Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Satu1"Aku hamil," lirih Freya. Tangannya bergetar hebat memegang hasil tes kehamilan. Bahkan air mata tidak bisa dibendung olehnya."Hamil? Bagaimana bisa?" Sean mencoba untuk tetap tenang. Dia menarik dagu Freya. Ingin melihat wajah yang biasanya ceria dengan ribuan tawa, tetapi kini terlihat muram."Katakan padaku, Freya. Bagaimana bisa?Siapa yang melakukannya?"Hanya suara isak tangis dari Freya yang terdengar jelas. Gadis itu bungkam tidak ingin menjawab."Maafkan aku, Sean. Maaf," sesal Freya. Dia sudah mengkhianati hubungannya. Namun, pengkhianatan ini jauh lebih baik ketimbang hubungannya dengan sang kekasih sebenarnya.Pria yang begitu sabar menghadapi segala perilaku Freya selama ini, harus dikejutkan dengan berita kehamilan kekasihnya. Bahkan selama ini, dia tidak pernah merusak gadis itu. Dia begitu menjaga dan menghormati Freya."Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Dia yang melakukan?" Sean mencekal erat kedua bahu Freya.Gadis itu kian menunduk lebih dalam. Awalnya
[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?][Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?][Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. Me
Freya menatap derasnya air yang membuncah turun ke jalanan. Air matanya pun sederas tangis pertiwi malam ini. Gadis itu melamun. Merutuki kebodohan yang sudah dia lakukan. Kenangan masa lalu berkelindan dalam ingatannya. Andaikata dia tidak bodoh dan ceroboh semuanya tidak akan pernah terjadi.**“Aku merindukanmu, Babe,” bisik Sky, saat berhasil mendekap tubuh kekasihnya setelah tiga tahun lamanya mereka berhubungan jarak jauh. Menikmati feromon yang menggelitik cuping hidungnya.Baik Sky dan Freya dilimpahi akan kebahagiaan dan suka cita. Euforia menumpahkan kerinduan itu mereka nikmati.Freya tidak mampu bertutur kata, ia hanya terus mendekap tubuh pujaan hatinya dan menghirup aroma yang menguar di balik baju kekasihnya. Sekadar mengedipkan mata— andaikan bisa— ia tidak akan melakukannya. Ia hanya ingin selalu menatap dan menikmati mahakarya Tuhan yang ada di hadapannya saat ini.Sejauh ini, Freya hanya mampu melihatnya lewat layar ponsel ataupun televisi, sekarang dia bisa mendekap
Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.“Kau— tidak ada yang lebih
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky.
“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya ber
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana