Keheningan membentang dari dalam mobil. Baik Kimberly dan Damian masih diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sejak tadi pria tampan itu fokus melajukan mobilnya. Sementara Kimberly memilih melihat ke luar jendela dengan raut wajah yang sedikit panik.Sesekali, Kimberly mencuri-curi melihat Damian yang sedang fokus melajukan mobil. Akan tetapi, itu hanya sebentar saja. Detik berikutnya, wanita itu kembali melihat ke luar jendela. Tak bisa dipungkiri kata-kata Damian tadi terus terngiang dalam benak Kimberly. Bahkan kata-kata itu sukses membuat darahnya seakan berdesir.“Kim,” panggil Damian yang sontak membuat Kimberly sedikit terkejut.“Hm?” Kimberly membuyarkan lamunannya, menatap Damian.“Aku lihat kau sangat membenci saudara tirimu,” ucap Damian memulai percakapan. “Aku tidak membencinya. Aku hanya kurang menyukainya saja,” jawab Kimberly dengan suara dingin dan tenang.“Kurang menyukai dan membenci adalah dua hal yang nyaris sama, Kim.”“Berbeda, Damian. Jangan disamakan.”“Kal
Tubuh Kimberly terdorong masuk ke dalam kamar hotel, dengan bibir yang saling bertautan dengan bibir Damian. Sejak tadi mereka tak menghentikan pagutan itu. Bibir mereka mengulum bergantian. Lidah saling membelit satu sama lain. Erangan halus terus lolos di bibir Kimberly kala Damian memberikan remasan di payudaranya.Tangan Damian mulai mulucuti dress yang dipakai Kimberly—hingga dress wanita itu jatuh ke lantai. Tampak mata Damian menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman. Bra dan celana dalam berenda yang dipakai Kimberly senada berwarna merah terang sukses membuat mata pria tampan itu berkilat penuh gairah.“You’re so hot, Kim,” bisik Damian seraya melepaskan pengait bra Kimberly, dan melemparnya sembarangan ke lantai.Kimberly langsung menutupi payudaranya dengan kedua tangannya, kala Damian menatap payudaranya dengan begitu lapar. Namun, tentu Damian segera menyingkirkan tangan wanita itu. “Jangan ditutupi. Aku ingin melihat payudaramu.” Damian membelai puting payudara Kimberl
Sinar matahari menyelinap masuk menembus jendela, membuat Kimberly mengerjapkan matanya beberapa kali. Perlahan dia membuka kedua matanya seraya merentangkan kedua tangan, dan menggeliat.Saat mata Kimberly sudah terbuka, wanita itu merasakan sedikit nyeri di area kewanitaannya. Dia memijat pelan tengkuk lehernya demi mengurangi rasa pegalnya. Namun, tiba-tiba sesuatu menyelinap dalam ingatan Kimberly di kala kesadaran wanita itu pulih.Kimberly langsung mengingat kejadian malam panasnya dengan Damian. Bahkan tadi malam Damian baru membiarkannya tertidur jam empat pagi. Sudah tak lagi terhitung berapa kali dia melakukan pergulatan panas di ranjang dengan Damian. Kimberly terdiam ketika ingatan tentang tadi malam tergali. Sentuhan pria tampan itu begitu memujanya tubuhnya. Ciuman Damian menjelajah ke sekujur tubuhnya. Dia tak mungkin lupa ketika Damian mencumbunnya.Setiap inci tubuhnya selalu Damian puja. Oh, astaga! Kimberly langsung meremas-remas rambutnya kala otaknya penuh denga
Sebuah gaun berwarna hijau emerald dengan model one off shoulder membuat Kimberly begitu cantik. Rambut cokelat terang tebalnya terjuntai indah di punggung. Kilat mata hazel-nya memancarkan jelas kecantikan wanita itu. Bibir merah seperti buah cherry yang indah itu sangat seksi dipoles lipstick berwarna merah.Senyuman di wajah Kimberly terlukis melihat penampilannya di depan cermin. Penampilan yang dia siapkan untuk Damian. Malam ini dia akan makan malam bersama dengan Damian. Hal itu kenapa Kimberly berpenampilan cantik malam ini.Kimberly menatap jam dinding—waktu menunjukkan hampir pukul enam sore. Namun, Damian tak kunjung datang juga. Dia melangkah menuju sofa yang tak jauh darinya, tetapi langkahnya terhenti kala melihat pintu kenop kamar hotel berputar dan terdorong masuk ke dalam, menandakan akan ada yang masuk ke dalam kamar.“Damian, kau dari mana saja? Kenapa kau bersiap-siap lebih lama dari aku?” Bibir Kimberly tertekuk kala Damian melangkah mendekat padanya.“Tadi ayahku
Sudah lebih dari satu minggu Kimberly dan Damian berada di Chicago. Berawal dari rencana hanya empat atau lima hari di Chicago, tetapi kenyataan tak sesuai dengan rencana yang ada. Kenyataannya mereka seolah enggan untuk kembali ke Los Angeles. Namun, tentu itu sangat tak mungkin. Mereka memiliki tanggung jawab besar di kota yang mereka tempati.Selama satu minggu di Chicago, mereka lebih banyak menghabiskan waktu berjalan-jalan, makan malam romantis, dan lain sebagainya seperti pasangan sedang berbulan madu. Padahal tujuan utama mereka ke Chicago adalah untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan mereka.Project kerja sama antara perusahaan ayah Kimberly dan perusahaan Damian sebentar lagi akan berjalan. Tak dipungkiri, Damian sangat cekatan dalam bekerja. Bahkan hanya satu hari di Chicago saja, nyatanya pria tampan itu mampu menyelesaikan masalah tanpa harus mendapatkan kerumitan. Hal itu yang membuat mereka bersantai di Chicago, karena pekerjaan mereka telah selesai. Hanya tinggal prose
Para pelayan sibuk membawakan barang-barang Kimberly dan Damian menuju mobil. Tak lagi terhitung berapa banyak barang-barang Kimberly. Well, memang terkenal wanita akan selalu banyak berbelanja daripada pria. Damian tak membeli apa pun selama di Chicago. Lain halnya dengan Kimberly yang banyak berbelanja.Saat para pelayan sudah membawa semua koper Kimberly dan koper Damian, tatapan Kimberly teralih pada Damian yang melangkah mendekat padanya. Sejak tadi wanita itu duduk di sofa seraya berkutat pada ponsel di tangannya. Sementara Damian sudah disibukkan dengan panggilan telepon.Selama berada di Chicago, Kimberly tidur dengan Damian di kamar yang sama. Mereka hanya formalitas saja memesan dua kamar. Pada akhirnya mereka tetap tidur di kamar dan di ranjang yang sama.“Damian, kau terlihat sangat sibuk. Apa banyak sekali pekerjaan yang tertunda?” tanya Kimberly kala Damian tiba di hadapannya dengan raut wajah yang jelas menunjukkan kekesalannya.“Asistenku salah mengirimkan dokumen. Jad
Tak ada obrolan apa pun antara Kimberly dan Fargo selama di perjalanan dari bandara menuju mansion mereka. Kimberly seolah enggan untuk memulai percakapan. Fargo fokus mengemudikan mobil, dan Kimberly memilih melihat ke luar jendela, menatap jalaanan di kota Los Angeles.Raut wajah Kimberly dan Fargo dingin dan seakan tak ingin diganggu. Hanya saja sesekali, Fargo masih melirik Kimberly yang tampak berbeda. Pasalnya baru kali ini Fargo melihat Kimberly hanya diam. Biasanya paling tidak ada percakapan yang Kimberly mulai. “Kim,” tegur Fargo yang sontak membuyarkan lamunan Kimberly.“Hm? Iya?” Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap Fargo.“Kau kenapa?” tanya Fargo yang merasa ada perubahan dari Kimberly.“Kenapa apanya?” Kimberly balik bertanya. Keningnya mengerut bingung dan tak mengerti akan pertanyaan yang dilontarkan Fargo.“Kau terlihat berbeda, Kim. Apa ada masalah?” tanya Fargo lagi penasaran.“Ah, tidak. Aku baik-baik saja. Aku hanya kelelahan. Kau kan tahu aku baru saja ke
Pagi menyapa Kimberly sudah berada di kantor. Dia sengaja berangkat lebih awal, dan ternyata dia tidak sendirian. Carol sudah berada di ruang kerjanya. Senyuman di wajah Kimberly terlukis. Dia langsung memberikan oleh-oleh yang dia beli untuk Carol yaitu tas keluaran terbaru.“Thank you, Kim! Kau memang yang terbaik,” seru Carol bahagia mendapatkan oleh-oleh dari Kimberly.“Kau terlihat menyukai tas yang aku beli, aku senang melihatmu senang,” balas Kimberly tulus.“Tentu saja! Kau membelikanku tas keluaran terbaru! Pasti aku sangat senang,” kata Carol antusias.Kimberly menggelengkan kepalanya pelan. “Anyway, bagaimana keadaan perusahaan selama aku tidak ada? Semuanya baik-baik saja, kan?”“Well, semua baik-baik saja. Jennisa juga sudah mulai pemotretan beberapa produk yang sudah siap diedarkan di pasar.”“Good, tapi hasil fotonya bagus, kan? Maksudku produk kita sesuai jika memakai Jennisa sebagai brand ambassador kita?”“Luar biasa bagus. Aku mengakui kalau Jennis sangat cantik. Wa
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s