Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg
Kimberly melempar heels-nya ke lantai kamar sembarangan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tampak raut wajah Kimberly begitu kesal dan memendung amarah. Wanita itu menyugar rambutnya kasar. Amarah dalam dirinya menelusup hingga sulit dikendalikan.Kilat mata hazel Kimberly memerah menunjukkan wanita itu sangat emosi. Dia terkenal dengan sosok wanita cantik yang selalu berpenampilan memesona. Namun, untuk kali ini penampilannya seakan begitu kacau akibat amarah yang tertahan dan telah mengumpul dalam diri.“Sialan!” Kimberly mengumpat seraya membanting pelan punggungnya ke sandaran sofa. Benak Kimberly memikirkan tentang pertemuannya dengan Damian tadi. Demi Tuhan! Kesialan macam apa ini? Tujuan Kimberly pergi ke klub malam karena ingin menghilangkan kepenatan dalam otaknya. Namun, kenapa dia malah semakin terjerumus seperti ini?Kimberly memejamkan matanya. Memikirkan cara agar kerja sama ayahnya dan Damian batal. Dia tahu pria berengsek itu pasti akan mencari kesempatan dalam kesemp
Kimberly menyemburkan susu almond yang dia tenggak kala mendengar pertanyaan Damian. Refleks, Fargo memberikan tisu untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima tisu dari Fargo dan segera membersihkan bibirnya.Kimberly atau Fargo sama-sama tampak kompak memasang wajah pucat. Fargo cukup cerdas menutupi wajah paniknya. Lain halnya dengan Kimberly yang tak pandai menutupi wajah panik. Namun sebisa mungkin Kimberly tenang.“Hati-hati, Kim. Jika kau sedang minum, tidak baik memikirkan sesuatu. Kau lihat sendiri, kan? Sekarang kau tersedak,” ucap Damian dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya.Kimberly tersenyum canggung. “Maaf, Paman. Otakku terlalu memikirkan pekerjaanku yang sering tertunda.” Dalam hati Kimberly tak henti-hentinya memberikan umpatan untuk Damian. Sungguh, andai saja Fargo tak ada di ruang makan ini, sudah pasti Kimberly akan melempar gelas di tangannya pada Damian.Damian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memercayai ucapan Kimberly.“Ehm.” Fargo berdeham sebentar. Ra
“Pria sialan! Kenapa tidak mati saja!” Kimberly menghentakkan kakinya masuk ke dalam ruang kerjanya. Sejak tadi sepanjang jalan menuju ruang kerjanya—yang dilakukan Kimberly hanya mengumpati Damian. Bahkan semua sapaan para karyawan tak ada yang dia gubris. Bukan bermaksud angkuh, tapi otaknya sedang dalam pikiran yang kacau akibat pria berengsek yang selalu mengganggu hidupnya.“Apa yang membuatmu datang ke ruang kerjamu dan langsung mengumpat seperti ini? Pria sialan mana yang kau maksud?” Carol sudah lama menunggu Kimberly di ruang kerja teman baiknya itu. Namun, kala Carol membaca majalah, wanita itu dikejutkan dengan Kimberly yang masuk ke dalam ruang kerja dalam keadaan mengumpat.Langkah kaki Kimberly terhenti mendengar suara Carol. Tampak Kimberly mengembuskan napas kasar melihat ternyata di ruang kerjanya ada temannya. Emosi dalam dirinya tak bisa terkendali sampai dia tadi mengabaikan asistennya yang bicara padanya. Dia yakin pasti asistennya tadi sudah memberi tahu ada Caro
“Jennisa? Damian?”Kimberly bergumam pelan menyebut nama dua orang itu. Matanya melebar panik kala Jennisa dan Damian mendekat padanya. Shit! Kimberly mengumpat merutuki kebodohannya. Sungguh, dia tak menyangka bertemu dua orang yang tak dia inginkan untuk bertemu. Ditambah dirinya tak sengaja menimpuk kepala Jennisa dengan heels-nya. Kesialan macam apa ini? Demi Tuhan! Sepertinya takdir sedang mengajak Kimberly bercanda.“Kim? Apa ini sepatumu?” Jennisa menunjukkan sepatu heels berwarna merah menyala dan sangat seksi itu ke hadapan wajah Kimberly.Damian yang ada di samping Jennisa menurunkan pandangannya melihat kaki kanan Kimberly yang tak memakai heels. Senyuman samar di wajah Damian terlukis. Tindakan konyol Kimberly membuat Damian menggeleng-gelengkan kepalanya.“Ah, itu—” Kimberly memutar otaknya mencari alasan yang paling tepat. Tak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya.“Kim!” Carol berlari menyusul Kimberly. Napas wanita itu terengah-engah akibat mengejar Kimberly. Pun tadi
“Sayang, kalung ini indah sekali. Kau memang yang terbaik. Kau selalu membelikan apa pun yang aku inginkan.” Gilda menatap cermin seraya menyentuh kalung berlian yang baru saja dibelikan oleh Fargo.Raut wajah Gilda semeringah bahagia. Mata wanita itu memancarkan sebuah kebahagian yang tak terhingga. Kalung berlian keluaran terbaru Fargo belikan untuknya. Padahal hari ini bukanlah ulang tahunnya ataupun anniversary mereka. Selama ini memang Fargo selalu memberikan hadiah secara tiba-tiba seperti saat ini. “Kau suka?” Fargo mengecup bahu Gilda, dan memeluk sang kekasih dari belakang begitu mesra.“Sangat suka, Sayang. Kalung ini indah sekali,” ucap Gilda dengan senyuman di wajahnya.“Aku senang jika kau menyukai kalung ini. Aku memesan khusus untukmu.” Fargo mencium pipi Gilda begitu lembut. “Ya sudah, aku harus pulang sekarang. Belakangan ini, Kimberly sangat rewel.”Gilda berdecak kesal. “Aku masih ingin bersamamu, Sayang.”Fargo menangkup kedua pipi Gilda lembut. “Aku mohon mengert
“What? Jadi besok kau dan paman tiri suamimu akan ke Chicago? Berdua saja? Maksudku tidak ada asisten kalian yang menemani?” Carol tampak terkejut kala Kimberly mengatakan akan pergi ke Chicago berdua dengan Damian.Kimberly menghela napas kasar. “Aku ke Chicago bersama dengan paman tiri suamiku, karena perusahaan ayahku bekerja sama dengan perusahaan Paman Damian. Aku tidak tahu Paman Damian akan membawa asisten atau tidak. Aku sendiri tidak membawa assitenku, karena Brisa mengurus perusahaanku di sini. Kau juga tidak apa-apa, kan aku tinggal sebentar? Aku hanya sekitar empat atau lima hari di Chicago. Tidak akan lama. Jika kau kewalahan mengurus perusahaan baru kita, kau bisa meminta bantuan Brisa. Nanti pasti Brisa akan membantumu.”Carol mengambil cangkir teh yang ada di atas meja, dan disesapnya perlahan. “Aku bisa menangani perusahaan baru kita. Kau tidak usah khawatir, Kim. Tapi yang aku bingung sejak kapan perusahaan ayahmu bekerja sama dengan perusahaan paman tiri suamimu it
Chicago, Illinois, USA. Pesawat yang membawa Damian dan Kimberly mendarat di Bandar Udara Internasional O’Hare, Chicago, Illionis, USA. Setelah menempuh perjalanan empat jam akhirnya mereka mendarat di bandara Chicago. Terlihat Damian tenang duduk di kursi penumpang dan masih tetap memakai seat belt kala pesawat baru saja mendarat. Pria itu segera mengambil ponselnya, dan menyalakan signal ponselnya dikala dia sudah yakin pesawat sudah aman.“Tuan Darrel,” sapa sang pramugari sopan.“Kimberly masih ada di dalam kamar?” tanya Damian dingin dan datar.Sekitar dua jam lalu, Kimberly memilih membaringkan tubuh di kamar yang ada di pesawat, karena wanita itu tak sanggup menahan kantuk. Padahal jarak Los Angeles ke Chicago tidaklah jauh.“Masih, Tuan. Nyonya Kimberly sepertinya kelelahan. Saya tidak berani membangunkan beliau,” jawab sang pramugari sopan.Damian mengangguk singkat. “Biar aku yang membangunkannya.”“Baik, Tuan.” Pramugari itu menundukkan kepalanya, kala Damian melangkahkan