“Kimberly? Kenapa kau lama sekali di toilet?” Suara Fargo sedikit memprotes kala Kimberly baru saja masuk ke dalam ruang makan.
“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa Kimberly katakan. Wanita itu kembali duduk di samping Fargo. Raut wajahnya terlihat jelas mati-matian menutupi hati dan pikirannya yang begitu berkecamuk.
Tak lama setelah Kimberly kembali ke ruang makan, Damian melangkahkan kakinya tegas memasuki ruang makan. Aura wajah pria tampan itu dingin, dan sangat misterius.
“Damian kau dari mana?” tanya Daston penuh interogasi pada putranya itu.
“Aku baru saja berbicara dengan seseorang yang penting,” jawab Damian datar seraya melihat Kimberly yang tampak pucat.
“Orang penting? Siapa? Apa kau sedang dekat dengan seorang wanita?” sambung Fidelya yang penasaran.
“Bisa dikatakan seperti itu,” jawab Damian lagi dengan senyuman di wajahnya.
“Wah, aku tidak sabar mengetahui wanita yang sedang dekat denganmu, Damian,” seru Fidelya antusias dan tersirat tak sabar.
Raut wajah Kimberly semakin pucat dengan pancaran mata menunjukkan jelas ketakutannya, mendengar apa yang diucapkan oleh Damian. Dia memilih menundukkan kepala. Sungguh, Kimberly sejak tadi tak henti mengumpat merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa dia menghabiskan malam dengan paman tiri suaminya sendiri? Membayangkan itu semua rasanya membuat Kimberly ingin sekali lenyap dari dunia ini.
Sepanjang makan malam berlangsung, tatapan Damian tak henti menatap Kimberly yang sejak tadi menundukkan kepala tak berani menatapnya. Senyuman samar di wajah Damian terlukis. Pun semua orang tak menyadari tatapan Damian itu hanya tertuju pada Kimberly.
Hingga ketika makan malam itu berakhir, buru-buru Kimberly mengajak Fargo untuk segera kembali pulang. Fargo dan Kimberly berpamitan pada seluruh keluarga. Terlihat Damian sejak tadi hanya diam. Bahkan di kala Fargo dan Kimberly berpamitan pulang lebih dulu, tak ada satu pun respon dari Damian. Hanya saja Damian mengulas senyuman misterius dan sorot mata yang memiliki jutaan arti dalam.
Di perjalanan pulang, Kimberly tak berbicara sepatah kata pun. Sama halnya dengan Fargo yang hanya fokus melajukan mobilnya. Malam kian larut, perkotaan di Los Angeles penuh diterangi lampu jalan, mempermudah laju mobil yang melewati jalan tersebut.
“Kimberly, kau kenapa?” tanya Fargo seraya melirik Kimberly sebentar. Entah kenapa Fargo merasa ada yang berbeda dari Kimberly.
“T-tidak. Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah saja. Aku ingin segera beristirahat,” jawab Kimberly cepat dan memaksakan senyuman di wajahnya.
“Sebentar lagi kita sampai. Kau bisa istirahat. Ingat, besok pagi kau harus ikut ke perusahaan. Ada dokumen yang wajib kau tanda tangani,” balas Fargo mengingatkan Kimberly. Nada bicaranya tak acuh dan terkesan tak peduli.
“Apa tidak bisa dokumen itu dibawa pulang olehmu? Nanti aku akan menandatanganinya di rumah,” ucap Kimberly yang enggan untuk pergi.
“Tidak bisa. Besok aku akan pulang terlambat. Aku butuh tanda tanganmu. Itu dokumen penting karena kau telah menginvestasikan uangmu ke perusahaan baruku,” jawab Fargo lagi menekankan dan tersirat memaksa Kimberly untuk datang.
Kimberly mengembuskan napas panjang. Detik selanjutnya, Kimberly memilih menganggukkan kepalanya. Tak ada pilihan lain, sekarang dia lebih memilih menghindari perdebatan. Berusaha percaya sepenuhnya pada Fargo adalah cara yang terbaik demi keutuhan rumah tangganya.
***
Sebuah ruang kerja dengan desain klasik membuat ketenangan sendiri kala Kimberly duduk di sofa yang ada di ruang kerja itu. Aroma musk menyeruak ke indra penciuman Kimberly. Wanita cantik itu mulai membaca secara teliti dokumen yang baru saja diantar oleh sekretaris. Dia telah berada di ruang kerja Fargo. Wanita itu duduk seorang diri, karena Fargo sedang menemui rekan bisnisnya di luar.
Saat Kimberly sudah yakin dengan isi dokumen tersebut, dia langsung membubuhkan tanda tangannya di sana. Namun, tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Fargo. Dia mendesah pelan, Fargo lupa membawa ponselnya. Dia mengambil ponsel suaminya itu, dan menatap bingung nama yang terpampang di sana.
“Gilda? Kenapa Gilda menghubungi Fargo?” gumam Kimberly dengan raut wajah serius. Detik selanjutnya, dia hendak menjawab panggilan telepon itu tetapi Kimberly terlambat karena Fargo lebih dulu datang dan merampas ponselnya.
“Jangan menjawab teleponku, Kimberly!” seru Fargo mengingatkan dengan nada cukup tinggi dan menegaskan.
Raut wajah Kimberly berubah kala Fargo terlihat begitu marah padanya. “Kenapa saudara tiriku menghubungimu? Sejak kapan kau dekat dengan Gilda?”
Gilda Olaf adalah saudara tiri Kimberly. Tepatnya lima tahun lalu Kimberly kehilangan ibunya akibat sang ibu sakit keras. Satu tahun setelah kepergian ibunya, ayahnya menikah lagi dengan seorang janda yang memiliki satu orang putri bernama Gilda Olaf. Bisa dikatakan hubungan Kimberly dan Gilda tak pernah baik. Gilda yang selalu mencari-cari keributan hanya karena masalah kecil. Hal yang membuat Kimberly tak mengerti adalah kenapa Gilda menghubungi Fargo. Padahal selama ini dia yakin Fargo tidak pernah dekat dengan Gilda.
“Aku memiliki urusan pekerjaan dengannya,” jawab Fargo datar dan dingin.
“Pekerjaan apa? Gilda itu model. Pekerjaan macam apa yang melibatkannya?” cerca Kimberly lagi menuntut agar Fargo menjelaskan padanya.
“Hentikan tuduhanmu, Kimberly. Aku memang ada urusan pekerjaan dengan Gilda. Dia menjadi model di perusahaan temanku,” tegas Fargo yang kesal. Akan tetapi matanya memancarkan sedikit rasa khawatir dan cemas.
“Permisi, Tuan Fargo?” Seorang sekretaris melangkah masuk ke dalam ruang kerja Fargo—dan langsung membuat perdebatan Fargo dan Kimberly terhenti.
“Ada apa?” Fargo mengalihkan pandangannya, menatap sekretarisnya itu.
“Tuan, di depan sudah ada Tuan Damian Darrel. Apa beliau diperbolehkan masuk?” tanya sang sekretaris yang sontak membuat Kimberly terkejut.
“Persilakan Pamanku untuk masuk,” jawab Fargo datar.
“Baik, Tuan.” Sekretaris itu menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Fargo dan Kimberly.
“Fargo—”
Perkataan Kimberly terpotong kala melihat Damian masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Tampak wajah Kimberly menjadi panik. Jantungnya berpacu dengan keras kala melihat Damian. Tadi malam Fargo tak bilang akan mengundang Damian. Andai saja Kimberly tahu, dia akan mati-matian menolak ajakan Fargo untuk datang ke perusahaan.
‘Ya Tuhan kenapa pria itu ada di sini?’ batin Kimberly resah dan gelisah.
“Paman, duduklah. Terima kasih sudah datang,” ucap Fargo pada Damian.
Damian mengangguk singkat. Pria itu duduk tak jauh dari Kimberly. Senyuman di wajah Damian terlukis. Pria itu tahu Kimberly terkejut sekaligus panik melihatnya. Namun, dia tetap santai tanpa beban seolah tak memiliki masalah.
“Kimberly, Paman Damian akan menjadi investor terbesar di perusahaan baruku,” ujar Fargo memberi tahu Kimberly.
“Ah, begitu.” Kimberly tersenyum pucat mendengar fakta yang terucap di bibir sang suami. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tak mampu merangkai kata. Ketakutan dan kecemasan terus menelusup ke dalam dirinya.
Getar ponsel begitu terasa di saku celana Fargo. Terlihat wajah Fargo panik kala mendapatkan panggilan telepon tepat di depan Kimberly. Pria tampan itu sedikit gelagapan, tapi dia berusaha menyembunyikan rasa cemasnya.
“Maaf, aku harus ke toilet sebentar.” Fargo langsung meninggalkan Damian dan Kimberly di ruangannya itu.
“Fargo, tunggu!” Kimberly ingin sekali ikut dengan Fargo, tapi apa alasannya? Tidak mungkin dia mengikuti sang suami yang ingin pergi ke toilet.
“Aku baru tahu ada seorang wanita yang merelakan uang tidak sedikit demi suaminya. Great. Aku jarang menemui wanita sepertimu, Kim.” Damian berucap kala dirinya membaca dokumen di hadapannya. Pria itu melihat Kimberly sebagai investor dengan jumlah nominal cukup besar, tapi tentu itu tak ada artinya bagi Damian.
Kimberly mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Damian. Wanita itu memberikan tatapan dingin dan tak ramah. “Fargo adalah suamiku, jelas aku wajib membantunya. Uang bukanlah masalah.”
“Well, istri yang baik,” komentar Damian dengan senyuman misterius di wajahnya. Pria itu mengambil pena miliknya dan membubuhkan tanda tangan di dokumen tersebut. Dia meletakkan dokumen yang sudah dia tanda tangani ke atas meja, dan menatap lekat Kimberly. “Jangan terlalu naif menjadi wanita, Kimberly. Kau boleh baik, tapi jangan bodoh.”
“Apa maksudmu?” Kening Kimberly mengerut, tatapannya kian tajam pada Damian.
Damian tak banyak bicara, pria itu menarik tangan Kimberly. Merapatkan tubuhnya pada tubuh wanita itu. Sontak Kimberly terkejut kala Damian memeluk erat tubuhnya.
“Le-lepaskan aku, P-Paman!” Kimberly memukul-mukul lengan kekar Damian.
“Panggil namaku, Kim,” bisik Damian serak di depan Kimberly.
“Jangan konyol, Paman! Lepaskan aku! Nanti suamiku bisa melihat!” seru Kimberly tegas bercampur dengan kepanikan nyata.
“Panggil namaku, maka aku akan melepaskanku,” bisik Damian lagi seraya membelai kasar pipi Kimberly.
“Damian Darrel, lepaskan aku!” tegas Kimberly dengan napas memburu penuh emosi.
Damian tersenyum misterius. Pria itu melepaskan pelukan Kimberly. Namun sayangnya dia tak benar-benar melepaskan. Dia menarik dagu Kimberly, mendekatkan bibir wanita itu ke bibirnya. “Kau seperti harimau liar ketika marah. Aku menyukai amarahmu, Kim,” bisiknya serak.
“Kau sudah gila, Damian! Aku ini sudah memiliki suami! Lupakan kejadian waktu itu!” seru Kimberly penuh peringatan.
“Sayangnya aku tidak bisa melupakan fantasi baruku, Kim,” jawab Damian seraya menatap dalam manik mata hazel Kimberly yang menunjukkan jelas kobaran kemarahannya. “Aku jadi penasaran, bagaimana suamimu tahu tentang skandal kita ini?”
Raut wajah Kimberly begitu takut sekaligus memucat mendengar ucapan Damian. “A-aku peringatkan kau, jangan pernah kau mengatakan pada siapa pun tentang kejadian di klub malam. Atau aku akan—”
“Atau apa, Kimberly? Kau ingin mengancamku, hm?”
“Iya! Aku akan memberikan pelajaran untukmu, jika kau sampai memberi tahu pada orang lain! Aku tidak main-main dengan ucapanku, Damian!” tegas Kimberly menekankan.
Damian kembali terkekeh mendengar ancaman Kimberly. Ini pertama kalinya ada orang yang mengancam seorang Damian Darrel. Pria tampan itu kini semakin menarik Kimberly mendekat padanya. Bahkan bibir mereka bersentuhan. Deru napas saling menerpa kulit masing-masing. Manik mata cokelat gelap Damian mengunci tatapan manik mata hazel Kimberly.
“Ancaman yang sangat manis, Kim. Aku menyukai ancamanmu.”
Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya An
“Kimberly? Apa kabar, Sayang?”Seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik menyapa hangat Kimberly yang masuk ke dalam rumah. Maisie Davies—ibu tiri Kimberly yang terkenal ramah itu selalu bersikap baik pada Kimberly. Sayangnya, Kimberly tak pernah ramah pada Maisie. Seperti saat ini, Kimberly memasang wajah dingin kala Maisie menyapanya.“Aku baik. Di mana ayahku? Apa dia masih di kantor?” Kimberly menjawab pertanyaan Maisie dengan nada yang dingin tapi tetap sopan pada ibu tirinya.Senyuman di wajah Maisie terlukis. “Iya, Kimberly. Ayahmu masih di kantor. Tadi ayahmu bilang dia akan pulang terlambat. Belakangan ini ayahmu sibuk dengan project di perusahaannya yang terbaru.”Kimberly mendesah pelan mendengar ucapan Maisie. Sudah tak heran dia mendapatkan jawaban seperti itu, karena dia tahu ayahnya itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi kesibukan ayahnya berbeda dengan Fargo. Bisa dikatakan ayahnya itu mencintai ibu tirinya. Setiap kali sibuk, ayahnya pasti akan membe
Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar. “Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan s
“Nyonya Kimberly, apa Anda tadi malam kurang tidur? Lingkar mata Anda sedikit gelap, Nyonya.” Sebuah kalimat lolos di bibir Brisa, asisten pribadi Kimberly kala Kimberly baru saja menyudahi rapat. Pagi-pagi Kimberly sudah berada di kantor karena memiliki meeting penting.“Benarkah? Apa penampilanku sangat kacau hari ini?” Kimberly mengambil ponselnya, menyalakan kamera, menatap ke kamera depan ponselnya. Benar saja. Lingkar matanya sedikit gelap. Astaga! Ini penampilannya yang paling kacau.“Hanya sedikit, Nyonya. Anda masih terlihat sangat cantik,” puji Brisa hangat.Kimberly mendengkus tak suka. “Kau itu tidak usah membuatku senang. Aku tahu penampilanku kacau. Lebih baik kau selesaikan saja pekerjaanmu. Jangan ganggu aku.”“Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi.” Brisa menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Kimberly.Kimberly hendak menuju ruang kerjanya, tiba-tiba langkah Kimberly terhenti melihat sekretarisnya melangkah dengan terburu-buru…“Nyonya Kimberly,” sapa
Damian meletakan ponselnya ke atas meja. Pria itu baru saja mengakhiri panggilan dengan asistennya. Tampak Damian tersenyum puas kala tahu Kimberly akan datang menemuinya. Well, ini adalah yang Damian tunggu-tunggu. Dalam otak Damian saat ini membayangkan wajah cantik Kimberly yang emosi padanya. Sayangnya emosi Kimberly bukan membuat wanita itu menjadi buruk, melainkan malah terlihat sangat seksi.Damian tak menampik Kimberly memiliki tubuh yang indah. Kulit putih mulus layaknya porselen. Rambut cokelat terang tebal yang akan berantakan jika sudah terbaring di ranjang sangat seksi—membuatnya ingin sekali menarik Kimberly kembali ke ranjangnya. Keindahan tubuh Kimberly membuat otak Damian selalu terselimuti hasrat. Anggaplah Damian memang berengsek meniduri istri keponakannya sendiri. Namun, memang apa salahnya? Lagi pula selama ini Fargo belum menyentuh Kimberly. Itu menandakan hubungan Kimberly dan Fargo memang sudah renggang.Suara ketukan pintu terdengar…“Masuk!” titah Damian teg
Kimberly melempar heels-nya ke lantai kamar sembarangan dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tampak raut wajah Kimberly begitu kesal dan memendung amarah. Wanita itu menyugar rambutnya kasar. Amarah dalam dirinya menelusup hingga sulit dikendalikan.Kilat mata hazel Kimberly memerah menunjukkan wanita itu sangat emosi. Dia terkenal dengan sosok wanita cantik yang selalu berpenampilan memesona. Namun, untuk kali ini penampilannya seakan begitu kacau akibat amarah yang tertahan dan telah mengumpul dalam diri.“Sialan!” Kimberly mengumpat seraya membanting pelan punggungnya ke sandaran sofa. Benak Kimberly memikirkan tentang pertemuannya dengan Damian tadi. Demi Tuhan! Kesialan macam apa ini? Tujuan Kimberly pergi ke klub malam karena ingin menghilangkan kepenatan dalam otaknya. Namun, kenapa dia malah semakin terjerumus seperti ini?Kimberly memejamkan matanya. Memikirkan cara agar kerja sama ayahnya dan Damian batal. Dia tahu pria berengsek itu pasti akan mencari kesempatan dalam kesemp
Kimberly menyemburkan susu almond yang dia tenggak kala mendengar pertanyaan Damian. Refleks, Fargo memberikan tisu untuk Kimberly. Pun Kimberly menerima tisu dari Fargo dan segera membersihkan bibirnya.Kimberly atau Fargo sama-sama tampak kompak memasang wajah pucat. Fargo cukup cerdas menutupi wajah paniknya. Lain halnya dengan Kimberly yang tak pandai menutupi wajah panik. Namun sebisa mungkin Kimberly tenang.“Hati-hati, Kim. Jika kau sedang minum, tidak baik memikirkan sesuatu. Kau lihat sendiri, kan? Sekarang kau tersedak,” ucap Damian dengan senyuman penuh kemenangan di wajahnya.Kimberly tersenyum canggung. “Maaf, Paman. Otakku terlalu memikirkan pekerjaanku yang sering tertunda.” Dalam hati Kimberly tak henti-hentinya memberikan umpatan untuk Damian. Sungguh, andai saja Fargo tak ada di ruang makan ini, sudah pasti Kimberly akan melempar gelas di tangannya pada Damian.Damian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah memercayai ucapan Kimberly.“Ehm.” Fargo berdeham sebentar. Ra
“Pria sialan! Kenapa tidak mati saja!” Kimberly menghentakkan kakinya masuk ke dalam ruang kerjanya. Sejak tadi sepanjang jalan menuju ruang kerjanya—yang dilakukan Kimberly hanya mengumpati Damian. Bahkan semua sapaan para karyawan tak ada yang dia gubris. Bukan bermaksud angkuh, tapi otaknya sedang dalam pikiran yang kacau akibat pria berengsek yang selalu mengganggu hidupnya.“Apa yang membuatmu datang ke ruang kerjamu dan langsung mengumpat seperti ini? Pria sialan mana yang kau maksud?” Carol sudah lama menunggu Kimberly di ruang kerja teman baiknya itu. Namun, kala Carol membaca majalah, wanita itu dikejutkan dengan Kimberly yang masuk ke dalam ruang kerja dalam keadaan mengumpat.Langkah kaki Kimberly terhenti mendengar suara Carol. Tampak Kimberly mengembuskan napas kasar melihat ternyata di ruang kerjanya ada temannya. Emosi dalam dirinya tak bisa terkendali sampai dia tadi mengabaikan asistennya yang bicara padanya. Dia yakin pasti asistennya tadi sudah memberi tahu ada Caro