“Berikan aku vodka,” ucap Kimberly dingin pada sang bartender.
“All right, Miss,” sang bartender langsung memberikan minuman yang dipesan oleh Kimberly
Kimberly menenggak vodka hingga tandas. Tak hanya satu gelas saja, tapi dia terus meminta sang bartender memberikannya minuman beralkohol tinggi itu. Sesekali, Kimberly melihat lautan manusia yang ada di lantai dansa. Rasanya wanita itu ingin menertawakan dirinya sendiri.
Semua orang berpasangan. Mereka tampak begitu mesra, sedangkan Kimberly? Wanita itu duduk di tempatnya meminum alkohol—seraya sedikit menari mengikuti alunan musik jazz yang tengah diputar oleh Disk Jockey.
Wanita berambut cokelat tebal dan bermata hazel itu sejak tadi tak luput dari pandangan banyak pria yang menatap dirinya. Tak tanggung-tanggung, para pria bahkan mengajaknya berkenalan dan juga berdansa. Akan tetapi, belum ada satu pun pria yang menarik di mata Kimberly.
“Whisky, please.” Suara berat milik seorang pria berbicara pada sang bartender begitu terdengar di telinga Kimberly.
Kimberly menoleh pada sosok pria yang duduk di sampingnya. Mata wanita itu menyipit menatap pria yang tampak tak asing itu. Kening Kimberly mengerut berusaha mengenali sosok pria itu. Namun, sayangnya alkohol begitu menguasai otaknya membuat Kimberly kesulitan mengenali pria yang meminta whisky pada sang bartender.
Tampan. Sangat tampan. Itu yang Kimberly nilai tentang paras pria yang ada di dekatnya itu. Hanya saja Kimberly tak mampu mengingatnya. Dalam otak Kimberly—pria di sampingnya itu adalah pria yang paling tampan dari semua pria yang sejak tadi berusaha mendekatinya.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Pria asing itu menyesap whisky yang baru saja diberikan oleh sang bartender. Tatapannya tak lepas menatap Kimberly yang sejak tadi menatapnya. Senyuman samar di wajah pria itu terus terlukis, senyum yang mampu menggoda para kaum hawa.
“Apa kita saling mengenal? Wajahmu tak asing di mataku. Aku seperti pernah melihatmu,” ucap Kimberly setengah mabuk. Dia menatap dalam sosok pria tampan yang ada di hadapannya. Tubuh gagah dan maskulin pria itu terbalut oleh jas berwarna hitam, rahangnya tegas, hidungnya mancung menjulang melebihi bibir.
Kimberly mengakui sosok pria di hadapannya ini layaknya pahatan patung Dewa Yunani yang sempurna. Bahkan di kala pria itu menyesap minumannya—pria itu tampak sangat seksi di mata Kimberly. Ini sudah gila! Alkohol membuat kewarasan di otaknya menghilang. Bisa-bisanya dia mengagumi pria asing.
“Menurutmu apa kita saling mengenal?” Pria itu mendekat pada Kimberly. Mengikis jarak di antara mereka. Sepasang iris mata cokelat itu seakan mampu menghipnotis Kimberly.
Kimberly terkekeh pelan. “Mungkin kau hanya mirip dengan pria yang aku kenal. Lupakan saja. Kepalaku sedang pusing. Jadi pasti aku salah mengenali seseorang.”
“Kenapa kau sendiri di sini?” tanya pria itu dengan sorot mata yang begitu lekat pada Kimberly. “Dari wajahmu menunjukkan kau seperti wanita yang patah hati. Apa kau memiliki masalah dengan pasanganmu?” Pria itu kembali bertanya. Nada bicaranya serak dan rendah begitu menggoda.
“Patah hati?” Kimberly mulai tertawa. “Kenapa aku harus patah hati? Come on, aku ke sini karena bosan di rumah. Tidak ada kata patah hati untuk seorang Kimberly Davies.”
Senyuman misterius di wajah pria itu terlukis. Mata sayu Kimberly begitu menggodanya. Tubuh wanita itu indah. Bahkan sangat indah. Lekuk tubuh sempurna. Payudara yang padat dan berukuran menantang membuat pria itu tak lepas menatap Kimberly. Balutan gaun berwarna merah bermodel kemben sangat cantik dan seksi. Kimberly bagaikan angel yang ada di tengah-tengah klub malam.
“Kalau begitu kita sama. Aku juga sendirian di sini. Apa kau mau berdansa denganku?” pinta pria itu seraya menatap Kimberly yang mabuk.
“Apa aku harus menerima tawaranmu?” Kimberly membalikkan pertanyaan pria itu.
Namun, tiba-tiba tubuh Kimberly nyaris terjatuh. Pria itu sangat sigap menangkap tubuh Kimberly. Jarak mereka begitu dekat dan intim. Aroma parfume maskulin menyeruak ke indra penciuman Kimberly membuat darah wanita itu seolah mendidih. Aroma itu sukses membuat endorfin dalam dirinya bergejolak hebat. Otaknya mulai menyusun fantasi-fantasi liar kala pria asing yang tampan itu memeluk dirinya.
“Akan lebih baik jika kau menerima tawaranku. Kau kesepian dan aku pun kesepian,” bisik pria itu serak di depan bibir Kimberly. “Kita sama-sama membutuhkan.”
Kimberly tersenyum dengan mata yang sayu. “Well, kalau begitu jangan bertanya. Silakan bawa aku ke lantai dansa.”
Seringai di bibir pria itu terlukis. Tak banyak bicara, pria itu langsung membawa Kimberly ke lantai dansa bergabung dengan lautan manusia yang sejak tadi terdansa menikmati detuman musik. Malam semakin larut, keadaan suasana klub malam itu semakin meriah dan ramai.
Musik jazz berganti dengan musik slow motion. Pria asing itu memeluk erat pinggang Kimberly. Mereka berdansa dengan sangat mesra seperti layaknya pasangan yang tengah memadu kasih.
“Kimberly … namaku Kimberly. Kenapa kau belum mengajakku berkenalkan?” racau Kimberly kian mabuk. Tangan cantik wanita itu melingkar di leher sang pria asing yang mengajaknya berdansa. Meski mabuk tapi Kimberly menyadari pria yang mengajaknya berdansa ini belum sama sekali memperkenalkan diri.
“Tadi kau sudah menyebutkan namamu, Kim,” bisik pria itu seraya membelai begitu lembut pipi Kimberly.
Mata Kimberly semakin menyipit. “Kau curang. Kau belum memperkenalkan namamu.”
Pria itu tersenyum. Lantas dia menarik dagu Kimberly sambil berbisik serak, “Aku yakin kau pasti tahu namaku.”
Tampak kening Kimberly mengerut mendengar ucapan pria itu. Otaknya mulai bekerja mencerna. Namun, alkohol yang terlalu banyak telah menguasai jalan pikiran dan ingatan Kimberly. Akhirnya, Kimberly tak mau ambil pusing dengan ucapan pria itu.
“Kenapa pria tampan sepertimu sendirian?” racau Kimberly lagi.
Pria itu terkekeh rendah dan terdengar seksi. “Aku tidak sendirian. Aku sedang berdansa denganmu.”
“Ah, iya. Kau benar.” Kimberly berjinjit—lalu dengan berani dia mengecup bibir pria itu. Awalnya hanya sebuah kecupan saja, tapi perlahan Kimberly melumat bibirnya.
“Amatiran.” Pria itu menangkup kedua pipi Kimberly, menatap mata sayu Kimberly. “Ciumanmu itu masih amatiran, Kim.”
“Show me how to do the right kiss,” bisik Kimberly menggoda.
Mendengar respon Kimberly, pria itu langsung membenamkan bibirnya di permukaan bibir Kimberly, melumat dengan lembut, menggigit pelan bibir wanita itu agar membuka mulutnya. Desahan panjang lolos di bibir Kimberly kala pria itu mencium bibirnya dengan begitu panas dan liar. Ciuman pria itu seolah melumpuhkan saraf di sekujur tubuh Kimberly.
“You’re a good kisser,” bisik Kimberly menggoda tepat di depan bibir pria itu. “Temani aku malam ini. Aku ingin menghabiskan malamku denganmu.”
Pria itu membelai bibir ranum Kimberly dengan jemarinya. “Jangan menantangku, Kim. Kau akan menyesali keputusanmu itu.”
“Aku tidak mungkin menyesalinya. Malam ini temani aku. Bukankah tadi kau sendiri yang mengatakan kita adalah dua orang yang kesepian?” Kimberly merapatkan dadanya ke dada pria itu. Nadanya berbisik menggoda dan sukses membuat pria itu menggeram akibat suara seksi Kimberly.
Pria itu menarik dagu Kimberly, melumat kembali bibir ranum Kimberly, lalu berubah agresif dan menuntut. Tangan pria itu pun semakin memeluk pinggang Kimberly dengan erat. Memberikan remasan pelan, menyalurkan sensasi yang telah terselimuti api hasrat yang telah membara.
“You know, Kim, once you give up yourself to me, there is no chance of backing out.”
Rintihan perih lolos di bibir Kimberly di kala merasakan titik sensitive-nya terasa begitu perih dan menyakitkan. Tubuhnya terasa sangat remuk seperti dipukuli ribuan orang. Ah, sial! Kimberly mengumpat pelan di kala merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan mata Kimberly terbuka. Wanita itu memijat keningnya yang mulai terasa sangatlah pusing. Tunggu! Tiba-tiba raut wajahnya berubah di kala menyadari dirinya berada di sebuah kamar asing. Tak hanya itu saja, dia juga melihat pakaian berserakan di lantai.Apa yang terjadi? Jutaan pertanyaan muncul di benak Kimberly. Dalam hitungan detik, dia mengingat dirinya tadi malam pergi ke klub malam. Namun kenapa sekarang dirinya berada di sebuah kamar asing yang tak dia kenali?Kimberly mulai memberanikan diri, mengintip ke balik selimut, melihat tubuhnya sendiri. Seketika matanya membulat sempurna melihat tubuhnya di balik selimut sudah telanjang, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Tidak hanya itu saja, banyak tanda
Suara berat Damian berucap dengan senyuman samar di wajahnya. Refleks, semua orang di sana terkejut sekaligus mengalihkan pandangannya pada Kimberly. Tampak raut wajah Kimberly sedikit memucat. Ditambah semua orang menatap dirinya.Tenggorokan Kimberly tercekat, lidahnya kelu, otaknya blank seketika tak mampu merangkai kata. Dalam benaknya berpikir kapan dia bertemu dengan Damian? Namun tunggu! Samar-samar dia seperti pernah bertemu dengan sosok tampan di hadapannya itu. Suara beratnya dan tatapan milik pria itu tak asing. Hal yang menguatkan ingatannya adalah aroma parfume maskulin Damian.Saat sesuatu hal muncul dalam benak Kimberly, tiba-tiba saja napasnya memberat. Kakinya layak jelly yang tak mampu berdiri tegak. Jantungnya berpacu dengan begitu keras hingga seolah ingin melompat dari tempatnya. Wanita itu menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang ada di pikirannya salah.‘Tidak. Tidak mungkin. Bukan dia orangnya. Pasti aku salah,’ batin Kimberly resah dan panik.“Kimberly, kau
“Kimberly? Kenapa kau lama sekali di toilet?” Suara Fargo sedikit memprotes kala Kimberly baru saja masuk ke dalam ruang makan.“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa Kimberly katakan. Wanita itu kembali duduk di samping Fargo. Raut wajahnya terlihat jelas mati-matian menutupi hati dan pikirannya yang begitu berkecamuk.Tak lama setelah Kimberly kembali ke ruang makan, Damian melangkahkan kakinya tegas memasuki ruang makan. Aura wajah pria tampan itu dingin, dan sangat misterius.“Damian kau dari mana?” tanya Daston penuh interogasi pada putranya itu.“Aku baru saja berbicara dengan seseorang yang penting,” jawab Damian datar seraya melihat Kimberly yang tampak pucat. “Orang penting? Siapa? Apa kau sedang dekat dengan seorang wanita?” sambung Fidelya yang penasaran.“Bisa dikatakan seperti itu,” jawab Damian lagi dengan senyuman di wajahnya.“Wah, aku tidak sabar mengetahui wanita yang sedang dekat denganmu, Damian,” seru Fidelya antusias dan tersirat tak sabar.Raut wajah Kimberly semakin
Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya An
“Kimberly? Apa kabar, Sayang?”Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menyapa hangat Kimberly yang masuk ke dalam rumah. Maisie Davies—ibu tiri Kimberly yang terkenal ramah itu selalu bersikap baik pada Kimberly. Sayangnya, Kimberly tak pernah ramah pada Maisie. Seperti saat ini, Kimberly memasang wajah dingin kala Maisie menyapanya.“Aku baik. Di mana ayahku? Apa dia masih di kantor?” Kimberly menjawab pertanyaan Maisie dengan nada yang dingin tapi tetap sopan pada ibu tirinya.Senyuman di wajah Maisie terlukis. “Iya, Kimberly. Ayahmu masih di kantor. Tadi ayahmu bilang dia akan pulang terlambat. Belakangan ini ayahmu sibuk dengan project di perusahaannya yang terbaru.”Kimberly mendesah pelan mendengar ucapan Maisie. Sudah tak heran dia mendapatkan jawaban seperti itu, karena dia tahu ayahnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi kesibukan ayahnya berbeda dengan Fargo. Bisa dikatakan ayahnya itu mencintai ibu tirinya. Setiap kali sibuk, ayahnya pasti akan membe
Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar. “Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan s
“Nyonya Kimberly, apa Anda tadi malam kurang tidur? Lingkar mata Anda sedikit gelap, Nyonya.” Sebuah kalimat lolos di bibir Brisa, asisten pribadi Kimberly kala Kimberly baru saja menyudahi rapat. Pagi-pagi Kimberly sudah berada di kantor karena memiliki meeting penting.“Benarkah? Apa penampilanku sangat kacau hari ini?” Kimberly mengambil ponselnya, menyalakan kamera, menatap ke kamera depan ponselnya. Benar saja. Lingkar matanya sedikit gelap. Astaga! Ini penampilannya yang paling kacau.“Hanya sedikit, Nyonya. Anda masih terlihat sangat cantik,” puji Brisa hangat.Kimberly mendengkus tak suka. “Kau itu tidak usah membuatku senang. Aku tahu penampilanku kacau. Lebih baik kau selesaikan saja pekerjaanmu. Jangan ganggu aku.”“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Brisa menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kimberly.Kimberly hendak menuju ruang kerjanya, tiba-tiba langkah Kimberly terhenti melihat sekretarisnya melangkah dengan terburu-buru…“Nyonya Kimberly,” sapa
Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg