Share

Tertangkap Stalker Manis
Tertangkap Stalker Manis
Penulis: Pesawat Kertas

Sweet 16th

"Kak Lana, aku suka kakak!"

Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual.

Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya.

"Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain."

"Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah."

"Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya.

Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik mata gadis itu bergerak tak beraturan, mencari kata apapun yang bisa menjadi jawaban atas perkataan Lana. Namun, nyatanya yang keluar hanya butiran bening.

"Kenapa suka gw, hmm? Karna gw keren pas jam olahraga? Oh, lu suka lihat gw keringetan, kenapa? S3ksi?" Gadis itu menggeleng pelan ketika Lana mendorong tubuhnya ke tembok kelas yang sunyi di jam istirahat itu.

"Ganggu waktu istirahat gw aja, pergi sana!" Lana sedikit meninggikan suara, menatap puas pada wajah si gadis yang memerah padam dengan air mata mengalir basahi. Tak perduli lagi dengan gelang yang terlepas dari genggamannya, sosok itu berlari keluar dari kelas Lana sembari mengusap air mata.

"Lan, itu kok Anya keluar sambil nangis?" Seorang lelaki teman sebangku Lana mempertanyakan gadis yang baru keluar dari kelas mereka.

Lana hanya mengalihkan pandangan jengah, sama sekali tak menjawab pertanyaan Ardiaz yang meletakkan susu coklat dan roti di depan Lana—titipan pemuda yang malas pergi ke kantin itu.

"Bisa ga sih jangan kasar sama adek kelas?" tanya Ardiaz.

"Ck, ya gimana gw gak kasar coba, alesan mereka suka gw itu aneh-aneh. Tapi ya wajar aja sih, gw emang seganteng ini. Jangankan cewek, pasti di sekolah ini ada aja cowok yang diam-diam suka sama gw."

"Dih, omongan lu. Tapi kalo gw jadi lu, gw udah terima tuh si Anya, dia 'kan anaknya manis banget. Matanya sipit, udah gitu sikapnya malu-malu gitu—"

"Bukan malu-malu, tapi malu-maluin," sela Lana.

oOo

Lana sama sekali tak menyesal, atas perbuatannya menolak setiap perasaan dengan kasar. Namun, rupanya hari ini ada sedikit perbedaan. Langkah santainya terhenti di sebuah kelas yang ramai menyanyikan lagu ulang tahun.

Di tengah kerumunan murid, terlihat seorang bocah manis yang sesenggukan memegang kue ulang tahun, bocah yang mengungkapkan perasaannya pada Lana beberapa jam yang lalu.

“Hah, ini hari ultah lu?” Tak sadar Lana berjalan memasuki kelas itu, melihat dengan jelas Anya yang menangis sesenggukan, menatapnya, lalu mengangguk pelan.

“Happy birthday, Anya. Semoga, lu jadi anak yang membanggakan untuk orang tua, dan menjadi lebih dewasa ke depannya.” Setelah mengucapkan kalimat itu Lana menepuk pelan pucuk kepala Anya dengan seulas senyum tipis. Menyadari kehadiran Lana, semua murid di kelas menatap heran pada pemuda dengan tatapan tajam itu.

Untuk beberapa saat, pikiran Lana dipenuhi oleh si manis dengan wajah merah padam ketika Lana membentaknya. Ini hari ulang tahun bocah itu, mungkin saja ia memberanikan diri untuk mengungkap kan perasaannya. “Udahlah, dia sama saja kayak yang lain, tidak istimewa. Ah, gue harus cepat cari pacar agar mereka tidak mengganggu gue.”

Sebuah tepukan di pundaknya mengagetkan Lana, Ardiaz datang senyum lebar. Tangannya memegang sebuah kue tart di sebuah piring kertas. Pemuda itu asik menyendok di sepanjang langkahnya. “Hmm, kue buatan mama nya Anya memang gak main-main, enak banget. Mau coba?”

Lana menepis tangan Ardiaz, melanjutkan langkahnya. Ia hanya ingin cepat sampai di rumah, lalu merebahkan tubuhnya yang lelah. Namun, tetap saja … rasanya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

“Katanya, tadi lu ke kelasnya Anya, ngucapin selamat ultah juga, ya?”

Berbeda dengan Lana yang lebih suka menikmati kesendiriannya di dalam kelas, atau perpustakaan, Ardiaz justru suka berkeliling sekolah dan berbaur dengan adik kelas. Tak heran jika pemuda itu bisa tau dengan cepat berita kejadian di kelas Anya tadi.

“Gue juga gak tau, Yas. Gue Cuma gak sengaja lewat, tapi kaki gue rasanya spontan masuk kelas mereka terus tiba-tiba aja gue ngucapin selamat ke Anya.”

“Hmm.” Ardiaz mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. “Lu emang suka caper sama adek kelas, suka ngebaperin tapi gak mau tanggung jawab, gak heran kalo lu kayak gitu sama Anya.”

Lana mengalihkan pandangan jengah dari temannya itu. Sungguh, Ia tidak berniat caper atau apapun pada Anya, bahkan tak berniat mengucapkan selamat ulang tahun. Semua terjadi begitu saja.

Sejujurnya, Lana memang sedikit tergerak melihat kue ulang tahun dengan angka 16, bocah itu masih sangat muda dan tidak tau apa-apa tentang perasaan. Bagi Lana hanya terlihat seperti bocah ingusan yang sok mengungkapkan perasaan seperti anak-anak lainnya. Apalagi melihat wajahnya yang menangis di hari ulang tahun, ada sedikit penyesalan dalam benak Lana. “Apa gue terlalu kasar?”

oOo

Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Lana mendengus kesal karena gadis bertubuh mungil dengan hoodie hitam yang terus mengikutinya sedari tadi. Bahkan jika sosok itu menggunakan tudung hoodie untuk menutup setengah wajahnya, Lana yakin bahwa sosok itu adalah Anya.

“Kenapa dia malah ngikutin gue?” Lana bergumam pelan.

Rumah Anya berada di jalan yang bertentangan dengan rumah Lana, jika memang mau berangkat sekolah tentu saja mereka tidak akan bertemu. Bahkan Lana sudah beberapa kali memilih berbelok di jalan lain, sosok itu masih mengikutinya —sambil sesekali bersembunyi di balik tembok.

Sungguh. Lana muak dengan permainan bocah itu. Sengaja ia memelambatkan langkahnya, membiarkan sosok itu semkain dekat dengannya. Dengan cepat Lana menarik tangan Anya, menatap nyalang. Tatapan mereka bertemu untuk sepersekian detik, Anya memutus kontak mata dengan manik yang bergetar takut.

“Berhenti ngikutin gue!” bentak Lana.

“Aku— aku tidak bermaksud mengikuti Kak Lana,” ujar si manis dengan wajah memunduk dalam.

“Lana, apa yang kamu ngapain? dia pastinya mau ke sekolah ini kan di depan gerbang!” Spontan Lana menoleh pada satpam yang meneriakinya. Pegangannya pada tangan Anya mengerat, sebelum ia menghempaskan tubuh ringkih itu.

“Sial, udah di gerbang sekolah, gue malah gak sadar,” gerutu Lana.

Beberapa murid yang lewat di gerbang sekolah terikik geli melihat kelakuan Lana, sementara Anya sudah melenggang kabur entah kemana. Kedua telapak tangan pemuda itu mengepal geram. “Gue pasti bakal balas ini, awas aja lu, Anya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status