Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar.
“Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.
“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.
“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.
Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan sentuhan Damian itu.
“L-lepaskan aku, Damian. Aku ini istri keponakanmu!” Kimberly berucap dengan susah payah.
Damian tersenyum misterius. Pria itu menjauhkan wajahnya menatap lekat manik mata hazel Kimberly. “Well, hubunganmu dan suamimu juga sudah renggang, kan? Kenapa sekarang aku harus mempermasalahkan status? Lagi pula, sampai detik ini pun suamimu belum pernah menyentuhmu. Ingat, Kim. Malam itu kau sendiri yang mengantarkan dirimu padaku. Jadi jangan salahkan aku tidak bisa melepaskanmu.”
“Aku mabuk, Berengsek! Jika aku tidak mabuk mana mungkin aku tidur dengan Paman dari suamiku sendiri! Otakku masih cukup waras! Aku bukan sepertimu yang mencari kesempatan di saat orang itu mabuk!” sembur Kimberly emosi. Napasnya memburu. Amarahnya nyaris meledak.
Damian tampak begitu menikmati amarah Kimberly yang sangat seksi di matanya itu. “Aku tidak pernah mencari kesempatan. Malam itu kau sendiri yang mengajakku menghabiskan malam bersama. Sebagai pria normal tidak mungkin kan aku menolak, hm?”
“Bajingan kau, Damian!” maki Kimberly dengan emosi yang tak lagi bisa tertahan.
Suara gedoran pintu toilet sontak membuat Kimberly mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Refleks, Damian melepaskan wanita yang berada di kungkungannya itu.
“Kimberly? Apa kau di dalam?” seru Carol dari luar toilet dengan nada cukup kencang.
Wajah Kimberly memucat kala Carol memanggilnya. Shit! Ini pasti karena dirinya terlalu lama di toilet sampai-sampai membuat temannya itu menyusulnya. Tidak! Kimberly tidak akan membiarkan Carol sampai tahu skandal sialan ini.
“Minggir!” Kimberly mendorong tubuh Damian yang menghalangi langkahnya, dia langsung buru-buru keluar dari toilet.
“Kim? Kau lama sekali. Pintu kenapa dikunci? Aku pikir kau ketiduran di toilet,” kata Carol dengan embusan napas kesal melihat Kimberly keluar dari toilet.
“Aku sakit perut,” dusta Kimberly.
“Sakit perut? Kau makan apa sampai sakit perut?”
“Aku tidak mengerti. Tiba-tiba perutku sakit sekali. Aku pulang duluan. Aku ingin segera beristirahat.”
“Jika aku sendiri di sini, aku pulang dengan siapa? Tadi sopirku sudah aku minta pulang duluan. Aku kasihan jika aku minta sopirku kembali lagi. Ya sudah, kita pulang bersama saja. Kebetulan malam ini ada yang ingin aku kerjakan, tapi sebelum pulang kita harus pamit dulu pada Jennisa, ya? Tidak enak kalau tidak pamit dengan Jennisa.”
Kimberly mengangguk menyetujui ucapan Carol.
***
“Kimberly? Carol? Kalian dari mana?” Jennisa bertanya kala melihat Kimberly dan Carol masuk ke dalam ballroom hotel.
“Aku dan Kimberly dari toilet. Jennisa, sorry, sepertinya kami harus pulang lebih dulu. Ada urusan yang harus kami kerjakan. Maaf kami tidak bisa berlama-lama di pesta ulang tahunmu. Sekali lagi selamat ulang tahun, Jennisa. Wish you all the best,” ucap Carol mewakili dengan senyuman anggun dan ramah di wajahnya pada Jennisa.
Kimberly yang ada di samping Carol lebih banyak diam, seperti enggan bicara.
“Sayang sekali kalian harus buru-buru, tapi tidak apa-apa, aku mengerti. Next time kita bisa bertemu lagi,” balas Jennisa hangat dan lembut.
Kimberly tersenyum bersamaan dengan Carol yang juga tersenyum merespon ucapan Jennisa. Detik selanjutnya, mereka segera melangkah meninggalkan Jennisa. Namun, di kala Kimberly dan Carol baru saja hendak meninggalkan ballroom hotel—langkah mereka sama-sama terhenti ketika berpapasan dengan Damian yang baru saja masuk ke dalam ballroom.
“Hi, Damian,” sapa Carol seraya melukiskan senyuman pada Damian.
“Hi,” jawab Damian datar pada Carol.
Napas Kimberly seakan begitu berat setiap kali berhadapan dengan Damian. Terlebih ingatan Kimberly mengingat kejadian saat di toilet. Kata-kata vulgar Damian selalu terngiang di benaknya. Shit! Betapa bodoh dirinya tadi merespon sentuhan Damian. Beruntung tadi Carol menghapirinya ke toilet. Jika tidak, entah apa yang terjadi pada dirinya.
“Kau ingin pulang, Kim?” tanya Damian dengan suara berat khasnya pada Kimberly.
“Iya, Paman. Suamiku sudah menungguku di rumah. Aku harus segera pulang,” jawab Kimberly dengan suara tenang dan sorot mata yang tersirat begitu dingin.
Damian tersenyum penuh arti. “Alright, take care. Senang bisa melihatmu di pesta ini, Kim.”
“Aku permisi. Selamat menikmati pesta ini, Paman.” Kimberly menjawab dengan nada penuh penekanan terutama pada kata ‘Paman’, kemudian dia mengajak Carol untuk meninggalkan tempat itu.
Saat Kimberly dan Carol sudah pergi, tatapan Damian tak lepas menatap punggung Kimberly. Cara jalan Kimberly yang anggun. Tubuhnya indah. Lekuknya memukau serta bokongnya yang pandat dan menantang membuat imajinasi Damian mengingat tubuh polos Kimberly. Seringai di bibir Damian terlukis. Fantasi itu tak akan mungkin terlupakan.
“Damian? Kau dari mana?” tegur Jennisa yang kini menghampiri Damian.
“Tadi aku bertemu dengan temanku,” jawab Damian datar.
Jennisa menghela napas dalam. “Baiklah. Oh, ya. keponakanmu dan temannya sudah pulang.”
“Ya, I know. Tadi aku bertemu dengannya.”
“By the way, apa kau sering bertemu dengan Kimberly?”
Damian terdiam bebrapa saat mendengar pertanyaan Jennisa. Pria itu mengambil champagne yang diantarkan oleh pelayan. Menyesapnya perlahan dan berkata santai seraya mengulas senyuman misterius di wajahnya, “Aku jarang bertemu dengannya, tapi beberapa hari terakhir ini aku sering bertemu dengannya.”
***
Mobil sport yang dilajukan Kimberly melaju dengan kecepatan penuh membelah kota Los Angeles. Terlihat Carol sedikit terkejut bercampur takut kala Kimberly melajukan mobil seperti orang yang tak tahu aturan.
“Kim, jika kau bunuh diri lebih baik kau sendiri saja. Aku belum mau mati, Kim. Kau tahu aku belum menikah,” seru Carol memprotes.
“Diamlah, Carol. Kau pikir aku ingin bunuh diri?” balas Kimberly datar.
Carol mendecakkan lidahnya. “Kau ini kenapa? Tadi di pesta kau tidak marah-marah seperti ini. Kau mengajakku pulang karena kau sakit perut, tapi kenapa sekarang kau seperti sedang kesal pada seseorang? Apa di pesta ulang tahun Jennisa ada yang membuatmu kesal?”
“Aku hanya kelelahan saja,” jawab Kimberly singkat.
Carol mengembuskan napas panjang. Wanita itu memilih tak menjawab ucapan Kimberly. Hingga ketika mobil yang dilajukan Kimberly memasuki gedung apartemen di mana unit miliknya berada, dia segera turun dari mobil.
“Thanks. Take care, Kim,” ucap Carol pada Kimberly—dan direspon anggukkan singkat.
***
“Selamat malam, Nyonya Kimberly,” sapa sang pelayan dengan sopan pada Kimberly yang baru saja memasuki mansion.
“Malam. Tolong jangan ganggu aku. Aku ingin di kamar. Jika ada yang menghubungiku, minta mereka menghubungiku besok,” ucap Kimberly dingin dengan raut wajah menahan kesal.
“Hm, Nyonya. Tunggu. Ada yang—”
“Apa lagi? Kau tidak tahu aku ini lelah?” seru Kimberly dengan tatapan dingin dan kesal pada sang pelayan di hadapannya itu.
“T-tadi Tuan Fargo menelepon, Nyonya. Beliau mengatakan tidak pulang malam ini. Ada pekerjaan yang beliau harus kerjakan,” ucap sang pelayan dengan gugup.
Kimberly mengembuskan napas kasar seraya mengumpat dalam hati. Sungguh, dia tak mengerti kesibukan apa yang dimiliki oleh Fargo sampai-sampai tidak pulang ke rumah.
“Ya sudah, biarkan saja. Nanti Fargo juga akan pulang. Tolong jangan ganggu aku. Aku ingin istirahat.” Kimberly memilih untuk melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar. Wanita itu tak ingin membahas tentang Fargo. Bukankah ditinggal seperti ini sudah biasa? Rasanya marah pun percuma. Kepala Kimberly sudah pusing memikirkan banyaknya kerumitan di hidupnya.
***
Di sebuah kamar hotel yang megah, dua insan tengah terbaring di ranjang saling berpelukan. Tubuh keduanya polos tanpa sehelai benang pun. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh keduanya. Tampak kedua insan itu sedikit kelelahan akibat pergulatan panas mereka yang sudah tak lagi bisa terhitung berapa kali.
“Fargo, tadi pagi Kimberly datang menemuiku,” ucap Gilda seraya mendongakkan kepalanya dari dalam pelukan Fargo.
“Kimberly datang menemuimu?” Kening Fargo mengerut, tatapannya menatap lekat Gilda. Pria itu sedikit terkejut kala Gilda mengatakan Kimberly menemuinya.
Gilda menganggukkan kepalanya. Wanita itu memasang wajah kesal mengingat kejadian tadi pagi. “Iya, Kimberly menemuiku. Istrimu yang menyebalkan itu mulai mencurigai kita. Kapan kau menceraikannya, Fargo? Aku sudah muak dengan sifat angkuhnya. Dia selalu saja sombong.”
Fargo berdecak seraya memejamkan mata singkat merutuki Kimberly yang selalu saja mencari-cari masalah. “Aku belum bisa menceraikannya, Gilda. Lebih baik kau tidak usah pikirkan Kimberly. Dia curiga karena dia melihatmu menghubungiku. Aku yakin nanti kecurigaannya akan menghilang.”
“Kenapa kau belum bisa menceraikannya, Fargo? Bukannya kau juga sudah mampu mendirikan perusahaan sendiri tanpa bantuan keluargamu? Kau menikah dengan Kimberly karena perjodohan. Kau tidak pernah mencintainya,” seru Gilda kesal.
“Tidak semudah itu, Gilda. Perusahaan ayahku sempat mengalami kerugian karenaku. Aku baru-baru ini merintis perusahaan baruku. Kimberly juga turut berinvestasi di perusahaan baruku. Paling tidak tunggu sampai berapa bulan lagi baru aku bisa menceraikan Kimberly. Sekarang aku masih belum bisa menceraikannya,” jawab Fargo berusaha menjelaskan pada Gilda.
Raut wajah Gilda semakin kesal kala mendengar ucapan Fargo. Ya, Gilda dan Fargo telah menjalin hubungan jauh sebelum Fargo dan Kimberly menikah. Hanya saja, Fargo telah dijodohkan oleh Kimberly. Alasan Fargo dijodohkan oleh Kimberly karena kedua orang tua Fargo dan Kimberly sudah berteman baik cukup lama. Pun selama ini perusahaan ayah Fargo cukup sering bekerja sama dengan perusahaan ayah Kimberly.
“Hey, kau marah?” Fargo menarik dagu Gilda, mencium dan melumat bibir wanita itu.
“Menjauhlah, Fargo! Lebih baik kau tinggalkan aku saja dan pergi dengan istrimu yang sombong itu!” Gilda hendak mendorong dada Fargo, tapi buru-buru Fargo memeluk erat Gilda.
“Aku tidak pernah mencintai Kimberly. Kau tetap yang terbaik di mataku,” ucap Fargo seraya mengusap punggung Gilda sambil memeluk erat. “Aku mohon mengertilah posisiku. Aku tidak bisa langsung menceraikan Kimberly. Pernikahanku dan Kimberly masih sangat baru.”
Gilda mengembuskan napas panjang dari dalam pelukan Fargo. “Aku tidak mau kau terlalu lama dimiliki wanita angkuh itu. Aku muak dengannya. Setiap kali bertemu dengannya, aku ingin sekali mencakar dan menarik rambutnya karena telah merebutmu dariku.”
Fargo menangkup kedua pipi Gilda, melumat kembali bibir wanita itu sambil berbisik serak, “Aku dan Kimberly hanya status saja. Aku tidak pernah dimiliknya, Gilda. Aku hanya milikmu. Percayalah, aku pasti akan segera bercerai dengan Kimberly.”
Hati Gilda mulai luluh mendengar ucapan Fargo. Senyuman di wajah Gilda terlukis. Wanita itu segera mengalungkan tangannya ke leher Fargo—dan membalas ciuman Fargo lebih dalam. Api gairah membakar keduanya. Detik selanjutnya, Fargo menindih tubuh Gilda. Kedua insan itu berciuman dengan begitu panas dan liar. Lagi, mereka kembali melakukan pergulatan panas yang selalu mereka lakukan.
“Nyonya Kimberly, apa Anda tadi malam kurang tidur? Lingkar mata Anda sedikit gelap, Nyonya.” Sebuah kalimat lolos di bibir Brisa, asisten pribadi Kimberly kala Kimberly baru saja menyudahi rapat. Pagi-pagi Kimberly sudah berada di kantor karena memiliki meeting penting.“Benarkah? Apa penampilanku sangat kacau hari ini?” Kimberly mengambil ponselnya, menyalakan kamera, menatap ke kamera depan ponselnya. Benar saja. Lingkar matanya sedikit gelap. Astaga! Ini penampilannya yang paling kacau.“Hanya sedikit, Nyonya. Anda masih terlihat sangat cantik,” puji Brisa hangat.Kimberly mendengkus tak suka. “Kau itu tidak usah membuatku senang. Aku tahu penampilanku kacau. Lebih baik kau selesaikan saja pekerjaanmu. Jangan ganggu aku.”“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Brisa menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kimberly.Kimberly hendak menuju ruang kerjanya, tiba-tiba langkah Kimberly terhenti melihat sekretarisnya melangkah dengan terburu-buru…“Nyonya Kimberly,” sapa
Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg
Kimberly melempar heels-nya ke lantai kamar sembarangan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tampak raut wajah Kimberly begitu kesal dan memendung amarah. Wanita itu menyugar rambutnya kasar. Amarah dalam dirinya menelusup hingga sulit dikendalikan.Kilat mata hazel Kimberly memerah menunjukkan wanita itu sangat emosi. Dia terkenal dengan sosok wanita cantik yang selalu berpenampilan memesona. Namun, untuk kali ini penampilannya seakan begitu kacau akibat amarah yang tertahan dan telah mengumpul dalam diri.“Sialan!” Kimberly mengumpat seraya membanting pelan punggungnya ke sandaran sofa. Benak Kimberly memikirkan tentang pertemuannya dengan Damian tadi. Demi Tuhan! Kesialan macam apa ini? Tujuan Kimberly pergi ke klub malam karena ingin menghilangkan kepenatan dalam otaknya. Namun, kenapa dia malah semakin terjerumus seperti ini?Kimberly memejamkan matanya. Memikirkan cara agar kerja sama ayahnya dan Damian batal. Dia tahu pria berengsek itu pasti akan mencari kesempatan dalam kesemp
Kimberly menyemburkan susu almond yang dia tenggak kala mendengar pertanyaan Damian. Refleks, Fargo memberikan tisu untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima tisu dari Fargo dan segera membersihkan bibirnya.Kimberly atau Fargo sama-sama tampak kompak memasang wajah pucat. Fargo cukup cerdas menutupi wajah paniknya. Lain halnya dengan Kimberly yang tak pandai menutupi wajah panik. Namun sebisa mungkin Kimberly tenang.“Hati-hati, Kim. Jika kau sedang minum, tidak baik memikirkan sesuatu. Kau lihat sendiri, kan? Sekarang kau tersedak,” ucap Damian dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya.Kimberly tersenyum canggung. “Maaf, Paman. Otakku terlalu memikirkan pekerjaanku yang sering tertunda.” Dalam hati Kimberly tak henti-hentinya memberikan umpatan untuk Damian. Sungguh, andai saja Fargo tak ada di ruang makan ini, sudah pasti Kimberly akan melempar gelas di tangannya pada Damian.Damian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memercayai ucapan Kimberly.“Ehm.” Fargo berdeham sebentar. Ra
“Pria sialan! Kenapa tidak mati saja!” Kimberly menghentakkan kakinya masuk ke dalam ruang kerjanya. Sejak tadi sepanjang jalan menuju ruang kerjanya—yang dilakukan Kimberly hanya mengumpati Damian. Bahkan semua sapaan para karyawan tak ada yang dia gubris. Bukan bermaksud angkuh, tapi otaknya sedang dalam pikiran yang kacau akibat pria berengsek yang selalu mengganggu hidupnya.“Apa yang membuatmu datang ke ruang kerjamu dan langsung mengumpat seperti ini? Pria sialan mana yang kau maksud?” Carol sudah lama menunggu Kimberly di ruang kerja teman baiknya itu. Namun, kala Carol membaca majalah, wanita itu dikejutkan dengan Kimberly yang masuk ke dalam ruang kerja dalam keadaan mengumpat.Langkah kaki Kimberly terhenti mendengar suara Carol. Tampak Kimberly mengembuskan napas kasar melihat ternyata di ruang kerjanya ada temannya. Emosi dalam dirinya tak bisa terkendali sampai dia tadi mengabaikan asistennya yang bicara padanya. Dia yakin pasti asistennya tadi sudah memberi tahu ada Caro
“Jennisa? Damian?”Kimberly bergumam pelan menyebut nama dua orang itu. Matanya melebar panik kala Jennisa dan Damian mendekat padanya. Shit! Kimberly mengumpat merutuki kebodohannya. Sungguh, dia tak menyangka bertemu dua orang yang tak dia inginkan untuk bertemu. Ditambah dirinya tak sengaja menimpuk kepala Jennisa dengan heels-nya. Kesialan macam apa ini? Demi Tuhan! Sepertinya takdir sedang mengajak Kimberly bercanda.“Kim? Apa ini sepatumu?” Jennisa menunjukkan sepatu heels berwarna merah menyala dan sangat seksi itu ke hadapan wajah Kimberly.Damian yang ada di samping Jennisa menurunkan pandangannya melihat kaki kanan Kimberly yang tak memakai heels. Senyuman samar di wajah Damian terlukis. Tindakan konyol Kimberly membuat Damian menggeleng-gelengkan kepalanya.“Ah, itu—” Kimberly memutar otaknya mencari alasan yang paling tepat. Tak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya.“Kim!” Carol berlari menyusul Kimberly. Napas wanita itu terengah-engah akibat mengejar Kimberly. Pun tadi
“Sayang, kalung ini indah sekali. Kau memang yang terbaik. Kau selalu membelikan apa pun yang aku inginkan.” Gilda menatap cermin seraya menyentuh kalung berlian yang baru saja dibelikan oleh Fargo.Raut wajah Gilda semeringah bahagia. Mata wanita itu memancarkan sebuah kebahagian yang tak terhingga. Kalung berlian keluaran terbaru Fargo belikan untuknya. Padahal hari ini bukanlah ulang tahunnya ataupun anniversary mereka. Selama ini memang Fargo selalu memberikan hadiah secara tiba-tiba seperti saat ini. “Kau suka?” Fargo mengecup bahu Gilda, dan memeluk sang kekasih dari belakang begitu mesra.“Sangat suka, Sayang. Kalung ini indah sekali,” ucap Gilda dengan senyuman di wajahnya.“Aku senang jika kau menyukai kalung ini. Aku memesan khusus untukmu.” Fargo mencium pipi Gilda begitu lembut. “Ya sudah, aku harus pulang sekarang. Belakangan ini, Kimberly sangat rewel.”Gilda berdecak kesal. “Aku masih ingin bersamamu, Sayang.”Fargo menangkup kedua pipi Gilda lembut. “Aku mohon mengert
“What? Jadi besok kau dan paman tiri suamimu akan ke Chicago? Berdua saja? Maksudku tidak ada asisten kalian yang menemani?” Carol tampak terkejut kala Kimberly mengatakan akan pergi ke Chicago berdua dengan Damian.Kimberly menghela napas kasar. “Aku ke Chicago bersama dengan paman tiri suamiku, karena perusahaan ayahku bekerja sama dengan perusahaan Paman Damian. Aku tidak tahu Paman Damian akan membawa asisten atau tidak. Aku sendiri tidak membawa assitenku, karena Brisa mengurus perusahaanku di sini. Kau juga tidak apa-apa, kan aku tinggal sebentar? Aku hanya sekitar empat atau lima hari di Chicago. Tidak akan lama. Jika kau kewalahan mengurus perusahaan baru kita, kau bisa meminta bantuan Brisa. Nanti pasti Brisa akan membantumu.”Carol mengambil cangkir teh yang ada di atas meja, dan disesapnya perlahan. “Aku bisa menangani perusahaan baru kita. Kau tidak usah khawatir, Kim. Tapi yang aku bingung sejak kapan perusahaan ayahmu bekerja sama dengan perusahaan paman tiri suamimu it
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s