Suara berat Damian berucap dengan senyuman samar di wajahnya. Refleks, semua orang di sana terkejut sekaligus mengalihkan pandangannya pada Kimberly. Tampak raut wajah Kimberly sedikit memucat. Ditambah semua orang menatap dirinya.
Tenggorokan Kimberly tercekat, lidahnya kelu, otaknya blank seketika tak mampu merangkai kata. Dalam benaknya berpikir kapan dia bertemu dengan Damian? Namun tunggu! Samar-samar dia seperti pernah bertemu dengan sosok tampan di hadapannya itu. Suara beratnya dan tatapan milik pria itu tak asing. Hal yang menguatkan ingatannya adalah aroma parfume maskulin Damian.
Saat sesuatu hal muncul dalam benak Kimberly, tiba-tiba saja napasnya memberat. Kakinya layak jelly yang tak mampu berdiri tegak. Jantungnya berpacu dengan begitu keras hingga seolah ingin melompat dari tempatnya. Wanita itu menggelengkan kepalanya meyakinkan apa yang ada di pikirannya salah.
‘Tidak. Tidak mungkin. Bukan dia orangnya. Pasti aku salah,’ batin Kimberly resah dan panik.
“Kimberly, kau bertemu dengan Damian di mana?” tanya Fidelya seraya menatap sang menantu dengan tatapan yang tersirat penasaran dan rasa ingin tahu.
“Ah, itu. Aku—” Kimberly menjeda beberapa detik. Memikirkan alasan apa yang paling tepat. Sungguh, wanita cantik itu tak tahu harus berkata apa.
“Aku bertemu dengan Kimberly secara tidak sengaja di jalan. Saat itu Kimberly tidak melihatku. Aku yang melihatnya. Aku ingin menghampirinya, tapi aku sedang terburu-buru karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Damian langsung menjawab tanpa menunggu jawaban dari Kimberly. Nadanya tenang tanpa beban.
Kimberly menelan salivanya susah payah mendengar jawaban dari Damian.
“Oh, begitu.” Fidelya mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
“Ya sudah, lebih baik kita ke ruang makan. Pelayan sudah menyiapkan makanan untuk kita.” Rula, nenek kandung Fargo sekaligus ibu tiri Damian, bersuara meminta semua orang untuk ke ruang makan.
“Benar. Sekarang, ayo kita ke ruang makan. Ini sudah waktunya makan malam,” sambung Fidelya hangat.
Semua orang menurut. Lantas mereka melangkah menuju ruang makan. Sepanjang perjalanan menuju ruang makan, tatapan Damian tak lepas menatap Kimbely—yang sejak tadi terus memeluk erat lengan Fargo.
Di ruang makan, Kimberly bersama dengan keluarga besar Fargo mulai menikmati makan malam mereka. Keheningan membentang di ruang makan itu. Belum ada percakapan yang terjalin. Hanya saja Kimberly sejak tadi makan dengan posisi kepala yang sedikit tertunduk tak berani menatap Damian yang ada di hadapannya.
“Kimberly, apa kau dan Fargo menunda memiliki keturunan?” tanya Fidelya yang sontak membuat Kimberly tersedak. Fargo segera memberikan air putih untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima air putih pemberian dari Fargo itu dan meminumnya secara perlahan.
“Terima kasih,” ucap Kimberly pelan seraya meletakkan gelas yang berisikan setengah air putih ke tempat semula.
“Mom, aku dan Kimberly masih baru menikah. Kami belum memikirkan tentang anak. Itu masih sangat lama, Mom,” jawab Fargo tegas dan penuh penekanan.
“Apa yang dikatakan Fargo benar. Dia dan Kimberly baru saja menikah. Biarkan mereka menikmati masa-masa romantis mereka dulu,” sambung Olsen, ayah Fargo, yang sejak tadi ada di sana, tapi pria paruh baya itu tak menyukai banyak bicara.
Fidelya mendesah pelan. “Baiklah, maafkan aku yang terburu-buru menanyakan tentang anak, tapi jujur aku sangat berharap Fargo dan Kimberly tidak menunda memiliki keturunan. Aku ingin sekali menggendong cucu, selagi aku masih belum terlalu tua.”
Kimberly tersenyum getir mendengar ucapan sang ibu mertua. Anak? Bagaimana dia dan Fargo memiliki anak? Hingga detik ini saja Fargo belum pernah menyentuhnya. Seketika ingatan Kimberly muncul tentang kejadian tadi malam. Shit! Bisa-bisanya dia one night stand dengan pria asing. Kimberly tak henti mengumpat dalam hati merutuki kebodohan dirinya.
“Damian, kau sendiri kapan ingin menikah? Usiamu sekarang sudah memasuki 34 tahun. Fargo saja yang baru 25 tahun sudah menikah. Kenapa kau belum kepikiran menikah?” tanya Rula menatap Damian dengan tatapan hangat.
Usia Damian dan Fargo hanya terpaut sembilan tahun. Saat itu Fidelya menikah di usia yang masih sangat muda. Tak heran jika usia Damian dan Fargo tidak terlalu berbeda jauh. Pun Damian dan Fidelya hanya terpaut perbedaan usia sembilan tahun. Fidelya jauh lebih tua dari Damian. Ini disebabkan Rula menikah di usia yang masih muda bahkan jauh lebih muda dari usia Fidelya menikah.
“Aku akan menikah, jika memang aku sudah ingin menikah,” jawab Damian dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Hm. Maaf, permisi aku ingin ke toilet sebentar.” Kimberly meminta izin untuk ke toilet.
“Kau ingin aku temani, Kimberly?” tawar Fargo seraya menatap Kimberly.
“Tidak usah. Aku sendiri saja,” jawab Kimberly dengan senyuman ramah di wajahnya. Seperti biasa Fargo selalu bersikap sangat baik dan romantis di hadapan banyak orang. Namun, jika di rumah Fargo akan kembali pada sifat awalnya yang tak peduli dan mengabaikan dirinya.
Saat Kimberly berjalan menuju toilet, tatapan Damian terus menatap punggung Kimberly yang mulai lenyap dari pandangannya. Seringai di bibir Damian terlukis. Pria itu menyesap wine di tangannya, duduk dengan tenang dan santai seolah tak terjadi apa pun.
“Permisi, aku ingin menghubungi asistenku sebentar,” ucap Damian berpamitan, sambil berdiri.
Deston menatap putranya. “Kau ini sedang makan malam, tapi malah mementingkan pekerjaanmu.”
“Hanya sebentar. Aku tidak akan lama.” Damian melangkah pergi meninggalkan ruang makan megah itu. Pria tampan itu tak mengindahkan tatapan dingin dan tajam dari sang ayah.
***
Kimberly menatap cermin seraya mengatur napasnya. Sungguh, hati dan pikirannya tak tenang. Dia tak tahu ada apa dengan dirinya. Sejak tadi tatapan paman tiri suaminya itu membuatnya seakan disudutkan.
Kimberly memutar keran wastafel, wanita itu membasuh wajahnya dengan air bersih. Detik selanjutnya, ketika dia yakin hati dan pikirannya sudah membaik, dia langsung membalikkan tubuhnya dan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun …
“Ingin melarikan diri?” Suara berat Damian sontak membuat tubuh Kimberly nyaris terhuyung ke belakang akibat keterkejutannya. Refleks, Damian dengan sigap menangkap tubuh Kimberly.
“P-Paman! K-kenapa kau di sini?” Kimberly mendorong dada Damian agar pria itu melepaskan pelukannya. Namun, alih-alih melepaskan, malah pria tampan itu semakin memeluk pinggangnya dengan erat.
“P-Paman, l-lepaskan aku!” Kimberly kembali berusaha melepaskan pelukan Damian. Sayangnya Damian mendorong tubuh Kimberly, membenturkan tubuh wanita itu ke dinding. Tak hanya itu, dia menghimpit tubuh Kimberly, membuatnya tak bisa lagi bergerak sama sekali.
“Kau melupakan kejadian tadi malam, hm?” bisik Damian serak di telinga Kimberly.
Tenggorokan Kimberly tercekat. Wanita itu seperti merasakan ada batu di tengah tenggorokannya. Perkataan Damian sukses membuat otak Kimberly berhenti berpikir. Deru napas Kimberly mulai memburu. Tangannya berkeringat dingin karena ketakutan.
“K-kejadian apa? A-aku tidak mengerti maksudmu, Paman.” Kimberly menjawab dengan susah payah.
Damian tersenyum penuh arti. Lantas pria itu membawa tangannya membelai pipi Kimberly seraya berbisik serak, “Bisa-bisanya setelah kau puas, pagi harinya kau malah melarikan diri. Setidaknya kau harus menyapa pria yang telah menghabiskan malam denganmu, Kim.”
Tubuh Kimberly membeku. Napasnya kian memburu. Perkataan Damian sukses membuat darahnya seperti berhenti mengalir. Beberapa detik, ingatan Kimberly mulai terkumpul. Mata itu, suara itu, dan aroma parfume itu. Tiga hal yang tak luput dari ingatan Kimberly. Sungguh, seluruh organ dalam tubuh Kimberly melemah. Dalam hati, wanita itu berusaha menepis semua yang muncul dalam otaknya. Namun, sayangnya perkataan Damian seolah membeberkan fakta yang ada.
“K-kau … k-kau—”
“Yes, tadi malam kita telah menghabiskan malam bersama. Kau memberikanku fantasi baru, Kimberly. Sayangnya pagi hari kau sudah melarikan diri. Padahal aku masih ingin lebih lama bersenang-senang denganmu, Kim.” Damian berbisik tepat di depan bibir Kimberly.
Kimberly menggelengkan kepalanya. Tidak. Ini tidak mungkin! Hati Kimberly selalu berontak. Akan tetapi semua sudah jelas. Pria asing yang menghabiskan malam dengannya adalah Damian Darrel, paman tiri suaminya sendiri. Demi Tuhan! Kimberly merasa ingin jantungnya berhenti berdetak. Bisa-bisanya dia tidur dengan paman tiri suaminya. Sungguh, Kimberly merasa sudah gila. Tadi malam alkohol begitu menguasai dirinya, hingga membuatnya sampai tak mengenali seseorang.
“T-tadi malam aku mabuk. Aku tidak mengingat apa pun. Tolong lupakan semuanya. Tidak perlu diingat-ingat lagi. Apa yang terjadi tadi malam merupakan bentuk ketidaksengajaan. Jadi tidak usah dibahas. Sekarang tolong menyingkir dariku. Suamiku sudah menungguku di depan.” Kimberly menjawab ucapan Damian dengan berani, sambil mengatur napasnya susah payah.
Pria itu menarik dagu Kimberly, menatap manik mata hazel wanita itu dengan lekat. “Kenapa aku harus melupakan, hm? Kau memberikan fantasi yang luar biasa. Sangat disayangkan aku harus melupakan kejadian tadi malam. Tubuhmu indah, Kim. Aku menyukai tubuhmu,” bisiknya vulgar di telinga Kimberly.
“Jaga ucapamu! Aku sudah memiliki suami!” seru Kimberly mulai emosi.
Damian terkekeh rendah seolah mengejek ucapan Kimberly. “Tadi malam kau jelas mengatakan suamimu tidak peduli padamu. Kenapa kau harus berpura-pura di hadapan semua orang, Kim?”
“A-aku mabuk! Ucapan orang mabuk tidak usah didengarkan! Aku mencintai suamiku!” sembur Kimberly menyanggah semua perkataan Damian.
Damian tersenyum misterius. Pria itu kian menarik dagu Kimberly, mendekatkan bibir wanita itu pada bibirnya. “Apa suamimu mencintaimu juga, hm? Jika iya, kenapa suamimu belum menyentuhmu, Kim? Baru kali ini aku menemukan ada seorang istri yang masih perawan.”
“Kimberly? Kenapa kau lama sekali di toilet?” Suara Fargo sedikit memprotes kala Kimberly baru saja masuk ke dalam ruang makan.“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa Kimberly katakan. Wanita itu kembali duduk di samping Fargo. Raut wajahnya terlihat jelas mati-matian menutupi hati dan pikirannya yang begitu berkecamuk.Tak lama setelah Kimberly kembali ke ruang makan, Damian melangkahkan kakinya tegas memasuki ruang makan. Aura wajah pria tampan itu dingin, dan sangat misterius.“Damian kau dari mana?” tanya Daston penuh interogasi pada putranya itu.“Aku baru saja berbicara dengan seseorang yang penting,” jawab Damian datar seraya melihat Kimberly yang tampak pucat. “Orang penting? Siapa? Apa kau sedang dekat dengan seorang wanita?” sambung Fidelya yang penasaran.“Bisa dikatakan seperti itu,” jawab Damian lagi dengan senyuman di wajahnya.“Wah, aku tidak sabar mengetahui wanita yang sedang dekat denganmu, Damian,” seru Fidelya antusias dan tersirat tak sabar.Raut wajah Kimberly semakin
Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya An
“Kimberly? Apa kabar, Sayang?”Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menyapa hangat Kimberly yang masuk ke dalam rumah. Maisie Davies—ibu tiri Kimberly yang terkenal ramah itu selalu bersikap baik pada Kimberly. Sayangnya, Kimberly tak pernah ramah pada Maisie. Seperti saat ini, Kimberly memasang wajah dingin kala Maisie menyapanya.“Aku baik. Di mana ayahku? Apa dia masih di kantor?” Kimberly menjawab pertanyaan Maisie dengan nada yang dingin tapi tetap sopan pada ibu tirinya.Senyuman di wajah Maisie terlukis. “Iya, Kimberly. Ayahmu masih di kantor. Tadi ayahmu bilang dia akan pulang terlambat. Belakangan ini ayahmu sibuk dengan project di perusahaannya yang terbaru.”Kimberly mendesah pelan mendengar ucapan Maisie. Sudah tak heran dia mendapatkan jawaban seperti itu, karena dia tahu ayahnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi kesibukan ayahnya berbeda dengan Fargo. Bisa dikatakan ayahnya itu mencintai ibu tirinya. Setiap kali sibuk, ayahnya pasti akan membe
Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar. “Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan s
“Nyonya Kimberly, apa Anda tadi malam kurang tidur? Lingkar mata Anda sedikit gelap, Nyonya.” Sebuah kalimat lolos di bibir Brisa, asisten pribadi Kimberly kala Kimberly baru saja menyudahi rapat. Pagi-pagi Kimberly sudah berada di kantor karena memiliki meeting penting.“Benarkah? Apa penampilanku sangat kacau hari ini?” Kimberly mengambil ponselnya, menyalakan kamera, menatap ke kamera depan ponselnya. Benar saja. Lingkar matanya sedikit gelap. Astaga! Ini penampilannya yang paling kacau.“Hanya sedikit, Nyonya. Anda masih terlihat sangat cantik,” puji Brisa hangat.Kimberly mendengkus tak suka. “Kau itu tidak usah membuatku senang. Aku tahu penampilanku kacau. Lebih baik kau selesaikan saja pekerjaanmu. Jangan ganggu aku.”“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Brisa menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kimberly.Kimberly hendak menuju ruang kerjanya, tiba-tiba langkah Kimberly terhenti melihat sekretarisnya melangkah dengan terburu-buru…“Nyonya Kimberly,” sapa
Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg
Kimberly melempar heels-nya ke lantai kamar sembarangan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tampak raut wajah Kimberly begitu kesal dan memendung amarah. Wanita itu menyugar rambutnya kasar. Amarah dalam dirinya menelusup hingga sulit dikendalikan.Kilat mata hazel Kimberly memerah menunjukkan wanita itu sangat emosi. Dia terkenal dengan sosok wanita cantik yang selalu berpenampilan memesona. Namun, untuk kali ini penampilannya seakan begitu kacau akibat amarah yang tertahan dan telah mengumpul dalam diri.“Sialan!” Kimberly mengumpat seraya membanting pelan punggungnya ke sandaran sofa. Benak Kimberly memikirkan tentang pertemuannya dengan Damian tadi. Demi Tuhan! Kesialan macam apa ini? Tujuan Kimberly pergi ke klub malam karena ingin menghilangkan kepenatan dalam otaknya. Namun, kenapa dia malah semakin terjerumus seperti ini?Kimberly memejamkan matanya. Memikirkan cara agar kerja sama ayahnya dan Damian batal. Dia tahu pria berengsek itu pasti akan mencari kesempatan dalam kesemp
Kimberly menyemburkan susu almond yang dia tenggak kala mendengar pertanyaan Damian. Refleks, Fargo memberikan tisu untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima tisu dari Fargo dan segera membersihkan bibirnya.Kimberly atau Fargo sama-sama tampak kompak memasang wajah pucat. Fargo cukup cerdas menutupi wajah paniknya. Lain halnya dengan Kimberly yang tak pandai menutupi wajah panik. Namun sebisa mungkin Kimberly tenang.“Hati-hati, Kim. Jika kau sedang minum, tidak baik memikirkan sesuatu. Kau lihat sendiri, kan? Sekarang kau tersedak,” ucap Damian dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya.Kimberly tersenyum canggung. “Maaf, Paman. Otakku terlalu memikirkan pekerjaanku yang sering tertunda.” Dalam hati Kimberly tak henti-hentinya memberikan umpatan untuk Damian. Sungguh, andai saja Fargo tak ada di ruang makan ini, sudah pasti Kimberly akan melempar gelas di tangannya pada Damian.Damian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memercayai ucapan Kimberly.“Ehm.” Fargo berdeham sebentar. Ra
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s