau pake libur-libur gitu. Bisa kan jadi pacar gue aja?" tanya Lana. Anya menutup mulut dengan telapak tangan, ia tak menyangka Lana benar-benar mengucapkan di depannya. Sejujurnya hari itu saat mengungkapkan perasaan, Anya sama sekali tak berharap Lana akan membalasnya. "A- aku ... Aku-" Anya berucap terbata-bata. Pada akhirnya ia hanya bisa mengangguk dengan air mata mengalir di pipi. Tidak, dia bukannya terharu, tetapi perasaannya tercampur aduk. 'Aku pengen pacaran sama Kak Lana, tapi Kak Bima pasti marah. Terus Kak Lana juga pacaran aku karna pekerjaan Papa, apa aku bakal bahagia? Aku juga belum tau sifat asli Kak Lana. Kalau benar seperti yang dibilang perempuan itu, pasti aku dalam bahaya,' batin Anya dengan raut cemas yang terlihat jelas."Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain. "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik mata
“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya. Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya. “Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz. “Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.” Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka. “Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.
Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar. "Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana. Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua. "Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel." "Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz. Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima. "Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe. Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah m
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz. Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu. "Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini." "Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz. Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian. "Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online. "Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah,
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
Pagi ini Lana datang ke sekolah dengan wajah murung, membuat Ardiaz menatap keheranan. Kenapa lagi sahabatnya ini."Lah, napa lu udah monyong aja pagi-pagi gini," sapa Ardiaz yang merangkul pundak sahabatnya itu, lalu berjalan bersama menuju gerbang."Lu percaya ga sih kalo orang seganteng gue ini bisa ditolak cewek?"Ardiaz menatap Lana dengan tatapan tajam, menelisik. "Lu ditolak? Emang lu nembak siapa cuy, kok ga koordinasi sama anak-anak, kan bisa kita kasih kejutan biar acara lu makin romantis.""Stress." Lana mendorong Ardiaz menjauh darinya. "Itu, si Anya."Dapat terlihat jelas raut kaget di wajah Ardiaz. Pemuda itu menatap dengan mata terbelalak. "Lu ditolak Anya?"Setelahnya pemuda itu tertawa kencang seolah puas melihat pangeran sekolah yang di tolak cewek cupu. Anya itu biasa saja, tidak secantik Elsa atau Eliyah. Hanya saja, Anya itu manis dan tingkah nya selalu saja mengundang tawa."Seriusan lu nembak Anya? Demi apa? Lu serius kan sama dia?""Ga."Kali ini langkah Lana t
Lana melangkah pelan memasuki sebuah restoran yang telah ditentukan oleh Jefran - papa dari Anya.Dengan sopan ia menunduk pada pria paruh baya itu. Lana tampak menoleh ke sekitar, rupanya mereka telah memesan semua tempat untuk mereka, pantas saja tidak ada siapapun kecuali mereka dan pelayan."Loh, Anya ga datang juga?" tanya Lana. "Pasti masih shock sama kejadian tadi."Jefran menggeleng. "Dia datang kok, itu ...."Arah jemari Jefran menunjuk pada putrinya yang berjalan mendekat. Beberapa saat lalu Anya memang minta ijin ke kamar mandi dulu untuk memperbaiki riasannya saya mendengar Lana hampir sampai ke restoran.Untuk beberapa saat Lana terpana pada penampilan Anya yang berbeda dari biasanya. Di sekolah, gadis itu terlihat polos dan manis, tapi sosok dihadapannya ini sungguh berbeda.'Lah, baru tau gue. Anya bisa cantik gitu kalo pake dress terus rambutnya di ikat rapi.'"Eh, ada yang aneh? Kak Lana kenapa liatin aku?" tanya Anya sembari meraih ponselnya, membuka kamera depan unt
Selepas bel pulang sekolah berbunyi, semua murid menghambur keluar sekolah, begitupun Anya yang celingukan mencari sopir nya.Sejak kaki nya terluka, ia tak memiliki alasan untuk pergi mengikuti Lana. Kedua orang tua asuhnya meminta agar Anya langsung pulang tanpa bermain dulu."Ck, padahal mau liat Kak Lana dulu," lirih gadis itu. "Mana sih pak Sopir. Kalau ga ada ya udah, aku cari Kak Lana aja."Dengan senyum sumringah Anya menoleh ke sana kemari. Lana biasa jalan kaki sepulang sekolah, pasti tak sulit menemukannya dengan memperhatikan sekitar. Namun, bulannya Lana, yang dia dapati justru sosok perempuan yang malam itu bertemu dengannya dan Lana di zebracross.Perempuan dengan rambut panjang dan lurus, wajahnya sangat cantik, dan tubuhnya gemulai feminim."Aneh. Padahal waktu itu Kak Lana nanya perempuan yang mirip ciri-ciri nya kayak dia, tapi pas ditanya kenal atau engga, justru bilang engga," gumam Anya, masih memperhatikan Eliyah yang berada sedikit jauh darinya.Eliyah yang mer
"Ayo, gue gendong. Ini jam pertama udah mau mulai." Abin tiba-tiba merangkul Anya dari samping, lalu mencubit pipi gemas gadis itu."Ish, kak Bima apaan sih."Lana mengalihkan pandangan, jengah. Entah mengapa kehadiran Bima membuatnya kesal, pemuda itu pun melangkah cepat meninggalkan Anya yang tengah sibuk naik ke punggung Bima untuk digendong.'Halah, sok baik banget,' batin Lana. 'Caper.'Sementara Anya terkikik gemas berada di gendongan Bima. Sudah sangat lama sejak sepupu nya itu menggendongnya di belakang."Kak, kamu ga bilang ke Papa kan tentang luka di lutut ku ini?" tanya Anya."Engga. Sebenernya gue mau ngomong langsung sama Elsa buat ga ganggu lu, tapi ternyata keduluan si Lana."Anya mengeratkan pelukannya di punggung Bima, lalu berbisik. "Kak, kayaknya luka di kaki Kak Elsa parah, ya. Aku jadi merasa bersalah.""Lah, ngapain merasa bersalah. Lu harusnya bersyukur ada orang yang mau ngelindungi lu. Ada orang yang perduli sama lu. Emangnya selama ini selain gue, paman, sama
Lana langsung menuju ke kelas 2-A di mana Elsa sedang duduk sambil merias wajahnya lagi. Beberapa anak menghampiri Elsa sambil berbisik, "El, itu Kak Lana datang."Dengan panik Elsa langsung menutup kotak make up nya saat Lana datang dan duduk di sampingnya dengan tatapan tajam."Kenapa?" tanya Elsa dengan malu-malu."Lu ngapain dorong Anya? Ada masalah?""Oh, itu." Elsa langsung memalingkan wajah, malas. "Pagi tadi aku liat Kak Lana jalan bareng sama Anya. Kak, kakak sadar kan kalo aku suka sama kakak, aku cinta sama kakak. Kakak harus hargain perasaan aku," ujar perempuan itu."Gak."Jawaban singkat dari Lana membuat perempuan itu merengut kesal. Ia juga termasuk perempuan yang banyak diinginkan murid laki-laki. Selain terkenal karena pintar, Elsa juga sangat menawan.'Gue gak tau kenapa Kak Lana ga bisa suka sama gue. Gue gak percaya. Pasti ada cara buta Kak Lana suka sama gue,' batin perempuan itu."Gue datang buat peringati lu, jangan ganggu Anya. Atau orang gue bakal ganggu lu j
Anya menggeleng kasar. Ia menatap ponselnya. "Kalau terjadi sesuatu sama aku, Kak Bima pasti tau lokasi ku ada di sini, jadi gak masalah kalau aku pingsan. Pasti Kak Bima tau," bisik Anya dalam kesendirian.Perempuan itu memanjat tembok samping gerbang sekolah, lalu memasuki bangunan yang sudah sepi dan gelap itu. Ia menyalakan senter hp dan menutup telinganya dengan kedua tangan.Air mata mengalir basahi pipi. Ia tak bisa berpikir apapun lagi selain berjalan melewati lorong-lorong sepi. Air mata mengalir deras basahi pipi, diikuti suara isak tangis yang terdengar jelas dalam kesunyian."Kenapa rasanya lorong itu jauh banget," tangis Anya.Sementara itu di dalam gudang, samar-samar Lana mendengar tangis perempuan yang sangat nyata. Pemuda itu sesekali menepuk nyamuk yang mengigit lengannya. Ia semakin mendekat ke pintu, memperjelas pendengaran."4njir, itu beneran suara kuntilanak? Gak, gue gak percaya hantu. Ini pasti ulah Bima." Meski berkata demikian, sebenarnya Lana sudah berkerin
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny