Share

Setidaknya Harus Jago Bersembunyi

"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."

Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin.

"Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana."

"Saya, Bu!"

Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana.

"Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki.

"Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"

Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia menyukai Lana.

Sementara Lana hanya bersandar pada kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada, wajahnya begitu datar seolah tak tertarik sama sekali pada pembicaraan itu. Sudah biasa baginya, setiap kali membuat masalah, tentu saja teman-temannya yang akan bertanggung jawab.

"Anya, betul kan gue yang ngurung lu di gudang kemarin? Gue juga yang buat rencana nya sambil bawa Anya ke gudang," ujar Riki lagi.

Anya masih tak mengerti situasi, tetapi ia mengangguk, mengikuti isyarat dari Lana. Lagipula, Anya tak mau Lana disalahkan dan dihukum karenanya.

"Kalau begitu, Riki, kamu benar-benar keterlaluan! Lalu jangan bilang lembaran yang ditempel di mading itu juga ulahmu?" selidik guru BK.

Riki mengangguk. Kali ini kedua telapak tangannya mengepal erat, seolah menahan rasa kesal yang begitu kuat. Anya melihatnya dengan jelas, bagaimana pemuda itu menunduk, tapi menunjukkan ekspresi masam.

"Saya berada di rumah Lana juga, jadi saya bisa mengambil gambar Anya diam-diam," ujar Riki.

oOo

Dengan kasar Riki meletakkan kotak-kotak kardus di gudang, sesekali ia mengusap keringat yang bercucuran di pelipis. Pemuda itu masih mengabaikan sosok manis yang mengintip dari celah pintu, menatapnya dengan takut-takut.

"Ngapain di situ? Kalau mau bantu masuk sini," ketus Riki tanpa menoleh dan masih sibuk merapikan kardus.

"Umm, aku tau ... Kamu melakukan semua ini pasti karena—"

"Ya, kerja sama orang tua." Pemuda dengan mata bulat itu menatap Anya. Dia juga tampan, tetapi Anya masih tidak teralihkan dari pangerannya.

"Ini." Anya mengulurkan tissue pada Riki, sembari tersenyum. "Aku bantu beresin."

"Mending lu jangan terlalu deketin Lana. Dia itu bukan orang baik, dia cuma tau cara nyakitin orang sama merintah orang. Dia itu egois. Gw tau lu suka sama dia, tapi lu harus punya batasan. Otak lu ini harus bisa mikir," ujar Riki panjang lebar.

Anya hanya terkekeh mendengar itu. "Tidak masalah. Walaupun aku tidak bisa berpikir sekalipun, asalkan aku masih bisa melihat senyum Kak Lana, aku baik-baik saja."

"Heh, bocah!" Riki memukul lengan Anya dengan kardus kosong. "Omonganmu, eww ... jijik gue."

"Bahkan jika aku harus menerima seluruh rasa sakit Kak Lana, aku pasti menerimanya. Di dunia ini, tak ada yang lebih pantas menerimanya daripada aku, karma bagi si rubah buruk rupa ini karena telah mencintai pangeran."

"Astaga." Riki menepuk keningnya sendiri, hanya bisa menggeleng heran dengan sosok di depannya. Ia baru menyadari bahwa Anya ini ternyata memang kelewatan.

"Tapi Riki, ada yang mau aku tanyain ke kamu." Anya mulai menyapu lantai, sementara Riki menggunakan kemonceng mengibas debu.

"Kenapa waktu aku di rumah Lana kemarin, bibi pelayan di rumahnya kelihatan panik saat lihat aku? Memangnya kenapa, ya?"

"Itulah kamu gak tau. Lana yang kamu kenal keren di sekolah itu, kalau di rumah sifat monster nya bakal keluar. Rumah itu kan sarangnya, dia bisa ngelakuin apapun di rumahnya, bahkan celakain orang. Makanya semua orang di rumah itu jadi waspada kalau Lana bawa temen. Yaah, kecuali kalau yang datang kami geng nya."

Anya mengangguk-angguk faham, keduanya melanjutkan kegiatan mereka membersihkan gudang, sambil sesekali bersin karena debu, kemudian saling menertawakan. Terlihat seperti teman yang begitu akrab.

Di balik pintu, Lana mengepal geram. Seolah dari sekitar tubuh pemuda itu keluar aura hitam yang membuatnya terlihat mengerikan. Dengan langkah kesal, memilih pergi dari tempat itu.

Niat awalnya ingin melihat pekerjaan Riki, tapi siapa sangka justru ada Anya di gudang, dan mereka tengah membicarakan Lana. Tepatnya, keburukan Lana.

"Sial! Kenapa Riki malah bilang ke Anya tentang masalalu gue!" kesal Lana yang menendang bangkunya begitu sampai di kelas.

Beberapa anak menoleh heran menatap Lana, tetapi hanya Ardiaz yang berani mendekat, lalu duduk di samping sahabatnya itu. "Kenapa kalau Anya tau? Bukannya malah itu yang lu mau? Anya bakal jauhin lu."

"Tapi sekarang keadaannya justru kebalikannya. Kalau sampai aku gak bisa deket sama Anya, Papa pasti bakal marah."

"Hmm, cuma karna itu, toh? Gampang, aku bakal bantu bikin situasi palsu buat kelabuhi papa kamu," ujar Ardiaz. "Kamu tau 'kan aku ini penulis skenario andalan ekskul drama?"

"Terserah."

oOo

Lana berdecak sebal menatap jendela. Ia melihat Anya di seberang jalan rumahnya, bersembunyi di balik tanaman pagar. Kamar Lana berada di lantai dua, dan tentu saja ia bisa melihat keberadaan Anya dengan jelas. Stalker satu ini benar-benar membuat Lana naik darah.

"Kalau mau jadi stalker seenggaknya harus jago sembunyi!" Lana keluar menuju balkon, meneriaki Anya yang justru keluar dari tempatnya bersembunyi dengan sebuah kamera di tangannya.

"Aku gak berniat sembunyi di sini! Lihat aja nanti kalau tiba-tiba aku ada di hati Kak Lana, itu artinya aku udah jago sembunyi!"

"Jangan harap!"

Satpam sampai menoleh melihat majikan mereka yang tak biasanya berteriak seperti itu. Melihat bocah yang mencurigakan, satpam itu menghampiri Anya, membuat Lana tersenyum miring, lalu meninggalkan balkon.

"Kamu ini selalu berkeliaran di dekat sini sambil bawa kamera. Dasar penguntit, harus dilaporkan ke Tuan dan Nyonya—"

"Lepaskan dia." Sebuah mobil mewah berwarna merah berhenti di depan gerbang, tepat di samping pak satpam dan Anya. Perempuan paruh baya itu menjadi penyelamat Anya hari ini, apalagi ia tersenyum ramah dan meminta agar Anya diajak masuk ke rumahnya. Dia adalah Nyonya Gramantha — Kila Gramantha.

"Nyonya, anak ini selalu—"

"Itu Anya, Pak satpam jangan khawatir, Anya memang suka main-main, iya 'kan, Anya?"

Anya tau, jika bukan karena kedudukan Papanya, tak mungkin ia diperlakukan seistimewa ini oleh Nyonya Gramantha. Namun, tetap saja Anya merasa terselamatkan. Kalau sampai kelakuannya dilaporkan ke sekolah dan pihak keluarga, pasti akan jauh lebih buruk.

"Lana! Ada Anya di sini, kamu temani dia." Nyonya Gramantha sedikit meninggikan suara, memastikan Lana mendengarnya.

"Hai, Anya," ujar Lana dengan senyum lebar. "Ayo ke kolam, gue udah siapin jus sama cemilan special karna gue tau lu bakal ke sini."

Anya hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Lana menuju kolam. Setelah Nyonya Gramantha benar-benar tak terlihat dan Anya sudah terbawa suasana, tangan Lana tergerak mendorong perempuan itu ke dalam kolam.

Anya bergerak panik, mencoba meminta tolong dengan susah payah. Lana dengan jelas melihat Anya yang hampir tenggelam, tetapi pemuda itu seolah lebih menikmati keadaan Anya yang menderita. "Rasain."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status