Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.
“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.
“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.
“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.
Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”
Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya Anda berniat di Los Angeles hanya untuk tiga hari saja? Maksud saya, Anda sendiri yang mengatakan tidak suka berlama-lama di sini.”
Selama ini Damian sangat jarang ke Los Angeles. Terakhir Damian datang ke Los Angeles hanya karena menghadiri pesta pernikahan Fargo—keponakan tirinya. Pun kala itu Damian menghadiri pesta pernikahan tidak lebih dari satu jam. Jika memiliki pekerjaan di Los Angeles; maka Damian pasti akan menyelesaikan pekerjaannya dan segera kembali ke Seattle. Namun, sayangnya kali ini berbeda. Damian bahkan seolah enggan untuk kembali ke Seattle.
“Aku merubah rencanaku, Freddy. Ada sesuatu hal yang membuatku tidak bisa langsung meninggalkan Los Angeles.”
“Maaf, apa boleh saya tahu rencana yang Anda maksud?”
“Nanti kau akan tahu. Sekarang keluarlah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.”
“Baik, Tuan. Saya permisi.” Freddy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Damian.
Saat Freddy sudah pergi, Damian menatap gedung-gedung bertingkat dari balik jendela tinggi ruang kerjanya. Dalam benak pria tampan itu saat ini tengah memikirkan satu nama. Sosok wanita yang berhasil membuat Damian menunda kepulangannya ke Seattle.
Kimberly …
Nama itu tercetus tanpa sadar dalam hati Damian. Tak pernah Damian sangka akan memiliki skandal dengan istri keponakan tirinya sendiri. Lebih tepatnya ini adalah skandal yang manis. Tujuan Damian datang ke klub malam karena menghilangkan kejenuhannya. Hingga kemudian, ada satu wanita duduk di klub malam seorang diri yang berhasil membuat perhatian Damian ke arah wanita itu. Semua mengalir begitu saja bahkan sampai berakhir di ranjang. Well, Damian menyadari betapa berengsek dirinya karena telah meniduri istri keponakan tirinya sendiri.
Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Damian terkejut sekaligus tak menyangka yaitu Fargo belum pernah menyentuh Kimberly. Di usia yang sudah dewasa masih ada seorang wanita yang masih perawan itu adalah hal yang mustahil. Sosok Kimberly seperti menjadi jarum di dalam jerami.
“Permainan yang sangat menarik,” guman Damian dengan seringai di bibirnya.
***
Kimberly mengembuskan napas kasar penuh rasa gelisah. Wanita itu memikirkan pertemuannya dengan Damian di kantor Fargo. Sungguh, dia tak tahu Fargo akan mengundang Damian. Tujuannya mendatangi kantor Fargo karena mengurus proses investasi yang dia lakukan pada perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Namun siapa sangka ternyata Damian juga berinvestasi di perusahaan baru Fargo. Bahkan Damian menjadi investor paling tinggi di perusahaan baru milik suaminya itu.
Darrel Group adalah salah satu perusahaan besar di Amerika. Tak heran jika Damian menjadi salah satu investor terbesar di perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Tepatnya setelah Kimberly tahu Damian adalah pria yang menjadi partner one night stand-nya.
Kimberly tak sengaja menemukan artikel tentang Damian Darrel di internet. Rupanya paman tiri suaminya itu memiliki kekuasaan sangat besar dan berpengaruh di Amerika. Selama ini bisa dikatakan Kimberly tak pernah terlalu mengikuti informasi lengkap tentang para billionaire muda di Amerika. Terlebih Darrel Group belum pernah terlibat kerja sama dengan perusahaan keluarganya. Itu yang membuat Kimberly tak begitu mengetahui secara dalam.
“Kimberly, kau bodoh sekali.” Kimberly memijat pelipisnya guna meredakan rasa sakit di kepalanya.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Dia mendecakan lidahnya sebal kala ada yang mengganggunya dalam keadaan kepalanya yang pusing seperti ini.
“Masuk!” seru Kimberly kesal.
Saat kenop pintu terbuka, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam, mendekat pada Kimbery seraya menyapa dengan sopan, “Selamat malam, Nyonya Kimberly.”
“Kenapa kau menggangguku?” tanya Kimberly menahan rasa kesalnya.
“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda. Saya hanya ingin menanyakan menu makan malam apa yang Anda ingin makan malam ini?” tanya sang pelayan sopan dengan kepala yang masih tertunduk.
Kimberly memejamkan mata singkat. Jika tidak diingatkan pelayan, maka dia tidak akan ingat sejak tadi siang belum makan. Rasa pusing di kepalanya membuatnya tak nafsu makan. Sepertinya kerumitan yang terjadi telah membuatnya kenyang.
“Tolong buatkanku salad sayur dan salmon panggang saja,” jawab Kimberly datar.
“Baik, Nyonya. Hm, Nyonya ada yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap sang pelayan sopan namun tersirat serius.
“Ada apa?” Kimberly menatap pelayan itu lekat.
“Tadi Tuan Fargo menelepon, Nyonya. Beliau mengatakan malam ini akan pulang terlambat,” kata sang pelayan memberi tahu dan langsung membuat raut wajah Kimberly berubah.
“Fargo menelepon ke rumah? Kenapa dia tak menghubungi ponselku?” tanya Kimberly dengan nada kesal. Siang tadi saat Kimberly berada di kantor Fargo, suaminya itu memang meminta Kimberly untuk pulang duluan. Alasannya seperti biasa Fargo mengatakan sibuk dan sibuk. Entah apa yang membuat suaminya itu sibuk sampai lupa segalanya.
“Nyonya, mungkin ponsel Anda tidak aktif, jadi Tuan Fargo menelepon ke rumah,” jawab sang pelayan sopan.
Mendengar jawaban dari pelayan, Kimberly segera mengambil ponselnya yang terletak di atas sofa dan segera melihat ke layar—dan seketika Kimberly mengumpat melihat ponselnya tidak aktif. Dia lupa mengisi daya baterai ponselnya. Terlalu banyak yang menjadi beban pikirannya sampai-sampai hal kecil dan penting dalam hidupnya saja sampai diabaikan.
“Bagaimana, Nyonya? Apa benar ponsel Anda tidak aktif?” tanya sang pelayan hati-hati. Pelayan itu menggaruk kepalanya tak gatal. Ada rasa takut Kimberly mengomel padanya.
“Ya, aku lupa mengisi daya baterai di ponselku. Sekarang kau keluarlah. Tolong siapkan makan malam untukku dan bawakan aku teh hijau. Malam ini aku ingin malam di kamar. Aku sedang malas makan di ruang makan,” jawab Kimberly dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Baik, Nyonya. Saya akan segera siapkan makan malam untuk Anda. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Kimberly.
Kimberly menghempaskan tubuhnya di sofa tepat kala pelayan sudah pergi. Wanita itu menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan matanya sebentar. Sesaat, benak Kimberly memikirkan kejadian di mana Fargo mendapatkan telepon dari Gilda. Bukan berniat mencurigai, tapi Kimberly yakin selama ini Fargo dan saudara tirinya itu tak pernah menjalin komunikasi dekat. Namun kenapa sepertinya mereka sekarang ini dekat sekali?
“Besok aku harus bertemu dengan Gilda. Aku akan bertanya langsung padanya,” gumam Kimberly dengan sorot mata lurus ke depan dan pikiran yang menerawang.
***
Saat pagi menyapa, Kimberly sudah bersiap-siap ingin pergi ke rumah keluarganya. Hari ini tujuan Kimberly adalah menemui saudara tirinya itu. Namun, tentu dia tak akan bilang pada Fargo akan menemui saudara tirinya. Wanita itu hanya mengatakan pergi ke kantor seperti biasa.
“Kimberly …” Fargo melangkah keluar dari walk-in closet, menghampiri Kimberly yang tengah menikmati sarapannya.
“Ada apa?” Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap jengkel Fargo. Tadi malam suaminya itu pulang begitu larut. Entah jam berapa, karena Kimberly sudah tertidur.
“Minggu depan ada rapat para pemegang saham. Kau jangan lupa datang. Ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani lagi. Di pembahasan meeting, aku minta kau cukup menuruti apa yang aku katakan.” Fargo duduk di samping Kimberly—pria itu mengambil cangkir yang berisikan kopi panas dan langsung menyesapnya perlahan.
“Aku tidak perlu datang di meeting itu. Cukup kau saja. Lagi pula aku adalah istrimu, jadi kau bisa mewakiliku di meeting para pemegang saham,” jawab Kimberly datar sambil memakan sandwich di tangannya.
“Kau tidak bisa tidak datang, Kimberly. Perusahan ini masih baru aku dirikan. Paling tidak di awal-awal kau tetap wajib datang,” balas Fargo menekankan dan penuh ketegasan.
“Aku tidak bisa datang, Fargo. Jika kau ingin aku datang, kau wajib untuk mengusir Pa—” Perkataan Kimberly terpotong kala menyadari apa yang akan dia ucapkan. Buru-buru Kimberly meneruskan. “Maksudku, aku malas datang. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.”
“Jangan keras kepala, Kim. Semua sudah diatur. Minggu depan meeting pemegang saham. Luangkan waktumu satu jam saja. Setelah meeting, kau bisa ke kantormu,” jawab Fargo yang menyudahi sarapannya. “Aku harus berangkat sekarang. Pagi ini aku memiliki meeting penting.”
“Fargo, tunggu—” Kimberly menahan lengan Fargo.
“Ada apa lagi, Kimberly?” Fargo mengalihkan pandanganya, menatap Kimberly.
“Hm, apa malam ini kau akan pulang terlambat?”
“Aku tidak tahu. Belakangan ini pekerjaanku terlalu banyak. Kau jangan menungguku. Kau tidur duluan saja.”
“Tapi—”
“Aku harus berangkat sekarang. Aku tidak ingin terlambat di meeting pentingku ini. Kau jelas tahu aku baru saja mendirikan perusahaan baru. Banyak hal yang harus aku urus. Jadi tolong kau mengerti posisiku.”
Fargo menyambar kunci mobilnya, dan melangkah pergi meninggalkan Kimberly yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Kimberly mendecakkan lidahnya jengkel. Namun, dia tak memiliki waktu jika masih dirundung rasa kesal. Detik selanjutnya, ketika Fargo sudah pergi, Kimberly meninggalkan kamar—menuju mobil yang sudah disiapkan.
Sepanjang perjalanan, Kimberly menatap cuaca begitu cerah. Sayangnya tak secerah hatinya. Benak dan hatinya kacau terlalu banyak hal rumit yang dia pikirkan. Dia merasakan dirinya berada di sebuah labirin yang dia tahu dirinya tak bisa untuk kembali.
Saat di lampu merah, Kimberly menghentikan mobilnya tepat di paling depan. Namun tiba-tiba tanpa sengaja tatapan Kimberly teralih pada salah satu toko perhiasan yang tak jauh darinya.
Mata Kimberly menyipit melihat pasangan pria dan wanita tampak mesra keluar dari toko perhiasan tersebut. Kimberly mendekatkan pandangannya, sosok pria tampan berpakaian jas hitam sangat tak asing di matanya. Wajah tampan, aura ketegasan, cara berjalan yang jantan. Semua hal yang miliki pria itu sangat Kimberly hafal.
‘Damian? Bukankah itu Damian? Tapi siapa wanita yang di sampingnya itu?’ batin Kimberly dengan raut wajah yang ingin tahu. Entah kenapa hati Kimberly seakan merasakan sesuatu.
Ya, pria yang baru saja keluar dari toko perhiasan itu adalah Damian Darrrel. Akan tetapi kali ini berbeda, kali ini Kimberly melihat Damian bersama dengan sosok wanita yang tak dia kenali. Jaraknya dan Damian cukup jauh. Itu yang membuat Kimberly tak terlalu jelas melihat wajah wanita yang bersama dengan Damian.
“Kimberly? Apa kabar, Sayang?”Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menyapa hangat Kimberly yang masuk ke dalam rumah. Maisie Davies—ibu tiri Kimberly yang terkenal ramah itu selalu bersikap baik pada Kimberly. Sayangnya, Kimberly tak pernah ramah pada Maisie. Seperti saat ini, Kimberly memasang wajah dingin kala Maisie menyapanya.“Aku baik. Di mana ayahku? Apa dia masih di kantor?” Kimberly menjawab pertanyaan Maisie dengan nada yang dingin tapi tetap sopan pada ibu tirinya.Senyuman di wajah Maisie terlukis. “Iya, Kimberly. Ayahmu masih di kantor. Tadi ayahmu bilang dia akan pulang terlambat. Belakangan ini ayahmu sibuk dengan project di perusahaannya yang terbaru.”Kimberly mendesah pelan mendengar ucapan Maisie. Sudah tak heran dia mendapatkan jawaban seperti itu, karena dia tahu ayahnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi kesibukan ayahnya berbeda dengan Fargo. Bisa dikatakan ayahnya itu mencintai ibu tirinya. Setiap kali sibuk, ayahnya pasti akan membe
Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar. “Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan s
“Nyonya Kimberly, apa Anda tadi malam kurang tidur? Lingkar mata Anda sedikit gelap, Nyonya.” Sebuah kalimat lolos di bibir Brisa, asisten pribadi Kimberly kala Kimberly baru saja menyudahi rapat. Pagi-pagi Kimberly sudah berada di kantor karena memiliki meeting penting.“Benarkah? Apa penampilanku sangat kacau hari ini?” Kimberly mengambil ponselnya, menyalakan kamera, menatap ke kamera depan ponselnya. Benar saja. Lingkar matanya sedikit gelap. Astaga! Ini penampilannya yang paling kacau.“Hanya sedikit, Nyonya. Anda masih terlihat sangat cantik,” puji Brisa hangat.Kimberly mendengkus tak suka. “Kau itu tidak usah membuatku senang. Aku tahu penampilanku kacau. Lebih baik kau selesaikan saja pekerjaanmu. Jangan ganggu aku.”“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Brisa menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kimberly.Kimberly hendak menuju ruang kerjanya, tiba-tiba langkah Kimberly terhenti melihat sekretarisnya melangkah dengan terburu-buru…“Nyonya Kimberly,” sapa
Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg
Kimberly melempar heels-nya ke lantai kamar sembarangan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tampak raut wajah Kimberly begitu kesal dan memendung amarah. Wanita itu menyugar rambutnya kasar. Amarah dalam dirinya menelusup hingga sulit dikendalikan.Kilat mata hazel Kimberly memerah menunjukkan wanita itu sangat emosi. Dia terkenal dengan sosok wanita cantik yang selalu berpenampilan memesona. Namun, untuk kali ini penampilannya seakan begitu kacau akibat amarah yang tertahan dan telah mengumpul dalam diri.“Sialan!” Kimberly mengumpat seraya membanting pelan punggungnya ke sandaran sofa. Benak Kimberly memikirkan tentang pertemuannya dengan Damian tadi. Demi Tuhan! Kesialan macam apa ini? Tujuan Kimberly pergi ke klub malam karena ingin menghilangkan kepenatan dalam otaknya. Namun, kenapa dia malah semakin terjerumus seperti ini?Kimberly memejamkan matanya. Memikirkan cara agar kerja sama ayahnya dan Damian batal. Dia tahu pria berengsek itu pasti akan mencari kesempatan dalam kesemp
Kimberly menyemburkan susu almond yang dia tenggak kala mendengar pertanyaan Damian. Refleks, Fargo memberikan tisu untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima tisu dari Fargo dan segera membersihkan bibirnya.Kimberly atau Fargo sama-sama tampak kompak memasang wajah pucat. Fargo cukup cerdas menutupi wajah paniknya. Lain halnya dengan Kimberly yang tak pandai menutupi wajah panik. Namun sebisa mungkin Kimberly tenang.“Hati-hati, Kim. Jika kau sedang minum, tidak baik memikirkan sesuatu. Kau lihat sendiri, kan? Sekarang kau tersedak,” ucap Damian dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya.Kimberly tersenyum canggung. “Maaf, Paman. Otakku terlalu memikirkan pekerjaanku yang sering tertunda.” Dalam hati Kimberly tak henti-hentinya memberikan umpatan untuk Damian. Sungguh, andai saja Fargo tak ada di ruang makan ini, sudah pasti Kimberly akan melempar gelas di tangannya pada Damian.Damian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memercayai ucapan Kimberly.“Ehm.” Fargo berdeham sebentar. Ra
“Pria sialan! Kenapa tidak mati saja!” Kimberly menghentakkan kakinya masuk ke dalam ruang kerjanya. Sejak tadi sepanjang jalan menuju ruang kerjanya—yang dilakukan Kimberly hanya mengumpati Damian. Bahkan semua sapaan para karyawan tak ada yang dia gubris. Bukan bermaksud angkuh, tapi otaknya sedang dalam pikiran yang kacau akibat pria berengsek yang selalu mengganggu hidupnya.“Apa yang membuatmu datang ke ruang kerjamu dan langsung mengumpat seperti ini? Pria sialan mana yang kau maksud?” Carol sudah lama menunggu Kimberly di ruang kerja teman baiknya itu. Namun, kala Carol membaca majalah, wanita itu dikejutkan dengan Kimberly yang masuk ke dalam ruang kerja dalam keadaan mengumpat.Langkah kaki Kimberly terhenti mendengar suara Carol. Tampak Kimberly mengembuskan napas kasar melihat ternyata di ruang kerjanya ada temannya. Emosi dalam dirinya tak bisa terkendali sampai dia tadi mengabaikan asistennya yang bicara padanya. Dia yakin pasti asistennya tadi sudah memberi tahu ada Caro
“Jennisa? Damian?”Kimberly bergumam pelan menyebut nama dua orang itu. Matanya melebar panik kala Jennisa dan Damian mendekat padanya. Shit! Kimberly mengumpat merutuki kebodohannya. Sungguh, dia tak menyangka bertemu dua orang yang tak dia inginkan untuk bertemu. Ditambah dirinya tak sengaja menimpuk kepala Jennisa dengan heels-nya. Kesialan macam apa ini? Demi Tuhan! Sepertinya takdir sedang mengajak Kimberly bercanda.“Kim? Apa ini sepatumu?” Jennisa menunjukkan sepatu heels berwarna merah menyala dan sangat seksi itu ke hadapan wajah Kimberly.Damian yang ada di samping Jennisa menurunkan pandangannya melihat kaki kanan Kimberly yang tak memakai heels. Senyuman samar di wajah Damian terlukis. Tindakan konyol Kimberly membuat Damian menggeleng-gelengkan kepalanya.“Ah, itu—” Kimberly memutar otaknya mencari alasan yang paling tepat. Tak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya.“Kim!” Carol berlari menyusul Kimberly. Napas wanita itu terengah-engah akibat mengejar Kimberly. Pun tadi
Usia Diego saat ini sudah enam bulan. Semakin hari Diego semakin aktif dan sangat pintar. Tubuh Diego semakin gemuk dan sehat. Tangan dan kaki Diego sudah penuh dengan rolls layaknya roti sobek yang menggemaskan. Pipi tembam memerah persis seperti bakpau yang ingin digigit. Rambut Diego cokelat gelap menurun seperti rambut Damian. Manik mata cokelat gelap berkilat memancarkan keindahan yang tak terkira.Diego seperti cerminan Damian. Semua benar-benar mirip layaknya buah apel yang telah terbagi menjadi dua. Memiliki paras yang sama tak berubah. Sesuai dengan keinginan Kimberly. Ya, sejak hamil memang Kimberly berharap anak pertamanya adalah laki-laki agar bisa melihat Damian kecil. Ternyata semesta mencatat apa yang menjadi keinginan Kimberly. Terbukti anak pertamanya adalah laki-laki yang sangat tampan.Di usia Diego yang sudah enam bulan ini, Damian akan menepati janjinya yang ingin mengajak Kimberly dan Diego berjalan-jalan ke luar negeri. Tentu Kimberly menyambut sangat antusias.
Ernest duduk di kursi kebesarannya yang ada di mansion-nya. Sekitar lima belas menit lalu, Maisie sudah berpamitan untuk pergi ke penthouse Kimberly. Tentu Ernest tak mungkin melarang. Malah dia senang karena sekarang Maisie dekat dengan Kimberly. Ini yang sejak dulu Ernest nantikan, di mana Maisie dekat dengan putrinya.Suara ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Ernest. Refleks, Ernest mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan segera meminta orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.“Tuan,” sapa sang pelayan melangkah mendekat pada Ernest.“Ada apa?” Ernest menatap dingin sang pelayan yang kini sudah di hadapannya.“Tuan, di depan ada Tuan Deston ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang pelayan yang sedikit membuat Ernest terkejut.“Deston datang?” Sebelah alis Ernest terangkat, menatap sang pelayan.“Iya, Tuan,” jawab sang pelayan itu lagi.Ernest mengembuskan napas pelan. Seingat Ernest, Deston sama sekali tidak memberitahukan kalau hari ini akan data
“Ini kamar bisa kau pakai.” Fargo berucap dingin dan tak ramah pada Carol kala dirinya mengantarkan Carol ke kamar tamu yang ada di apartemen pribadi miliknya. Dia ingin sekali mengusir paksa Carol, tapi dirinya berada di ambang kebingungan. Pasalnya Carol adalah teman baik Kimberly. Dia tak mungkin mengusir paksa Carol.“Thanks. Aku tidak akan lama di sini,” jawab Carol datar. Dia tak pernah menyangka akan terjebak di apartemen milik Fargo. Sungguh, dia tak menginginkan hal ini terjadi, tapi dia tak memiliki pilihan lagi. Dia masih belum memiliki keberanian kembali ke hotel. Hal yang dia takutkan adalah Adrik tahu hotel di mana yang dirinya tempati selama di Amsterdam. Jika sampai itu terjadi, pasti masalah baru akan datang.“Kau memang tidak bisa lama di sini. Orang itu wajib tahu diri,” ucap Fargo sarkas dan tegas. Detik selanjutnya, dia melangkah pergi meninggalkan Carol begitu saja tanpa menunggu balasan ucapan dari Carol.Carol berdecak tak suka dan mengumpati Fargo dalam hati.
Amsterdam, Netherlands. Angin berembus sedikit kencang membuat rambut panjang dan indah Carol berantakan. Tampak Carol sedikit kelelahan. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam akhirnya dia tiba di kota terbesar di Belanda. Demi menghibur diri dari kepenatan, Carol menganggap dirinya berlibur sejenak. Anggaplah menjauh dari Los Angeles demi membebaskan dirinya dari segala masalah yang menerpa dirinya.“Selamat pagi, Nona Carol,” sapa sang sopir penuh sopan pada Carol yang baru saja muncul di lobby bandara. Ya, kali ini sang sopir tak berani untuk datang terlambat. Jika saja sampai terlambat, maka saja saja sang sopir itu mencari malapetaka.“Pagi,” jawab Carol datar. “Aku pikir kau akan terlambat lagi.”“Tidak, Nona. Nona Fiona sudah meminta saya untuk datang tepat waktu jangan sampai terlambat.”“Good, aku memang paling tidak suka kalau ada yang datang terlambat. Apalagi dalam hal menjemputku. Itu sama saja menjadikanku seperti orang bodoh menunggu.”“Maafkan atas kejadian waktu it
Menjadi ibu rumah tangga tak pernah membuat Kimberly lelah sedikit pun. Kimberly seakan begitu menikmati perannya menjadi seorang istri dan ibu. Setiap hari, dia selalu membantu menyiapkan segala hal yang Damian butuhkan dan selalu mengurus Diego dengan sangat baik. Pun dia tak pernah merasa bosan. Memasak, menunggu sang suami pulang dari kantor, semua adalah moment-moment yang paling berharga untuk Kimberly.Pekerjaan Kimberly tak begitu saja Kimberly lepas. Dia tetap menyadari tanggung jawabnya. Dia juga tak tega pada Carol yang selalu menggantikanya. Dari kejauhan dia tetap memeriksa dan membantu walau belum bisa optimal. Hampir setiap minggu, Brisa sering datang ke rumahnya untuk memberikan laporan. Paling tidak, dia tetap bertanggung jawab akan perusahaannya di tengah-tengah perannya sebagai ibu rumah tangga.Seperti saat ini di kala pagi menyapa, Kimberly sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami. Tadi malam Damian mengatakan pada Kimberly kalau hari ini tak akan pergi ke
Amsterdam, Netherlands. Fargo membubuhkan tanda tangan di dokumen yang baru saja diantarkan oleh sang asisten. Pria tampan itu kembali membaca dokumen itu lagi, memastikan bahwa dokumen yang ada di hadapannya tak ada yang salah sedikit pun. Saat semua isi dokumen tersebut benar, Fargo segera mengembalikan dokumen tersebut pada Gene yang ada di hadapannya.“Bagaimana perusahaan di Los Angeles, apa ada masalah?” Fargo bertanya pada Gene seraya mengambil gelas berkaki tinggi yang berisikan wine, dan menyesapnya secara perlahan. Tatapan mata tegas dan dingin Fargo, menatap Gene, meminta penjelasan dari sang asisten.“Semua baik-baik saja, Tuan. Kondisi perusahaan setiap bulannya mengalami kenaikan cukup signifikan,” jawab Gene memberi tahu dengan nada sopan. “Tadi malam saya baru saja mengirimkan laporan penjualanan bulan lalu, Anda bisa melihat di sana penjualanan pun mengalami peningkatan.”Fargo menganggukkan kepalanya, lalu tiba-tiba terdengar suara dering ponsel masuk dari Gene. Ref
Suara tangis bayi membuat Kimberly dan Damian yang tertidur pulas langsung membuka mata mereka. Kimberly menyeka matanya dengan punggung tangannya. Wanita itu menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali. Hari masih gelap, tapi Kimberly harus terbangun karena putra kecilnya menangis kencang.“Kim, tidurlah. Aku saja yang memberikan susu. Kau masih memiliki stock ASI di botol, kan?” tanya Damian seraya membelai pipi Kimberly. Pria tampan itu tak tega setiap tengah malam istrinya terbangun harus menyusui putra mereka. Pun dia ingin turut membantu dalam mengurus putra mereka.“Sayang, kalau Diego menangis tidak henti seperti ini biasanya dia tidak mau minum susu lewat botol. Kau saja yang tidur, besok kau harus berangkat pagi, kan?” balas Kimberly hangat.“Kalau begitu bersama saja. Aku akan menemanimu menyusui Diego,” jawab Damian seraya mengecup pipi Kimberly lembut.Kimberly menghela napas dalam. Sebenarnya dia tak setuju, tetapi dalam hal ini dirinya tak bisa menbantah. Sebab sang sua
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kimberly baru saja selesai mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress ibu hamil. Kandungan yang kian membesar ini membuatnya selalu malas dalam berias. Wajah Kimberky selalu tampil polos tanpa riasan make up sedikit pun. Hal yang menjadi keuntungan Kimberly adalah kulit wajah Kimberly putih mulus bersih. Jadi meski tanpa riasan make up, tetap saja Kimberly terlihat sangat cantik dan memukau.“Kim, ini sudah waktunya jam makan malam. Aku tidak mau kau terlambat makan, Kim,” ujar Damian seraya menatap Kimberly, mengajak Kimberly untuk makan malam.“Iya, Sayang.” Kimberly melangkah menghampiri sang suami, memeluk lengan suaminya itu, dan hendak melangkah meninggalkan kamar megah mereka. Namun, tiba-tiba langkah kaki Kimberly dan Damian terhenti kala melihat pelayan yang menghampiri mereka.“Tuan, Nyonya.” Pelayan itu menundukkan kepala tepat di depan Damian dan Kimberly.“Ada apa?” tanya Damian dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Di depan
Beberapa bulan berlalu …Damian turun dari mobil, membanting pintu mobil kasar dan berlari masuk ke dalam gedung apartemen, menuju lift, di mana dirinya menempati lantai teratas dari gedung apartemen itu. Tampak raut wajah Damian begitu panik dan dilingkupi kecemasan yang hebat.“Kim!” Damian berlari masuk ke dalam penthousenya. Para pelayan yang menyapa dirinya pun diabaikan, tak sama sekali dipedulikan.“Damian? Kau sudah pulang?” Kimberly tersenyum hangat menatap sang suami yang baru saja pulang. Tatapan hangat dan kerinduan yang mendalam.Damian meraih kedua bahu Kimberly, menatap sang istri yang perutnya yang membuncit. “Tadi pelayan bilang, perutmu sakit, Kim. Kita ke rumah sakit sekarang.” Tanpa menunggu jawaban, Damian hendak mengajak sang istri ke rumah sakit, tetapi gerak Damian terhenti kala Kimberly menahan lengannya.“Sayang, aku baik-baik saja. Tadi baby menendang. Bukan karena sakit perut. Dokter kan bilang aku melahirkan satu minggu lagi,” ujar Kimberly hangat dengan s