Chicago, Illinois, USA. Pesawat yang membawa Damian dan Kimberly mendarat di Bandar Udara Internasional O’Hare, Chicago, Illionis, USA. Setelah menempuh perjalanan empat jam akhirnya mereka mendarat di bandara Chicago. Terlihat Damian tenang duduk di kursi penumpang dan masih tetap memakai seat belt kala pesawat baru saja mendarat. Pria itu segera mengambil ponselnya, dan menyalakan signal ponselnya dikala dia sudah yakin pesawat sudah aman.“Tuan Darrel,” sapa sang pramugari sopan.“Kimberly masih ada di dalam kamar?” tanya Damian dingin dan datar.Sekitar dua jam lalu, Kimberly memilih membaringkan tubuh di kamar yang ada di pesawat, karena wanita itu tak sanggup menahan kantuk. Padahal jarak Los Angeles ke Chicago tidaklah jauh.“Masih, Tuan. Nyonya Kimberly sepertinya kelelahan. Saya tidak berani membangunkan beliau,” jawab sang pramugari sopan.Damian mengangguk singkat. “Biar aku yang membangunkannya.”“Baik, Tuan.” Pramugari itu menundukkan kepalanya, kala Damian melangkahkan
Hampir dua jam lamanya Kimberly berada di kamar mandi. Entah sabun apa yang dipakainya sampai-sampai membuat wanita itu berada di dalam kamar mandi nyaris dua jam lamanya. Well, meski berjam-jam sekalipun, tapi Damian sama sekali tidak marah. Sejak tadi Damian duduk di sofa kamarnya seraya berkutat pada ponsel di tangannya. Pria tampan itu sama sekali tidak mengeluh Kimberly terlalu lama mandi.Suara pintu kamar mandi terbuka secara perlahan. Kimberly melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Tampak long dress berwarna putih model kemben membuatnya sangat cantik. Kulit putihnya selalu cocok memakai warna apa pun. Rambut cokelat terang diiikat messy bun, memperlihatkan leher jenjang dan indahnya. Polesan make up flawless menyempurnakan penampilannya. Biasanya dia menyukai make up bold, tapi kali ini, dia memilih menggunakan make up flawless agar terlihat jauh lebih segar.Langkah kaki Kimberly terhenti sebentar tepat tak jauh dari sofa di mana Damian duduk. Sejak tadi pria itu suda
Asap rokok yang terkena wajah Kimberly membuatnya sedikit terbatuk. Aroma tembakau yang kental bercampur dengan anggur mahal menyeruak ke indra penciumannya. Sejak tadi dia tak henti mengumpati Damian yang membawanya pergi ke salah satu klub malam mewah yang ada di Chicago.Kimberly mengembuskan napas panjang melihat ke sekelilingnya. Hampir sembilan puluh persen di sekelilingnya adalah pasangan yang bermesraan dan saling bercumbu. Bisa dikatakan hanya dia dan Damian yang saling duduk berseberangan. Sungguh, ini benar-benar menyebalkan. Dia malas berada di tengah-tengah lautan manusia yang bermesraan. Membuat dirinya benar-benar tampak bodoh.“Damian, beri tahu aku kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Kimberly dingin dan ketus.“Kenapa kau harus bertanya? Bukankah kau sering pergi ke klub malam?” Damian menjawab pertanyaan Kimberly seraya menyesap wine di gelasnya.Kimberly mendengkus pelan. “Kata siapa aku sering pergi ke klub malam?”Damian mengangkat bahunya. “Aku hanya menduga saj
Cahaya sinar matahari menembus sela-sela jendela. Perlahan dia mengerjap beberapa kali kala silaunya cahaya mengenai wajahnya. Sayup-sayup, matanya mulai terbuka seraya memijat keningnya. Namun, di kala dia hendak bergerak tiba-tiba Kimberly merasakan tangan kokoh melingkar di pinggangnya.Kimberly langsung mengalihkan pandangannya ke samping, dan seketika raut wajahnya berubah melihat Damian terlelap di sampingnya seraya memeluk pinggangnya erat. Napasnya tercekat. Wajahnya memucat. Pancaran matanya menunjukkan jelas kepanikan.Kimberly hendak menyingkirkan tangan Damian, tetapi ingatannya langsung mengingat kejadian tadi malam. Kejadian di mana pria itu membelanya di klub malam. Pun Damian memintanya untuk tidur di kamar pria itu.Kimberly terdiam, menatap dalam wajah tampan Damian yang tertidur pulas. Dia tak menampik wajah Damian bagaikan pahatan Dewa Yunani yang sempurna. Rahang tegas. Hidung mancung menjulang melebihi bibir. Alis tebal. Bulu mata lentik. Kulit cokelat eksotis se
“Damian, kau mengajakku menonton pertandingan baseball?” Raut wajah Kimberly berubah kala dirinya dan Damian tiba di Wrigley Field—stadion baseball di Chicago yang merupakan tempat dari Chicago Clubs.Kimberly tak mengira Damian akan membawanya ke sini. Dalam benaknya Damian akan mengajaknya mungkin bertemu teman pria itu, atau mungkin juga menemani pria itu membeli sesuatu. Namun, ternyata apa yang ada dalam otak Kimberly salah besar. Damian membawanya ke tempat pertandingan baseball.“Jika sudah sampai di sini, aku tidak mungkin mengajakmu menonton bioskop kan?” Alih-alih menjawab, malah Damian membalikkan pertanyaan Kimberly.Bibir Kimberly tertekuk sebal mendengar ucapan Damian. “Aku bertanya memastikan, Damian. Memangnya salah kalau aku bertanya?”“Tidak, kau tidak salah. Lebih baik kita duduk sekarang. Pertandingan baseball akan segera dimulai.” Damian merengkuh bahu Kimberly, merapatkan tubuh Kimberly ke dalam dekapannya.Raut wajah Kimberly berubah kala mendapatkan pelukan dar
*Hari ini kita akan pergi pukul empat sore. Aku sekarang sedang video conference dengan beberapa rekan bisnisku. Jika sudah selesai, nanti aku akan ke kamarmu—Damian. D.* Kimberly mengembuskan napas panjang kala membaca pesan masuk dari Damian. Hari ini bisa dikatakan Damian sangat sibuk. Pria itu masih berada di dalam kamar hotelnya, karena sedang mengerjakan beberapa pekerjaan penting—yang mana Kimberly tak ingin mengganggu pekerjaannya. Hal itu kenapa Kimberly masih berada di dalam kamar hotelnya. Padahal rencananya hari ini Damian mengajaknya untuk pergi. Entah ke mana pria itu mengajaknya, tapi karena sekarang Damian sedang memiliki pekerjaan, jadi mau tak mau Kimberly harus menunggunya.Kimberly mengambil orange juice yang ada di atas meja, meminum perlahan dengan sorot mata yang lurus ke depan. Selama ini dia tak pernah merasa sebahagia ini. Bahkan hanya berada di dekat Damian saja dirinya benar-benar merasakan kebahagiaan dan kenyamanan. Sementara Fargo? Tak perlu lagi dita
Keheningan membentang dari dalam mobil. Baik Kimberly dan Damian masih diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sejak tadi pria tampan itu fokus melajukan mobilnya. Sementara Kimberly memilih melihat ke luar jendela dengan raut wajah yang sedikit panik.Sesekali, Kimberly mencuri-curi melihat Damian yang sedang fokus melajukan mobil. Akan tetapi, itu hanya sebentar saja. Detik berikutnya, wanita itu kembali melihat ke luar jendela. Tak bisa dipungkiri kata-kata Damian tadi terus terngiang dalam benak Kimberly. Bahkan kata-kata itu sukses membuat darahnya seakan berdesir.“Kim,” panggil Damian yang sontak membuat Kimberly sedikit terkejut.“Hm?” Kimberly membuyarkan lamunannya, menatap Damian.“Aku lihat kau sangat membenci saudara tirimu,” ucap Damian memulai percakapan. “Aku tidak membencinya. Aku hanya kurang menyukainya saja,” jawab Kimberly dengan suara dingin dan tenang.“Kurang menyukai dan membenci adalah dua hal yang nyaris sama, Kim.”“Berbeda, Damian. Jangan disamakan.”“Kal
Tubuh Kimberly terdorong masuk ke dalam kamar hotel, dengan bibir yang saling bertautan dengan bibir Damian. Sejak tadi mereka tak menghentikan pagutan itu. Bibir mereka mengulum bergantian. Lidah saling membelit satu sama lain. Erangan halus terus lolos di bibir Kimberly kala Damian memberikan remasan di payudaranya.Tangan Damian mulai mulucuti dress yang dipakai Kimberly—hingga dress wanita itu jatuh ke lantai. Tampak mata Damian menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman. Bra dan celana dalam berenda yang dipakai Kimberly senada berwarna merah terang sukses membuat mata pria tampan itu berkilat penuh gairah.“You’re so hot, Kim,” bisik Damian seraya melepaskan pengait bra Kimberly, dan melemparnya sembarangan ke lantai.Kimberly langsung menutupi payudaranya dengan kedua tangannya, kala Damian menatap payudaranya dengan begitu lapar. Namun, tentu Damian segera menyingkirkan tangan wanita itu. “Jangan ditutupi. Aku ingin melihat payudaramu.” Damian membelai puting payudara Kimberl
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s