“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.
Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!” Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak. “Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—” Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam. Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya yang berkata akan libur menjadi stalkernya itu entah mengapa membuatnya kesal. Lana meratakan meja belajar dengan tangannya, membuat buku-buku berhamburan. Teriakannya terdengar beberapa kali, membuat orang di luar kamar tak berani untuk sekedar mengetuk pintu kamar pemuda itu. Nyonya Gramantha menggeleng kasar, mengurut keningnya yang mulai pening memikirkan putra satu-satunya. “Ku pikir emosi Lana sudah stabil, tapi dia kembali seperti ini.” Di depan pintu kamar Lana yang terkunci dari dari dalam, Nyonya Gramantha jatuh terduduk dengan air mata mengalir. Bi Ani ikut berjongkok, membantu majikannya berdiri lagi, lalu membawanya duduk di ruang tengah. “Nyonya, sebenarnya ada yang belum saya katakan.” Bi Ani berujar sembari menunduk. “Hari ini, Nona Eliyah pulang dari amerika.” Seketika Nyonya Gramantha menoleh pada pelayan itu, netranya membulat, kaget juga cemas. “Jangan-jangan, emosi Lana yang kacau ini …,” “Itulah yang saya cemaskan,” sambung Bi Ani. “Den Lana sudah ada di luar selama seharian ini, takutnya memang mengincar Non Eliyah.” “Apa dia tau kalau Eliyah pulang dari Amerika hari ini?” oOo "Bawa Anya ke sini!" Lana menatap nyalang pada ke empat temannya itu, membuat mereka menghela nafas, ke mana lagi harus mencari Anya, bocah itu tidak ada di kelasnya dan tidak ada di seluruh penjuru sekolah. Entah kemana perginya, seolah sengaja menghindari Lana. "Segitunya, Hyun. Baru sehari ga di stalker sama Anya udah gila aja," ejek Rhino yang tak mau repot-repot mencari Anya seperti yang lainnya. "Bukannya gila! Gue cuma mau bikin perhitungan, gara-gara dia gue jatuh sampe luka gini." Sebenarnya luka itu tidak ada apa-apa nya dibandingkan rasa malu kemarin. Rhino hanya terkekeh pelan, tetapi kemudian raut wajahnya berubah serius kala mendengar ucapan Lana. "Kemarin aku ketemu Eliyah." Kisah masalalu Lana itu, siapa yang belum mendengarnya diantara geng elit mereka. Semua tau bahwa penyebab kepergian Eliyah ke luar negeri adalah trauma karena Lana yang terlalu terobsesi. Terkadang Rhino juga merasa was-was pada Anya, kelakuan bocah itu bisa saja memotivasi Lana untuk melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. "Kenapa bengong?" Lana tersenyum miring. "Oh, lagi bantu gue mikirin cara buat culik dia?" "Lana, jangan deh. Lu jangan ambil resiko buat hal kayak gitu," nasihat Rhino. "Ya, ya, ya." Namun, seperti biasa, Lana mengabaikannya dan justru beranjak. "Kok mereka lama banget cari Anya doang, paling juga si boncel itu sembunyi. Biar gue sendiri yang cari." Langkah Lana di laut kelas membuat beberapa gadis menghampirinya, untuk sekedar menanyakan kabar dan bicara basa-basi. Lana menjawab seadanya dengan nada datar. Hampir menuruni tangga menuju lantai bawah di mana kelas Anya berada, langkah Lana terhenti, tatapannya tertuju pada dua sosok yang tengah berbicara serius—Riki dan Anya. Telapak tangan Lana mengepal. Lagi-lagi Riki menemui Anya. Bukannya langsung membawa bocah itu kehadapan Lana, Riki malah ngobrol dulu dengan Anya, entah apa yang dikatakan pemuda itu sampai membuat Anya tampak ketakutan. "Pantesan lama, ternyata berduaan di sini." Lana berbalik, lalu melangkah pergi. Namun, nada bicara yang sengaja ditinggikan itu jelas terdengar Anya dan Riki, membuat keduanya langsung menoleh pada Lana. Sungguh, setelah hari itu ... Setelah Anya mengungkapkan perasaan pada Lana, rasanya pemuda itu sudah tidak memiliki kehidupan yang tenang lagi. Dengan keadaan kesal, Lana berjalan cepat mengabaikan siapapun di hadapannya. Seolah semesta ingin mempermainkan Lana lebih banyak, pemuda itu menabrak Bima yang tengah membawa tumpukan buku. "Hyun, ada yang nyariin lu di gudang," kata pemuda itu. "Perduli amat gue." "Kalo ga salah namanya Eliyah, rambutnya hitam panjang, punya gigi gingsul, manis banget kasihan kalo nunggu di gudang." Seketika Lana menoleh pada Bima. Ia seolah tak bisa memikirkan apapun lagi, dengan cepat berlari terburu-buru menuju gudang. Pikirannya kosong, hanya ingin bertemu dengan gadis itu. Tanpa rasa curiga Lana memasuki pintu gudang yang memang terbuka. Beberapa kali ia memanggil gadis itu. "Eliyah, sayang. Kamu mau ketemu aku, kan? Kenapa sembunyi? Kamu takut, hmm?" Debum suara pintu membuat Lana berteriak frustasi kala menyadari dirinya ditipu. "Bima sialan! Bakalan gue bales lu!" Kakinya tergerak menendang pintu, membuat keributan. Namun, lokasi gudang sedikit di pojok ujung lorong, jarang ada orang ke tempat itu jika tidak ada keperluan, dan CCTV juga sudah di rusak oleh Dio dan Dimas sebelumnya. Kali ini Lana mencoba mencari ponsel di kantong. Sungguh kesialan yang tak ada habisnya, ia ingat kalo ponselnya masih ada di kelas saat bicara dengan Rhino. "Ah, sial!" oOo Anya menatap ponselnya, melihat pesannya pada Bima, meminta pemuda itu membatunya menemukan keberadaan Lana, tetapi tidak ada jawaban apapun. Gadis itu mengehmbuskan nafsa panjang, lalu melangkah melewati gerbang sekolah, Dua satpam menutup gerbang, karena memang sudah malam, dan Anya baru pulang dari rumah temannya untuk melakuakn kerja kelompok. “Loh, Anya habis dari mana?” tanya seorang satpam. “Habis dari rumah temen kerjain tugas, ini mau ke rumah Kak Lana dulu, kok dia gak kelihatan sama sekali seharian ini, padahal Anya udah ke tempat-tempat yang biasanya ada dia.” “Eh, Lana? Sepertinya tadi waktu nge-cek cctv sebelum nutup semua kelas, bapak sempat lihat Lana dimonitor rekaman sian tadi, dia ada kok.” Manik mata Anya membulat. “Di mana?” “Kayaknya di jalan menuju ke gudang pojok deh, itu gudang lama, kan?” Si manis meneguk ludah. Ini sudah sangat gelap, ia bukankah Lana yang bisa menerobos gelap, mengabaiakn apapun untuk menuju gudang. Dalam perjalanan saja mungkin kakinya akan bergetar sampai ia tak mampu berjalan lagi jika harus pergi sendiri ke sekolah yang sudah kosong ini. Terlalu lama berpikir rupanya membuat Anya sudah sendirian di depan gerbang, hembus angin dingin seolah menariknya secara paksa menuju realita saat ini. Tubuhnya mematung d I depan gerbang, sekarang ia yakin Lana berada di gudang sekolah tempat pemuda itu menyekapnya kemarin. “Panter Kak Bima kelihatan seneng, kayaknya dia balas dendam sama Kak Lana, karna itu juga dia gak mau bantu aku cari lokasi Kak Lana. Argh, aku harus gimana?” Anya menoleh ke sana kemari, memang ada beberapa orang yang masih berjalan di sekitar tempat itu, tetapi membawa orang asing ke sekolah dalam keadaan gelap seperti ini sangat berbahaya. Namun, pergi sendiri ke dalam sekolah juga terlalu menakutkan. “Takut hantu, tapi juga takut Kak Lana kenapa-napa.”"Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik ma
“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya.“Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz.“Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.”Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka.“Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.“Ya elah
Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar."Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana.Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua."Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel.""Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz.Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima."Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe.Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny
Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah. “Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “S