Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar.
"Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana. Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua. "Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel." "Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz. Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima. "Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe. Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis itu menggunakan hoodie hitam oversize seperti biasa, dengan setengah tudungnya menutup wajah tirus itu. Namun, siapa juga yang tak tau bahwa dia adalah Anya. Terlihat jelas dari cara berjalannya yang seperti anak kecil, kadang melompat, kadang berlari, kadang mengendap-endap, membuat Lana tersenyum miring. "Yang kayak gitu mau jadi stalker? Cih, bikin perut gue mules aja." "Lan." Ardiaz memegang pundak Lana, memberi peringatan pada pemuda itu agar tak membuat keributan di cafe. "Udah biarin aja." "Lagian, anak CEO kenapa bisa kelakuannya kayak gitu? Emang orang tuanya ga pernah ngasih tau dia sopan santun apa?" Riki yang sedari tadi diam memperhatikan Anya dari pantulan kaca cafe akhirnya ikut berucap. Lana menyedot minumannya, menoleh pada Riki. Ucapan pemuda itu cukup menarik. Justru anak orang kaya seperti itu yang jarang diberikan pendidikan tentang sopan santun. Seperti dirinya, Lana menyadari bahwa mereka bisa melakukan apapun di rumah tanpa memperdulikan apa itu sopan atau tidak. Terlebih lagi ia adalah anak tunggal, semua yang diinginkan nya menjadi mutlak untuk dikabulkan. Sampai .... Tak ada mimpi yang bisa ia wujudkan. Karena semua hidup dan matinya telah diatur oleh kedua orang tuanya. "Kayaknya lu emang cuma bisa nahan diri deh, Lan. Soalnya Anya 'kan cengeng, takutnya dia ngadu ke orang tuanya tentang lu," ujar Ardiaz. Lana menghembuskan nafas panjang. "Kayaknya gue bakal deketin Anya, tapi buat manfaatin si boncel itu. Selagi—" Kalimat Lana terhenti kala melihat sebuah notifikasi pada pesannya, sebuah nomor asing mengirimkan sebuah audio. Tak hanya Lana, beberapa pemuda itu ikut tercengang mendengar suara mereka yang terekam entah dari mana. "Sial. Itu nomor siapa!" kesal Dimas yang mulai menoleh ke sana-sini, Anya juga sudah tidak ada di tempatnya berdiri di seberang jalan. "Kalau lu berani manfaatin Anya, gue bakal laporin ini ke orang tuanya Anya, dan kalian semua bakal dapat ganjaran setimpal karna manfaatin Anya." Sebuah pesan lainnya masuk, Lana menggebrak meja, menelisik sekeliling. "Dimana perekam suaranya! Gimana dia bisa tau kalau kita bakal ketemuan di sini?!" Tatapan Lana langsung tertuju pada Ardiaz. "Apa?! mau curiga sama gue?" Ardiaz meneguk sisa minumannya, lalu beranjak, bersiap pergi. "Selama hidup, gue belum pernah khianati lu, Lan. Lagian lu tau siapa gue, masih aja kayak anak kecil." "Kalo gitu berarti diantara kalian bertiga!" Lana menatap ketiga temanya yang seketika gugup sembari menggeleng pelan. "Wah, si boss besar kayak udah paling berkuasa aja, sok marahin anak buahnya." Pesan masuk lainnya membuat Lana semakin frustasi dan berakhir membanting ponselnya. "Ah, sial! Ini pasti ulah si Bima!" "Bima? Dia ada sekelas sama aku," ujar Dio. "Dia emang jago banget pake komputer, gak heran kalau dia mungkin bisa nge-hack salah satu akun kita." "Gue jadi makin yakin ini kerjaan Bima!" Lana mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. "Kayaknya dia suka sama Anya. Gue bakal bikin perhitungan, bakal gue bikin dia sakit hati karna Anya!" "Caranya?" Ardiaz menatap was-was pada temannya itu, tak mau jika sampai mereka harus melakukan hal konyol yang bisa membuat mereka dikeluarkan dari sekolah. "Besok gue jelasin di sekolah. Kalo ngomong di sini terlalu bahaya, kan? Apalagi dia pasti lagi dengerin kita." oOo Langkah kaki Anya terhenti kala dihadapannya berdiri tiga cowok tampan yang mungkin akan membuat murid-murid perempuan menjerit histeris saat di hadang seperti ini. Namun, Anya justru berdecak kesal. Tentu baginya yang paling tampan hanya Lana. "Kenapa?" tanya gadis itu sembari memiringkan kepala, bingung. "Aku mau ke kantin." "Lu tadi malem ngikutin Lana, kan? Siapa yang ngasih tau lu kalau Lana ada di cafe?" Riki mengunci dagu Anya dengan jemarinya, membuat gadis yang lebih pendek itu mendongak, memaksa pandangan di antara mereka berdua. "A- aku gak ngikutin Kak Lana, aku cuma mau beli roti," ujar Anya dengan terbata-bata. Riki tertawa lebar, lalu mendorong kasar kepala Anya. "Bohong. Lu tau dari Bima, kan? Bima suka sama lu, kan? Maka dari itu dia ganggu Lana." Manik mata Anya membulat. Ia menggeleng kasar sembari memberontak dari pegangan Riki yang mencengkeram pergelangan tangannya. "Bima bukannya suka sama aku! Kalian salah paham." "Oh, ya?" Lana yang berdiri tak jauh berjalan mendekat. Koridor itu cukup sepi saat jam istirahat, Anya menyesal ia tak cepat-cepat pergi bersama temannya dan malah membereskan peralatan dan merapikan pr nya dulu. Kini Anya harus pergi sendirian dan dihadang preman sekolah ini. Anya benci dikelilingi cowok-cowok most wanted yang membuatnya terlihat seperti butiran debu. Kecil dan kusam. Walaupun orang tuanya memiliki pangkat tinggi, entah kenapa Anya memiliki tingkat insecure setinggi itu pula. "Gimana kita bikin permainan biar kita tau, Bima beneran suka sama lu atau ga?" Anya menggeleng kasar mendengar ucapan Lana. Pemuda dengan tatapan tajam itu berbalik, lalu berucap. "Riki, bawa si boncel ke gudang. Kalau di sana pasti aman, kan?" "Aman, kita udah pastiin ga ada CCTV yang nyala di sana, semua udah kita atur," ujar Dimas. Dengan sekuat tenaga Anya berusaha memberontak dari pegangan Riki, tetapi percuma. Tendangannya tak sekuat itu. Bahkan beberapa murid yang melihatnya pun seolah tak perduli, memilih diam atau berpura-pura tak melihat. Payah. Lana menyunggingkan senyum miring, menatap wajah putus asa Anya. Merasa cukup bosan dengan kehidupan monotonnya, mungkin kehadiran Anya bisa menjadi hiburan. "Kalau ini sampai ketahuan kepala sekolah, habis, kita." Ardiaz berujar. Lana hanya terkekeh, pemuda itu mendekat pada Anya yang diikat pada sebuah kursi di tengah gudang sekolah yang cukup berdebu itu. "Anya, lu gak bakal ngadu, kan? Kalau sampai kamu ngadu, gue gak segan-segan buat bedah organ dalam lu, terus jual!" Ancam Lana. Anya hanya menggeleng pelan sambil terisak-isak. "Lu juga gak bakal biarin Bima ngadu ke kepala sekolah, kan?" Lana mengelus pelan pucuk surai Anya. Gadis itu mengangguk pelan, masih menunduk dalam, tak berani menatap Lana. "Kalau sampai ada yang tau, kami bakal lakuin hal yang lebih kejam ke kamu!" ujar Riki. Seolah puas melihat Anya menangis, Lana mengajak teman-temannya pergi dari gudang, lalu mengunci, meninggalkan Anya yang terdengar berteriak frustasi memanggil Lana. Namun, Lana bodo amat. Dia hanya ingin memberi pelajaran si Bima itu. "Kamu punya sambungan ke kamera pengawas di gudang, kan?" tanya Lana pada Dio yang mengangguk. "Semua kamera pengawas dekat situ udah gue matiin, tinggal yang di gudang doang, tapi aksesnya juga cuma bisa aku yang liat," tambah pemuda itu. "Bagus, kalau si Bima itu udah datang kirim videonya ke gue, mau gue kirim ke Anya. Biar dia puas liat videonya sendiri yang ketakutan kayak gitu." Lana tertawa puas di akhir kalimatnya. "Ya, semoga aja Bima emang tau kalau Anya ada di gudang," ujar Ardiaz.Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S
“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
"Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik ma
“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya.“Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz.“Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.”Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka.“Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.“Ya elah