34"Jangan hidup di masa lalu, Bang. Lupakan semua yang buat Abang sakit hati. Percaya sama aku kalau di luar sana banyak yang lebih menghargai dan mencintai Abang. Nerima semua kurangnya Abang," ungkap Gea. Gadis itu datang kala melihat pintu kamar orang tuanya terbuka. Ia melihat siluet bayangan pria yang tersungkur dengan suara tangis tertahan. Gadis itu mendekap tubuh kakaknya. Membesarkan hati seorang pria yang juga butuh bahu untuk menyandarkan kegundahan dan kekalahannya. Serta telinga untuk mendengar curahkan isi hatinya. Sean sama seperti Sky, dia punya hati yang ingin dipedulikan. Namun, ia lebih banyak mengalah karena keseharusan."Abang tidak bisa. Ini sulit, Zha." Suaranya bergetar dan serak. Jelas bahwa Sean memang menahan segala sesuatunya sendirian. "Bisa, Bang! Bisa! Abang hanya butuh sedikit paksaan. Abang harus bangkit dan membuat kesibukan lain. Mungkin dengan kegiatan yang lebih menantang atau ngembangin hobi abang, bisa 'kan?"Sean membisu. Ia tidak menanggap
Dua minggu berlalu, Sky diizinkan untuk pulang. Namun, dokter berpesan bahwa ia belum diperbolehkan melangkah terlebih dulu. Ia masih harus menggunakan kursi roda demi memaksimalkan kesembuhannya. Setelah mereka tiba di kediaman keluarga. Kebahagiaan tercurah kembali. Bahkan Adam dan Kinasih pun diundang ke rumah itu untuk menyambut kedatangan Sky. "Selamat kembali pulang, Nak," sapa Kinasih dan mendapat anggukan serta senyuman dari Adam. Sky menatap keduanya, dia asing dengan mereka. "Terima kasih, tapi ini tidak perlu," timpalnya."Mereka datang khusus menyambutmu, Sky. Kuharap kau tidak keberatan," ungkap Sean dengan senyum tulusnya. Sky melirik sinis dan membuang muka dari kakaknya. Ia lantas meminta Freya untuk lekas mendorong kursinya menjauh dari mereka semua. Kedua orang tua Freya membuntuti. Begitupun dengan Sean. Dia bahkan tidak terlihat penasaran dengan apa yang dilakukan si kembar. Zia dan Gea saling tatap kemudian mendengus kasar. "Dasar, nggak ada hormatnya sam
Mobil yang dikendarai Sean berhenti tepat di gapura pemakaman. Pria itu berkunjung ke pemberhentian terakhir ayah dan ibunya. Kaki terus menggiring mendekati nisan Ghazi dan Divya. Lantas ia berjongkok di antara pemakaman kedua orang tuanya. "Kalian apa kabar?" tanyanya, kemudian keheningan merajai. Sean bagai tak mampu mengeluhkan bebannya. "Kalau kalian tanya kabarku, jika boleh jujur— aku sedang tidak baik. Anak sulungmu sudah duda, Ma," cengirnya. Ia tersenyum getir. Mentertawakan kehidupan yang penuh dengan lelucon ini. "Seharusnya Tuhan menciptakan Freya dua orang agar bisa kubagi dengan Sky. Benarkan?" Pria itu terus berceloteh. Seharusnya cukup mengatakan bahwa dia mencintai wanita yang cintanya habis untuk Sky. Akan tetapi, Sean tidak bisa melakukannya. Kalimatnya berputar-putar karena tidak pernah ada yang mau mendengarnya sedari dulu. Menjadi yang kedua bahkan dianggap tidak ada, memengaruhi cara berbicara seseorang. "Putra Ayah berhasil menjadi juara dunia. Pi
Kian hari perut Freya semakin membesar. Usia kandungannya sudah menginjak usia sembilan bulan. Kondisi Sky juga jauh lebih baik. Dia bisa berjalan dengan sempurna tetapi tetap harus menjalani kontrol secara berkala untuk memastikan kesehatannya tidak terganggu. Pria itu sudah tidak sabar ingin kembali bermain di arena balap.Namun, hingga saat ini, Sky belum juga menampakkan keseriusannya dalam menjalin hubungan dengan wanita itu. Freya hanya terus bolak-balik ke rumah orang tua kekasihnya saat siang dan pulang ke rumahnya saat malam tiba.Tubuhnya semakin terlihat kurus, ia seperti orang cacingan. Di mana hanya perutnya yang berkembang. Wajahnya juga semakin kusam. Kinasih terkadang iba melihat perubahan kondisi Freya dari hari ke hari.“Jangan pergi lagi, Nak. Bagaimana kalau di jalan kamu tiba-tiba kontraksi? Kenapa kamu tidak memikirkan bayimu? Benar yang dikatakan oleh Sean, kalau seharusnya Sky yang datang kemari, bukan kamu yang terus bepergian,” seloroh Kinasih.Dia ingin memb
Freya bangkit dari sofa abu-abu hendak pergi dari tempat aneh itu. Namun, Sky dengan tangkas menarik pergelangan tangan Freya dan membuat gadis itu terpelanting, kemudian perutnya mendarat di meja bulat.Suara pekikan Freya kencang. Ia meraung kesakitan dengan tangan memegang bagian bawah perutnya. Kram, seketika menjalar. Membuat tubuhnya panas dingin. Tidak lama tatapannya terarah ke area betis. Wajah yang sudah teramat panik, kini semakin terlihat ketakutan.“Sky! Sky tolong aku! Bawa aku ke rumah sakit!” pintanya sembari berteriak. Ia melihat darah segar mengalir membaluri kakinya.Sky tidak terlihat panik. Dia justru masih sempat menyesap alkoholnya dan berdiri dengan santai.“Kenapa kamu selalu merepotkanku? Sehari saja tidak bisa membuatku tenang,” kesalnya. Tangannya terulur untuk membantu Freya bangkit. Akan tetapi tidak ada kelembutan dari tarikan tangan itu.Ia melangkah dengan cepat dan menyeret tubuh Freya dengan kasar. “Jalan yang benar dan cepat! Kamu minta segera kan?!
“Kak Freya kritis,” seru Dinda saat panggilannya yang ke lima terjawab oleh Sean.Setelah tiba di mobilnya, pria itu mendapati ponselnya berkedip berulang kali. Ia lantas menerima panggilan dari Dinda. Setelahnya, ia mengatakan bahwa Freya sekarang berada di rumah sakit.Dengan dorongan rasa panik dan khawatir, Sean melaju di jalanan. Beradu kecepatan dengan pengguna jalan lain. Menyalip sana sini. Di pikirannya hanya satu. Agar, dia bisa cepat sampai di Citra Husada. Tidak ada kata lain kecuali nama rumah sakit dan melihat bagaimana kondisi wanita yang masih bertahta tinggi di hati dan pikirannya.Sampai setengah jalan, matanya menangkap mobil yang melintas dari arah berlawanan sangat mencolok mata. Dia tahu betul itu mobil milik siapa.“Ke mana dia?” gumamnya dengan gigi mengerat. Tangannya menggenggam erat kemudi. Sungguh, Sean geram dengan kelakuan adiknya.Sekarang benaknya terpencar. Antara mengejar Sky lalu menghakimi sang adik kemudian menanyakan apa yang tengah terjadi pada F
Ruangan dengan nuansa putih dan bau karbol serta obat-obatan menyelimuti kamar perawatan Freya. Gadis itu sudah dipindahkan sejak satu jam yang lalu. Namun, belum juga ia ingin mengatakan apa pun pada Sean. Padahal, pria itu terus bertanya tentang apa yang dirasakan oleh ibu muda itu. "Kalau kamu sudah kentut atau ingin kentut, keluarkan saja, Freya. Jangan ditahan, biar kamu bisa minum. Kamu pasti haus kan?" ucapnya sembari menatap wajah pucat mantan istri yang bahkan belum pernah dia sentuh sekali pun. "Kenapa kamu di sini?" Satu-satunya pertanyaan dari sekian banyak tanya. Kenapa harus pertanyaan itu yang terlontar? Freya seharusnya tahu, hal itu adalah satu diantara soal yang tidak ingin Sean jawab. Namun, pria itu tetap menanggapi dengan sebenar-benarnya jawaban. "Untukmu. Aku sudah mengabulkan apa saja yang kamu mau. Kuharap kau tidak akan melarangku bertemu dengan anakmu ataupun menatapmu, Freya.""Jika kau tuli atau lupa ingatan. Aku ingatkan lagi, kalau aku tidak sudi deka
"Apa maksudmu ninggalin Freya sendirian di rumah sakit, huh?!" Begitu tiba di rumah ia melihat Sky tengah menikmati kopi di tangannya. Pria itu duduk memangku kaki dan menyulut rokok bak tanpa beban dan dosa. Sean mencengkeram kerah baju adiknya. Menatap netra Sky dengan tatapan tajam menghunus. Dengan gerakan santai, Sky menepis kedua tangan Sean. Ia bahkan meniupkan asap rokoknya di wajah sang kakak. "Terus, lo minta gue ngapain? Menurut lo, gue bakalan bener-bener bertanggung jawab atas apa yang nggak pernah gue lakuin?" ucapnya enteng. "Bajingan!" Sean melayangkan pukulan pada wajah Sky. Sampai gelas yang di pegang pembalap dunia itu terpelanting dan terburai. Pecahan kaca semburat ke segala arah. Bercak kopi hitam mengenai pakaian Sean dan Sky secara bersamaan. Amarah Sean memuncak. Dia tidak lagi menahan diri jika sudah berhubungan dengan Freya. Sky justru tersenyum miring. "Lo yang bajingan! Lo kira gue pantes sama wanita jalang seperti dia?! Lo kira gue mau sama wanita