"Kak Lana, aku suka kakak!"
Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik mata gadis itu bergerak tak beraturan, mencari kata apapun yang bisa menjadi jawaban atas perkataan Lana. Namun, nyatanya yang keluar hanya butiran bening. "Kenapa suka gw, hmm? Karna gw keren pas jam olahraga? Oh, lu suka lihat gw keringetan, kenapa? S3ksi?" Gadis itu menggeleng pelan ketika Lana mendorong tubuhnya ke tembok kelas yang sunyi di jam istirahat itu. "Ganggu waktu istirahat gw aja, pergi sana!" Lana sedikit meninggikan suara, menatap puas pada wajah si gadis yang memerah padam dengan air mata mengalir basahi. Tak perduli lagi dengan gelang yang terlepas dari genggamannya, sosok itu berlari keluar dari kelas Lana sembari mengusap air mata. "Lan, itu kok Anya keluar sambil nangis?" Seorang lelaki teman sebangku Lana mempertanyakan gadis yang baru keluar dari kelas mereka. Lana hanya mengalihkan pandangan jengah, sama sekali tak menjawab pertanyaan Ardiaz yang meletakkan susu coklat dan roti di depan Lana—titipan pemuda yang malas pergi ke kantin itu. "Bisa ga sih jangan kasar sama adek kelas?" tanya Ardiaz. "Ck, ya gimana gw gak kasar coba, alesan mereka suka gw itu aneh-aneh. Tapi ya wajar aja sih, gw emang seganteng ini. Jangankan cewek, pasti di sekolah ini ada aja cowok yang diam-diam suka sama gw." "Dih, omongan lu. Tapi kalo gw jadi lu, gw udah terima tuh si Anya, dia 'kan anaknya manis banget. Matanya sipit, udah gitu sikapnya malu-malu gitu—" "Bukan malu-malu, tapi malu-maluin," sela Lana. oOo Lana sama sekali tak menyesal, atas perbuatannya menolak setiap perasaan dengan kasar. Namun, rupanya hari ini ada sedikit perbedaan. Langkah santainya terhenti di sebuah kelas yang ramai menyanyikan lagu ulang tahun. Di tengah kerumunan murid, terlihat seorang bocah manis yang sesenggukan memegang kue ulang tahun, bocah yang mengungkapkan perasaannya pada Lana beberapa jam yang lalu. “Hah, ini hari ultah lu?” Tak sadar Lana berjalan memasuki kelas itu, melihat dengan jelas Anya yang menangis sesenggukan, menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Happy birthday, Anya. Semoga, lu jadi anak yang membanggakan untuk orang tua, dan menjadi lebih dewasa ke depannya.” Setelah mengucapkan kalimat itu Lana menepuk pelan pucuk kepala Anya dengan seulas senyum tipis. Menyadari kehadiran Lana, semua murid di kelas menatap heran pada pemuda dengan tatapan tajam itu. Untuk beberapa saat, pikiran Lana dipenuhi oleh si manis dengan wajah merah padam ketika Lana membentaknya. Ini hari ulang tahun bocah itu, mungkin saja ia memberanikan diri untuk mengungkap kan perasaannya. “Udahlah, dia sama saja kayak yang lain, tidak istimewa. Ah, gue harus cepat cari pacar agar mereka tidak mengganggu gue.” Sebuah tepukan di pundaknya mengagetkan Lana, Ardiaz datang senyum lebar. Tangannya memegang sebuah kue tart di sebuah piring kertas. Pemuda itu asik menyendok di sepanjang langkahnya. “Hmm, kue buatan mama nya Anya memang gak main-main, enak banget. Mau coba?” Lana menepis tangan Ardiaz, melanjutkan langkahnya. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, lalu merebahkan tubuhnya yang lelah. Namun, tetap saja … rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. “Katanya, tadi lu ke kelasnya Anya, ngucapin selamat ultah juga, ya?” Berbeda dengan Lana yang lebih suka menikmati kesendiriannya di dalam kelas, atau perpustakaan, Ardiaz justru suka berkeliling sekolah dan berbaur dengan adik kelas. Tak heran jika pemuda itu bisa tau dengan cepat berita kejadian di kelas Anya tadi. “Gue juga gak tau, Yas. Gue Cuma gak sengaja lewat, tapi kaki gue rasanya spontan masuk kelas mereka terus tiba-tiba aja gue ngucapin selamat ke Anya.” “Hmm.” Ardiaz mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. “Lu emang suka caper sama adek kelas, suka ngebaperin tapi gak mau tanggung jawab, gak heran kalo lu kayak gitu sama Anya.” Lana mengalihkan pandangan jengah dari temannya itu. Sungguh, Ia tidak berniat caper atau apapun pada Anya, bahkan tak berniat mengucapkan selamat ulang tahun. Semua terjadi begitu saja. Sejujurnya, Lana memang sedikit tergerak melihat kue ulang tahun dengan angka 16, bocah itu masih sangat muda dan tidak tau apa-apa tentang perasaan. Bagi Lana hanya terlihat seperti bocah ingusan yang sok mengungkapkan perasaan seperti anak-anak lainnya. Apalagi melihat wajahnya yang menangis di hari ulang tahun, ada sedikit penyesalan dalam benak Lana. “Apa gue terlalu kasar?” oOo Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Lana mendengus kesal karena gadis bertubuh mungil dengan hoodie hitam yang terus mengikutinya sedari tadi. Bahkan jika sosok itu menggunakan tudung hoodie untuk menutup setengah wajahnya, Lana yakin bahwa sosok itu adalah Anya. “Kenapa dia malah ngikutin gue?” Lana bergumam pelan. Rumah Anya berada di jalan yang bertentangan dengan rumah Lana, jika memang mau berangkat sekolah tentu saja mereka tidak akan bertemu. Bahkan Lana sudah beberapa kali memilih berbelok di jalan lain, sosok itu masih mengikutinya —sambil sesekali bersembunyi di balik tembok. Sungguh. Lana muak dengan permainan bocah itu. Sengaja ia memelambatkan langkahnya, membiarkan sosok itu semkain dekat dengannya. Dengan cepat Lana menarik tangan Anya, menatap nyalang. Tatapan mereka bertemu untuk sepersekian detik, Anya memutus kontak mata dengan manik yang bergetar takut. “Berhenti ngikutin gue!” bentak Lana. “Aku— aku tidak bermaksud mengikuti Kak Lana,” ujar si manis dengan wajah memunduk dalam. “Lana, apa yang kamu ngapain? dia pastinya mau ke sekolah ini kan di depan gerbang!” Spontan Lana menoleh pada satpam yang meneriakinya. Pegangannya pada tangan Anya mengerat, sebelum ia menghempaskan tubuh ringkih itu. “Sial, udah di gerbang sekolah, gue malah gak sadar,” gerutu Lana. Beberapa murid yang lewat di gerbang sekolah terikik geli melihat kelakuan Lana, sementara Anya sudah melenggang kabur entah kemana. Kedua telapak tangan pemuda itu mengepal geram. “Gue pasti bakal balas ini, awas aja lu, Anya!”“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya.“Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz.“Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.”Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka.“Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.“Ya elah
Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar."Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana.Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua."Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel.""Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz.Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima."Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe.Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y