Share

Sebuah Hobi Baru

Merasa menang dan berhasil membuat Anya menangis, Lana merayakan hari ini dengan membuat pesta kecil di rumahnya bersama empat temannya itu, termasuk Ardiaz.

Semula, Ardiaz masih mengecek keadaan Anya beberapa kali, gadis itu masih menangis. Namun, entah sejak kapan ia mulai ikut duduk di kursi santai samping Lana, menikmati jus sambil memejam, merasakan momen ketenangan itu.

"Lu udah lama gak main ke sini," ujar Lana. "Emang lu gak kangen apa sama rumah gue? Padahal dulu pas SMP gue udah berasa tinggal sama lu, tiap hari tiap jam lu ada di rumah ini."

"Gak kangen, gue. Lu aja paling yang kangen sama gue," ujar Ardiaz.

Sementara itu Dio, Dimas dan Riki tengah asik bermain game di tepi kolam renang, sambil membiarkan kaki mereka menggelayut di tepian.

"Heh, Riki main curang!" Dio tak terima melihat Riki tertawa lebar dengan kemenangan game nya. Diantara mereka berempat, Dio memang penggemar berat game online.

"Apaan, orang gue emang jago kok mainnya." Riki menjulurkan lidah, mengolok-olok temannya yang beranjak kasar, lalu mendorongnya ke kolam.

Secara refleks tangan Riki meraih meja di dekat Ardiaz, menjatuhkan ponsel Dio yang digunakan untuk memantau kamera pengawas gudang sekolah. Seketika suara debur membuat semua menoleh, menatap ponsel yang seketika mati karena tercebur kolam.

"Lan, gimana nih?" Dimas menatap cemas pada Lana, tetapi si pemuda itu justru menutupi wajahnya dengan majalah, bersandar pada kursi santai, mengabaikan.

"Dahlah biarin, bentar lagi juga Bima bakalan jemput Anya. Ini udah jam pulang sekolah, pastinya Bima udah panik sekarang."

Beberapa jam berlalu cepat. Pesta kecil itu semakin menyenangkan ketika kelimanya menuju ruang santai. Pizza dan makanan cepat saji sudah berhambur di atas meja ketika kelimanya saling bergantian bermain Ps. Tanpa menyadari hari mulai gelap, lima pemuda itu sepenuhnya tak mengingat Anya sedikitpun.

Dalam kesenangan itu, sebuah notifikasi dari ponselnya membuat Lana memicing tak suka, tetapi kemudian tetap menerima panggilan. Pemuda itu beranjak dari sofa, sedikit menjauh dari teman-temannya dengan wajah serius.

"Apa?!"

Entah apa yang dikatakan orang di seberang telepon, tetapi Ardiaz sangat yakin bahwa itu adalah Papa Lana, tidak ada orang yang bisa membuat Lana menampilkan ekspresi serius itu.

"Sial!" Lana meraih asal jaketnya yang tersampir asal di atas sofa. "Si boncel belum ketemu, orang tuanya nelepon papa dan gue disuruh bantu cari."

"Wah, memang gak becus kerjanya si Bima. Kenapa dia bisa nge-hack keberadaan kita, tapi gak bisa nemuin si Anya?" gumam Dimas.

Lana berjalan cepat dengan sedikit berlari menuju garasi, melompat ke atas motor dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalan menuju sekolah. Angin menerpa wajah tampan itu, tetapi dia tidak memperhatikannya. Pikiran hanya tertuju pada Anya, jika terjadi sesuatu pada si boncel itu, maka habislah riwayatnya.

Ada sedikit cemas yang melanda hati Lana kala melaju dengan kecepatan tinggi di atas motor. Setiap detik terasa seperti keabadian saat ia berusaha tiba di sekolah secepat mungkin. Angin yang melambai melalui rambutnya, tetapi itu tidak mengalihkan perhatiannya dari tujuannya.

Sesampainya di sekolah, Lana tak perduli dengan satpam patroli yang mengejar langkahnya. Dengan tergesa berlari menuju gudang, membuka pintu dengan berat hati. Dia melihat Anya yang tergeletak lemas dengan kursi yang sudah jatuh miring bersama tubuh ringkih itu.

"Anya, sadar!" Lana sedikit meninggikan suara, sementara dua satpam yang mengejarnya ikut masuk ke dalam gudang.

"Kok bisa ada murid di gudang?"

"Gak tau, saya aja baru dikasih tau kalo Anya di sini." Lana menggendong Anya di depan, membawa gadis itu keluar dari gudang.

"Memangnya siapa yang kasih tau kamu kalau anak ini ada di gudang?" tanya salah satu satpam lagi. "biar besok bapak kasih tau ke guru bk."

Langkah Lana terhenti. "Saya gak tau, Pak. Nomornya asing. Besok biar saya selesaiin sendiri sama guru bk."

Selama masuk sekolah ini, Lana tak sekalipun pernah berurusan dengan guru bk dalam hal negatif. Ia hampir tak pernah membuat keributan sama sekali, dan sangat disiplin, meski prestasinya cukup mengecewakan.

"Kalau sampai guru bk lapor ke papa, bisa mampus gue," gerutu pemuda itu.

"Kak Lana," Anya berujar lirih. "Kenapa Kak Lana tolong aku?"

"Ck, lu mau gue bawa balik ke gudang?" tanya Lana dengan sewot kala menurunkan Anya dari gendongannya di halaman sekolah, tepat di depan motor sportnya.

"Naik," perintah Lana.

Anya hanya mengangguk lemas. Lana dapat melihat jelas wajah Anya yang cukup pucat, menandakan betapa takutnya gadis itu. Pikirannya was-was, kalau sampai Anya jatuh dari motornya, ia juga akan kena masalah.

"Masih kuat, kan?" tanya Lana.

Sekali lagi Anya mengangguk pelan. Kali ini gadis itu sudah berada di atas motor, dengan tatapan kosong, mungkin masih belum sepenuhnya sadar. Lana menarik tangan Anya, melingkarkan di pinggangnya. "Pegangan."

"Eh, boleh?"

"Gak usah cari kesempatan! Gue cuma ga mau lu jatuh, yang ada gue malah kena masalah."

Seperti dugaan Lana, gadis itu benar-benar mengeratkan pegangannya, menyandarkan kepala di punggung Lana. "Kak Lana, dingin. Kayaknya aku bisa mati kedinginan kalau gini."

Matahari telah sepenuhnya terbenam, dan angin mulai meniupkan hawa dingin yang menusuk kulit. Lana menepikan motor, lalu melepas jaketnya. Tentu saja dengan wajah masam dan tatapan berapi-api.

"Nah! Jangan sampe lu mati beneran."

"Kenapa? Nanti kakak takut gak ada jodoh kalau aku mati duluan?" Anya meraih uluran jaket dari Lana, lalu memakainya dengan senyum yang mengembang.

"Ngomong gitu lagi, gue tinggalin lu di sini biar diculik preman m3sum sekalian."

Manik mata Anya mulai memerah dengan binar cahaya gemerlap yang menahan tatapan Lana untuk beberapa detik sebelum lelehan bening menetes bersamaan dengan tangis yang pecah. Jika hanya merengek mungkin Lana akan mengabaikannya, tetapi Anya benar-benar sesenggukan seperti bocah.

Setelahnya tak ada percakapan di antara keduanya. Lana berfokus pada jalanan, sementara Anya diam membisu. Hingga pada akhirnya si manis tak tahan untuk tidak bertanya. "Kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah ku."

"Lho, bukannya beberapa hari kemarin lu berangkat sekolah dari arah ini?"

Anya menunduk.

"Bukan, itu bukan aku."

"Bukan lu?" Entah mengapa Lana ingin menjewer kedua belah pipi Anya hingga memerah, kalau bisa sampai keropos sekalian. Mana mungkin yang tiap hari stalker dirinya itu bukan Anya, sudah jelas terlihat masih saja mengelak. Dasar bocah.

"Kalau memang aku, berarti itu hanya kebetulan."

"Kebetulan sesering itu?"

Anya tak menjawab, dan Lana tersenyum miring. Rupanya menjahili si boncel ini memberikan kesenangan tersendiri untuknya. "Lalu, jangan bilang kalau yang nge-hack percakapan kami di cafe kemarin, lu juga? Wajah manis ini ternyata bahaya juga ya."

Lana menghentikan motor di depan rumahnya. Sudah sepi, pertanda teman-temannya sudah pulang. Ia memegang pergelangan tangan Anya, tetapi gadis itu menolak untuk masuk ke rumah besar nan mewah itu.

"Kenapa lagi?" tanya Lana.

"Aku maunya pulang ke rumahku sendiri."

"Sementara lu gue sandra dulu, sampe lu benar-benar gak bakal ngomong dan ngebocorin kejadian ini ke siapapun. Termasuk ke Bima."

"Haa? Aku harus tinggal di sini?"

Lana tak menjawab, hanya tersenyum menyeringai, lalu menyeret Jeongin masuk ke dalam rumahnya. "Kayaknya sekarang gue mulai punya hobi baru."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status