Freya menatap derasnya air yang membuncah turun ke jalanan. Air matanya pun sederas tangis pertiwi malam ini. Gadis itu melamun. Merutuki kebodohan yang sudah dia lakukan. Kenangan masa lalu berkelindan dalam ingatannya. Andaikata dia tidak bodoh dan ceroboh semuanya tidak akan pernah terjadi.
**
“Aku merindukanmu, Babe,” bisik Sky, saat berhasil mendekap tubuh kekasihnya setelah tiga tahun lamanya mereka berhubungan jarak jauh. Menikmati feromon yang menggelitik cuping hidungnya.
Baik Sky dan Freya dilimpahi akan kebahagiaan dan suka cita. Euforia menumpahkan kerinduan itu mereka nikmati.
Freya tidak mampu bertutur kata, ia hanya terus mendekap tubuh pujaan hatinya dan menghirup aroma yang menguar di balik baju kekasihnya. Sekadar mengedipkan mata— andaikan bisa— ia tidak akan melakukannya. Ia hanya ingin selalu menatap dan menikmati mahakarya Tuhan yang ada di hadapannya saat ini.
Sejauh ini, Freya hanya mampu melihatnya lewat layar ponsel ataupun televisi, sekarang dia bisa mendekap dan menghujamnya dengan ribuan belai kasih secara nyata. Membelainya dalam kondisi sebenarnya.
“Hei, kenapa jadi pendiam seperti itu?” Sky melerai pelukannya dan menarik dagu Freya.
“Anggap saja aku jatuh cinta untuk kedua kalinya padamu,” balas Freya.
Binar matanya tidak bisa dibohongi. Gadis itu memuja dan mendamba sosok bak fatamorgana baginya. Hingga saat ini, ia tidak menyangka bahwa Sky memilih dirinya.
Mungkin semua wanita tidak bisa menolak pesona Sky. Dia laki-laki dengan prestasi yang membanggakan. Lima kali juara F1 dan puluhan kali juara MotoGP. Bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah pembuktian.
“Aku milikmu, Babe,” goda Sky. Ia sengaja berbicara tepat di telinga Freya. Bahkan tidak berniat untuk memberikan jarak pada tubuhnya dari sang kekasih.
Gadis itu tersipu malu. Lantas Sky menyeretnya keluar dari area bandara menuju ke arah di mana kendaraannya terparkir. Mengendari mobil jemputan Sky menuju tempat tinggalnya.
“Mau ke mana kita?” Freya celingukan menatap jalanan yang di mana itu bukan arah mereka pulang ke rumahnya. “Ke rumahmu?” tambah Freya. Suaranya terdengar penasaran dan bergetar.
Gadis itu seolah baru pertama kali bertemu dengan Sky. Padahal, hampir setiap malam keduanya berkomunikasi. Sebelum kepergian Sky pun, keduanya sering pergi bersama.
Sky menggeleng. “Ini waktu kita, Babe. Kita lakukan apa pun yang membuatmu bahagia— seharian,” papar Sky.
Freya menaikkan sebelah alisnya dengan senyum miringnya. Sungguh, dirinya tersanjung. Tidak pernah dalam hidupnya, ia diperhatikan dan dibanggakan seperti Sky memperlakukannya.
Setidaknya, ya— dia harus menikmati waktu ini bersama seperti dulu lagi.
Mobil hitam itu berhenti tepat di bangunan yang tinggi dan familiar di kota. Ketika membuka pintu dan turun, Freya langsung menoleh ke arah Sky. Dia tahu tempat apa itu.
Seumur-umur Freya tidak pernah menjejakkan kakinya di gedung-gedung mewah nun megah. Palingan hanya ke mall tempatnya bekerja menjaga toko buku itu. selebihnya hanya berkutat di rumah juga resto.
“Ini apartemenku, Babe. Ayo!” Sky menarik tangan Freya agar dia melanjutkan langkahnya.
Keduanya berjalan bertautan tangan dan masuk ke lobi. Merangsek kian dalam dan lenyap di balik pintu lift. Jarinya menakan tombol angka sesuai letak kamarnya.
Mata pria itu terus tertuju pada kekasihnya. Freya dibuat salah tingkah oleh sosok di sampingnya. Sungguh situasi saat ini bagaikan keduanya baru saja bertemu dari dating app. Tidak saling sapa, tetapi mengharapkan hal yang lebih dari selain sebuah kata-kata.
“Jangan menatapku begitu, Sky,” tolak Freya. Dia mati gaya terus disorot mata tajam milik kekasihnya. Jantungnya berkelojotan, seolah berontak dari tempatnya. Freya berada di dalam satu ruang dengan pria terhebat— di matanya.
Laki-laki dengan gaya wolfcut itu melangkah mendekati Freya. Menyudutkan tubuh Freya dan menarik dagunya.
“Kau yang justru terus menatapku, tapi tidak dengan matamu, Babe.” Entah sejak kapan, Sky lebih suka berbisik. Sudah berulang kali ia mengutarakan kalimatnya dengan jarak sedekat ini. bahkan matanya terus memporak-porandakan isi hati Freya.
“Hm— aku— aku tidak paham maksudmu, Sky,” gagap Freya. Ia berusaha untuk menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Namun, Sky menahannya.
“Ya, kau terus menatapku dengan gesture tubuhmu. Kau— menginginkanku?” Freya menggeleng cepat menutup semua yang terlihat jelas dari sikap dan tatapannya.
Melihat hal itu, Sky langsung mendaratkan ciuman tepat di bibir seksi Freya. Pautan pertama setelah terpisah selama tiga tahun. Bibir yang teroles dengan lip blam bewarna peach. Pria itu menikmati manis buah peach dalam mulut Freya. Menelisikkan lidahnya mengoral dalam mulut gadis dengan bentuk cupid’s lips.
Freya terbuai. Kakinya lungkai bak tiada tulang. Ia hampir saja terjerembab, jika kedua tangannya tidak mencengkeram lengan sang kekasih. Kemudian kedua tangan Sky menahan pinggangnya.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Sky dengan balutan senyum miring sarat arti yang merekah di bibirnya untuk menggoda Freya. Dia jelas tahu apa yang dirasakan oleh Freya. Dia jelas tahu apa yang terjadi dengan wanita itu.
“Kita di tempat umum, Sky,” elak Freya menahan malu. Dia grogi karena terlihat terang-terangan bahwa sedikit sentuhan Sky berdampak besar baginya. Bahkan hanya sebuah bisikan saja mampu membuat tubuh Freya bergetar seolah kehilangan tulang belulang.
“Artinya— aku punya kesempatan saat berada di private room?” Freya melayangkan pukulan manja pada Sky yang membuat keduanya tergelak.
Pintu lift berdenting kembali. Mereka tiba di lantai tujuan. Sebelum keluar, Sky mengangkat tubuh Freya. Sehingga membuat gadis itu memekik pelan kemudian mendelik garang pada Sky.
“Maaf jika mengejutkanmu, Babe,” sesalnya tanpa rasa menyesal. Ia bahkan mengerling ke arah Freya dan ya— hal itu kembali sukses membuat wanita bermata besar tersebut tersipu. Ia alihkan pandang dengan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang kekasihnya.
Sky terkekeh dengan tingkah Freya. Dia menggemaskan. Kemudian pria itu menurunkan tubuh Freya ketika telah berada di depan pintu. Ia merogoh sakunya dan mencari card lock lalu menempelnya pada sensor di batang tuas pintu tersebut. Mereka masuk setelah bunyi klik pada penutup ruangan itu.
“Terima kasih, Sky” kata Freya dengan senyum dan tindakan malu-malu.
“Tidak masalah, Babe.” Sky memutar tubuh dan meraih kembali jemari Freya.
Mengajaknya berdansa tanpa irama. Melangkah ke sisi kanan dan kiri. Sebelah tangannya mencengkeram pinggang ramping Freya dan satu tangan lainnya menjerat jemari kekasihnya.
Freya mengikuti setiap gerak langkah Sky, sesekali tawanya pecah karena ia bahkan tidak pernah melakukannya sepanjang hidup. Tidak jarang kaki, Sky justru terinjak olehnya.
"Kau cantik, Babe. Aku adalah pria paling beruntung di dunia ini," pujinya, dengan tatapan yang berpusta mata netra wanitanya.
“Tidak, aku yang beruntung mendapatkan juara dunia MotoGP dan F1 ‘kan?” elak, Freya.
“Kita mendapatkan keberuntungan yang setera.” Sky membelai kedua pipi Freya.
Pria itu menghentikan tariannya. Mereka berdiri di samping jendela kaca lebar dengan lukisan nyata Tuhan menjadi ikon terbaik. Pria itu mengelus dalam garis pipi Freya dan mulai—
Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.“Kau— tidak ada yang lebih
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky.
“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya ber
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tida
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak dipungkiri olehnya, apa yang dilihat di depan mata saat ini adalah baran
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungkin tumpukan piring di rumah sudah menunggunya untuk dicuci.“Baiklah, kalau begitu maukah kamu ikut denganku? Kita ke rumah, aku akan kenalka
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet serta sofa dari jaman Divya ada hingga sekarang tidak bergeser seinci pun.