Sedetik tatapan Lana bertemu dengan Anya. Tanpa pikir panjang Lana melompat ke dalam kolam, meraih pinggang gadis itu, membawanya menepi. Wajah tirus itu terlihat pucat dengan nafas yang terengah-engah.
“Kak Lana! Aku hampir mati,” kesal gadis itu sambil memukul lengan Lana. Sementara Lana terdiam, menatap Anya yang memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan. Rasanya dejavu, seolah hari itu kembali terulang. Perlahan wajah Anya memudar, tergantikan wajah familiar bagi Lana, wajah ketakutan yang membuat dadanya terasa sesak. “Den Lana! Apa yang Den Lana lakukan ke Non Anya.” Lana sama sekali tak bergerak ketika Bibi pelayan menarik paksa tangan Lana, begitu pula Nyonya Gramantha yang datang dengan raut serius, langung menghampiri Anya. Tentu Anya mengerti situasi ini, tepat seperti yang dikatakan Riki, bahwa semua orang di rumah mewah itu mewaspadai setiap hal yang dilakukan Lana. Dalam beberapa detik, Anya sempat melihat raut putus asa pada wajah Lana, sebelum tergantikan kebencian. “Saya jatuh karena ceroboh, Kak Lana menyelamatkan saya.” Anya masih takut, tubuhnya bahkan masih bergetar, tetapi entah mengapa ia seolah tak memiliki kendali atas ucapannya sendiri. Hanya ingin melindungi Lana, itu saja. Bukannya merespon baik-baik, Lana justru mendorong pundak Anya, berlalu pergi. Langkah cepat itu terhenti ketika Nyonya Hwang, menarik tangannya. Lana menghempas kasar pegangan tangan itu, menatap tajam dengan penuh kebencian. “Kamu tidak menyukai dia, kan? Lana, dia sangat penting bagi kerja sama perusahaan kita. Mama dan Papa sudah merawatmu sejak kecil, bukankah kamu juga sudah waktunya untuk membalas budi?” ujar perempuan paruh baya itu dengan lembut. Lana menatap perempuan dengan jas formal serta potongan bob yang membuatnya terihat elegan itu. Nafasnya menggebu. “Aku tidak menyukai dia, hanya melakukan tugas yang papa berikan.” “Baguslah kalau begitu, mama tidak akan cemas lagi.” Lana tak ingin memperdulikan lagi keberadaan Anya, langkahnya menuju kamar, sudah terlanjur kesal. Ia bisa saja menjahili Anya, tapi di sisi lain juga harus menjaganya, jika seperti itu semua yang dilakukan hanya sia-sia, justru merepotkan diri sendiri. oOo “Wah, rasanya bebas banget gak diikuti si boncel itu. Kayaknya dia demam karna kecebur kolam tadi.” Lana terkekeh di akhir kalimat, menikmati cemilannya di sebuah kursi taman, menikmati ketenangan. Sesekali ia menoleh, menatap sekeliling, memastikan memang Anya tak mengikutinya. Tidak ada yang aneh, dan perasaan tenangnya membuat Lana semakin yakin bahwa sosok pendek itu memang tidak ada. Seorang gadis dengan dress putih melewati Lana, terlihat begitu anggun dan menawan. Aroma wangi feminim itu bahkan masih tertinggal kala ia melangkah menjauh. Pemuda dengan tatapan tajam itu seolah terhipnotis, langkahnya spontan mengikuti perempuan itu. Melalui jalanan dan gang yang sama sekali tak dikenalinya, Lana masih berfokus pada perempuan itu sampai akhirnya keluar dari gang, berada di sebuah jalan kecil dengan rumah-rumah sederhana di mana gadis dengan rambut hitam lurus itu sudah tak terlihat di pandangannya. “Dia tinggal bersembunyi di sini? Oke, aku pasti akan menemukan dia lagi.” Lana masih berjalan melewati rumah-rumah minimalis itu. Ia sama sekali tak menyangka ada kompleks perumahan seperti ini di tengah padatnya perkotaan. Memang cukup tersembunyi, pantas saja gadis itu memilih tinggal di sini. Tatapan Lana berhenti pada sosok manis yang tengah berlutut sambil memetik bunga, meletakkannya pada sebuah vas ukuran sedang berisi air. “Anya?” Pemuda itu mengernyit heran melihat Anya dengan pakaian sederhana dan beberapa peralatan berkebun. Dari yang ia tau, Anya adalah anak Ceo dari perusahaan elektronik terkenal itu, sedang apa berada di tempat ini, berkebun di taman kecil itu? Untuk beberapa saat Lana bergelut dengan pikirannya sendiri, hingga tak menyadari Anya sudah berada di depannya, melambaikan tangan.”Kak Lana kenapa?” “Ini beneran lu, Anya?” tanya Lana. Entah mengapa ekspresi kikuk Lana itu membuat Anya tertawa, ia menggelengkan kepala, lalu menarik Lana ke pekarangan rumah minimalis dengan dominasi cat putih itu. “Ini aku, Anya. Kakak sendiri kenapa bisa ada di sini?” Jika Anya hanya berbohong tentang kedudukan papanya yang seorang CEO, tak mungkin orang tuanya juga menyuruh Lana terus menjaga bocah tengik ini. Namun, melihat tempat tinggalnya, juga tak mungkin dia adalah anak dari orang terkaya di kota. Gadis itu menyadari kebingungan di wajah Lana. Ia tersenyum tipis, lalu berbalik menatap bunga-bunga yang tadi di petiknya, mengambil vas itu. “Kakak pasti heran kenapa aku tinggal di sini, kan? Yah, terkadang kita butuh menyembunyikan diri dari kekacauan di tengah kota. Di sini damai dan menyenangkan.” “Kamu tinggal sendiri?” Anya menggeleng dengan senyum yang sama sekali tak berkurang di wajahnya. “Aku tinggal sama Mama Papa. Eh, maksudku orang tua angkat. Umm ... Sebut saja pengasuhku.” Pemuda itu hanya mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. Memang benar apa yang Anya katakan, ketimbang berada di tengah kota, tempat ini juga lebih baik. Namun, mengingat kembali alasannya sampai di tempat ini, membuat Lana kembali menelisik sekeliling. “Di sini ada ga perempuan yang rambutnya lurus warna hitam pekat, dia cantik, kelihatan anggun, juga feminim banget?” Si manis terlihat berpikir sebentar sebelum kemudian menggeleng pelan. Lana mendengus kesal, mungkin gadis itu tidak tinggal di daerah ini. “Kak Lana mencari seseorang? Aku bisa menyampaikannya jika bertemu,” ujar Anya. “Namanya Eliyah, ciri-cirinya seperti tadi yang gue bilang. Gue ngejar dia waktu gak sengaja liat di taman, dia jalan ke sini.” “Begitu, Ya? Baiklah, aku akan bantu Kak Lana cari perempuan itu.” Anya mengangguk, tetapi kemudian tatapannya beralih pada sosok pemuda lain yang datang menghampirinya, memberikan satu keranjang rangkaian bunga. Anya tersenyum lebar mengambil rangakaian bunga itu, benar-benar mengabaikan keberadaan Lana. “Kak Bima udah bawa semua? Wah, makasih ya, ayo masuk dulu, mama udah siapin kue buat kita,” Anya berucap ringan, lalu mengikuti langkah Bima menuju rumah. Kita? Anya terlihat begitu semangat sejak kedatangan Bima, jika menyukai si mata malas itu, kenapa repot-repot menganggu Lana. Dan yang lebih aneh, mengapa Lana merasa kesal. Lagi-lagi ia merasa terprovokasi dengan si Bima itu, padahal jelas Bima tidak melakukan apapun padanya. “Anya!” Lana memanggil dengan sedikit membentak, membuat si manis menoleh dengan raut heran. “Gue pulang sekarang.” Tentu perempuan itu hanya memiringkan kepala, bingung. Ada apa dengan Lana? Apa barusan pemuda itu berpamitan padanya? “Oh, iya, Kak. Hati-hati di jalan.” Selesai mengucapkan kalimat singkat itu Anya benar-benar memasuki rumah tanpa sedikitpun menoleh pada Lana seolah tak pernah suka sama sekali. Bima tersenyum remeh, memberikan pose jempol terbalik pada Lana. “Anya punya gue,” ujar Bima. “Mau punya Lu atau punya bokap lu, gue juga gak perduli!” Lana sudah kepalang malu, memilih berbalik dan berjalan cepat. Namun sungguh sial, ia malah tersandung batu dan terjatuh. Bima yang melihat itu tertawa terbahak-bahak, sementara Lana mengumpat menatap lututnya yang memar dengan beret merah. “Sial! Gue emang selalu sial kalo deket sama Anya.” Melihat keributan di depan rumahnya, Anya kembali keluar saat melihat Lana berjalan pincang menjauh dari rumahnya. Rasanya Lana sangat ingin menendang Anya, menjambak rambut lembut itu sampai tak tersisa satupun. Sungguh, darahnya mendidih menahan rasa malu ini. Namun, kala langkah ringan yang mengejarnya itu sampai di hadapan, Lana benar-benar mematung. Diam dalam kebisuan. “Kak Lana luka? Ini Anya bawain plester.” “Gak! lu stalker! Mau ambil darah gue ‘kan?” Anya hanya tertawa hingga mata sipitnya tenggelam, menggeleng pelan sambil menatap luka Lana. “Kalau ada Kak Bima, aku libur jadi stalker Kak Lana, jadi tenang aja.”“Den Lana darimana, ini kenapa kakinya di perban seperti ini,” ujar si pelayan yang segeraa menghampiri Lana.Si pemuda tak menghiraukannya, masih berjalan masuk ke dalam mansion itu dengan sedikit pincang. “Jangan pegang gue!”Lana menghempaskan pegengan tangan si pelayan yang ingin melihat keadaannya. Nyonya Gramantha keluar dengan tatapan serius. Lana menghela nafas, kejadian tadi sudah membuatunya cukup jengkel, lalu ditambah sikap orang rumah yang berkebihan ini membuatnya semakin muak.“Lana, bicara yang sopan dengan Bi Ani, bibi ini yang jaga kamu dari kecil, jangan jadi anak kurang ajar. Mama gak pernah ngajarin kamu—”Sebuah guci melesat dari tangan Lana, di lempar ke tembok hingga remuk tak berbentuk bersamaan dengan bunyi nyaring yang membuat kedua perempuan itu terdiam.Entah mengapa mengingat kejadian dengan Anya tadi membuat amarahnya kembali terbakar. Pertama ia melihat Eliyah, lalu mengejarnya sampai ke rumah Anya. Apa itu hanya sebuah kebetulan? Lalu ucapa aneh Anya y
"Kak Lana, aku suka kakak!" Lana sudah menduga adegan klaise ini. Sosok mungil dengan hoodie oversize berwarna biru muda itu menatapnya dengan manik mata berbinar. Jemarinya mengantup, memegang sebuah gelang handmade kasual. Entah sudah beberapa kalinya Lana menerima ungkapan perasaan selama seminggu ini. Beberapa membawakannya coklat, kue, gelang, cincin, ini sudah bukan hal yang menarik bagi pemuda dengan tatapan tajam itu. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada sosok di hadapannya. "Kenapa suka gue? Karna gue ganteng? Kalo cuma itu, lu bisa cari cowok ganteng yang lain." "Bu- bukan!" Gadis itu menggeleng kasar. Kedua tangannya bertaut, menggenggam erat gelang buatannya itu dengan sedikit bergetar. "Karena Kak Lana kelihatan keren di jam olahraga di sekolah." "Oh, jadi maksudmu di jam pelajaran lainnya gw gak keren?" Lana tersenyum miring, ia suka melihat wajah gadis yang terpojok karena tak bisa menjawab pertanyaan nya. Seperti kucing kecil yang kehilangan arah, manik ma
“Hah, gue emang sekeren ini kalo jam olahraga.” Lana sengaja menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari tangan, melirik sosok manis yang menatapnya hampir tak berkedip di bangku tribun, sendirian, berada cukup jauh dari kerumunan perempuan-perempuan lain yang memang datang untuk melihatnya.Lapangan lari maraton outdoor itu seketika ricuh karena teriakan murid-murid perempuan di tribun. Lana sama sekali tak memperdulikannya, sesekali tatapannya tertuju pada Anya yang masih duduk di tempat, menatapnya.“Cie, yang lihatin Anya mulu, suka, ya?” goda Ardiaz.“Dih, siapa juga yang suka si boncel itu, udah pendek, stalker lagi. Liat aja pembalasan gue. berani dia malu-maluin gue.”Suara peluit guru olahraga menandakan jam pelajaran telah berakhir, semua murid mulai menepi dari lapangan panas itu, begitu juga Lana dan Ardiaz yang juga melihat Anya bangun dari duduknya, mengikuti mereka.“Tuh, kan. Stress emang tuh anak. Lihat, kan? Kita mau ganti baju, malah diikutin,” keluh Lana.“Ya elah
Saat Ardiaz tau, tentu saja pemuda itu tertawa paling keras diantara teman-temannya yang lain. Bukan karena dia benci Lana, tapi sungguh lucu melihat ekspresi kesal Lana yang biasa hanya memasang wajah datar."Jadi gimana?" tanya Dio yang duduk di samping Lana.Malam itu Ardiaz merencanakan pertemuan di sebuah cafe bersama beberapa anak yang memiliki hubungan kedekatan dengan mereka karena bisnis orang tua."Sumpah, si Bima itu bikin gue kesel.""Lah, nambah lagi daftar orang yang bikin lu kesel selain Anya?" tanya Ardiaz.Lana sama sekali tak membalas, pemuda itu hanya tersenyum miring, memikirkan sebuah cara untuk membuat Anya menyerah menguntitnya. Untuk sementara, hanya itu yang ingin ia lakukan. Setelah nya, barulah mengurus si Bima."Lho, Lan. Itu yang di seberang jalan kayak Anya," ujar Dimas sembari menunjuk ke kaca cafe.Posisi duduk mereka yang berada di bagian outdoor menampilkan jelas pantulan tubuh mungil Anya yang berdiri di seberang sambil menatap ke arah mereka. Gadis
Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu."Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini.""Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian."Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online."Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-o
Lana menyeret Anya ke dalam kamarnya, membuat pelayan yang tengah menyiapkan makan malam itu menatap heran pada majikannya yang tak biasa membawa anak perempuan ke rumah.“Itu siapa, Den?” tanya si pelayan berumur paruh baya yang menghampiri Lana.Untuk sementara Anya merasa terselamatkan, tetapi pegangan di telapak tangannya semakin mengerat ketika Si bibi pelayan itu hampir meraih tangannya yang lain. Lana menariknya, membuat tubuh mereka begitu dekat satu sama lain.Anya tau, ada yang aneh dari Lana. Dia menatap nyalang pada pelayan itu, lalu menepuk pelan kepala Anya dari atas, begitu lembut, seolah menunjukkan bahwa ia membawanya dengan baik-baik.“Ini Anya, Papa yang suruh Lana bawa dia ke sini. Bibi gak usah ganggu acara Lana!”“Tapi, Den—"“Gue bilang jangan ganggu!!!”Pemuda itu melangkah cepat, membuat Anya sedikit terseret mengikuti langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia menghempaskan tubuh Anya ke atas ranjang, sementara ia berdiri berkacak pinggang dengan tatapan tajam.S
"Bu, bukan Kak Lana yang ngurung saya di gudang."Lana sama sekali tak menoleh meski mendengar suara lirih itu mencoba menjelaskan dengan susah payah. Yang masih bisa Lana syukuri adalah fakta bahwa Anya ini bodoh dan gila, bahkan jika ia merundungnya, akan terus membelanya—bucin."Lalu siapa, Anya? Dari rekaman kamera dekat situ, hanya Lana dan teman-temannya yang datang ke sana membawamu. Dan lagi, jika bukan Lana yang memerintah teman-teman nya itu, mereka tidak akan repot mengurung mu di sana.""Saya, Bu!"Tak hanya guru bk, Anya pun seketika menoleh dengan tatapan tak percaya melihat Riki memasuki ruangan bk dengan cengiran aneh. Tanpa diperintah pemuda itu duduk di samping Lana."Saya yang membuat rencana ini," ujar Riki."Selalu saja begini! Jangan kira ibu tidak tau, kamu hanya menutupi setiap masalah Lana!"Anya sama sekali tak tau permasalahan anak kelas 12 ini, ia baru masuk di sekolah ini sebagai siswa baru, juga tak terlalu perduli pada gosip sekolah—sampai ketika ia meny