Freya menatap derasnya air yang membuncah turun ke jalanan. Air matanya pun sederas tangis pertiwi malam ini. Gadis itu melamun. Merutuki kebodohan yang sudah dia lakukan. Kenangan masa lalu berkelindan dalam ingatannya. Andaikata dia tidak bodoh dan ceroboh semuanya tidak akan pernah terjadi.
**
“Aku merindukanmu, Babe,” bisik Sky, saat berhasil mendekap tubuh kekasihnya setelah tiga tahun lamanya mereka berhubungan jarak jauh. Menikmati feromon yang menggelitik cuping hidungnya.
Baik Sky dan Freya dilimpahi akan kebahagiaan dan suka cita. Euforia menumpahkan kerinduan itu mereka nikmati.
Freya tidak mampu bertutur kata, ia hanya terus mendekap tubuh pujaan hatinya dan menghirup aroma yang menguar di balik baju kekasihnya. Sekadar mengedipkan mata— andaikan bisa— ia tidak akan melakukannya. Ia hanya ingin selalu menatap dan menikmati mahakarya Tuhan yang ada di hadapannya saat ini.
Sejauh ini, Freya hanya mampu melihatnya lewat layar ponsel ataupun televisi, sekarang dia bisa mendekap dan menghujamnya dengan ribuan belai kasih secara nyata. Membelainya dalam kondisi sebenarnya.
“Hei, kenapa jadi pendiam seperti itu?” Sky melerai pelukannya dan menarik dagu Freya.
“Anggap saja aku jatuh cinta untuk kedua kalinya padamu,” balas Freya.
Binar matanya tidak bisa dibohongi. Gadis itu memuja dan mendamba sosok bak fatamorgana baginya. Hingga saat ini, ia tidak menyangka bahwa Sky memilih dirinya.
Mungkin semua wanita tidak bisa menolak pesona Sky. Dia laki-laki dengan prestasi yang membanggakan. Lima kali juara F1 dan puluhan kali juara MotoGP. Bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah pembuktian.
“Aku milikmu, Babe,” goda Sky. Ia sengaja berbicara tepat di telinga Freya. Bahkan tidak berniat untuk memberikan jarak pada tubuhnya dari sang kekasih.
Gadis itu tersipu malu. Lantas Sky menyeretnya keluar dari area bandara menuju ke arah di mana kendaraannya terparkir. Mengendari mobil jemputan Sky menuju tempat tinggalnya.
“Mau ke mana kita?” Freya celingukan menatap jalanan yang di mana itu bukan arah mereka pulang ke rumahnya. “Ke rumahmu?” tambah Freya. Suaranya terdengar penasaran dan bergetar.
Gadis itu seolah baru pertama kali bertemu dengan Sky. Padahal, hampir setiap malam keduanya berkomunikasi. Sebelum kepergian Sky pun, keduanya sering pergi bersama.
Sky menggeleng. “Ini waktu kita, Babe. Kita lakukan apa pun yang membuatmu bahagia— seharian,” papar Sky.
Freya menaikkan sebelah alisnya dengan senyum miringnya. Sungguh, dirinya tersanjung. Tidak pernah dalam hidupnya, ia diperhatikan dan dibanggakan seperti Sky memperlakukannya.
Setidaknya, ya— dia harus menikmati waktu ini bersama seperti dulu lagi.
Mobil hitam itu berhenti tepat di bangunan yang tinggi dan familiar di kota. Ketika membuka pintu dan turun, Freya langsung menoleh ke arah Sky. Dia tahu tempat apa itu.
Seumur-umur Freya tidak pernah menjejakkan kakinya di gedung-gedung mewah nun megah. Palingan hanya ke mall tempatnya bekerja menjaga toko buku itu. selebihnya hanya berkutat di rumah juga resto.
“Ini apartemenku, Babe. Ayo!” Sky menarik tangan Freya agar dia melanjutkan langkahnya.
Keduanya berjalan bertautan tangan dan masuk ke lobi. Merangsek kian dalam dan lenyap di balik pintu lift. Jarinya menakan tombol angka sesuai letak kamarnya.
Mata pria itu terus tertuju pada kekasihnya. Freya dibuat salah tingkah oleh sosok di sampingnya. Sungguh situasi saat ini bagaikan keduanya baru saja bertemu dari dating app. Tidak saling sapa, tetapi mengharapkan hal yang lebih dari selain sebuah kata-kata.
“Jangan menatapku begitu, Sky,” tolak Freya. Dia mati gaya terus disorot mata tajam milik kekasihnya. Jantungnya berkelojotan, seolah berontak dari tempatnya. Freya berada di dalam satu ruang dengan pria terhebat— di matanya.
Laki-laki dengan gaya wolfcut itu melangkah mendekati Freya. Menyudutkan tubuh Freya dan menarik dagunya.
“Kau yang justru terus menatapku, tapi tidak dengan matamu, Babe.” Entah sejak kapan, Sky lebih suka berbisik. Sudah berulang kali ia mengutarakan kalimatnya dengan jarak sedekat ini. bahkan matanya terus memporak-porandakan isi hati Freya.
“Hm— aku— aku tidak paham maksudmu, Sky,” gagap Freya. Ia berusaha untuk menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Namun, Sky menahannya.
“Ya, kau terus menatapku dengan gesture tubuhmu. Kau— menginginkanku?” Freya menggeleng cepat menutup semua yang terlihat jelas dari sikap dan tatapannya.
Melihat hal itu, Sky langsung mendaratkan ciuman tepat di bibir seksi Freya. Pautan pertama setelah terpisah selama tiga tahun. Bibir yang teroles dengan lip blam bewarna peach. Pria itu menikmati manis buah peach dalam mulut Freya. Menelisikkan lidahnya mengoral dalam mulut gadis dengan bentuk cupid’s lips.
Freya terbuai. Kakinya lungkai bak tiada tulang. Ia hampir saja terjerembab, jika kedua tangannya tidak mencengkeram lengan sang kekasih. Kemudian kedua tangan Sky menahan pinggangnya.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Sky dengan balutan senyum miring sarat arti yang merekah di bibirnya untuk menggoda Freya. Dia jelas tahu apa yang dirasakan oleh Freya. Dia jelas tahu apa yang terjadi dengan wanita itu.
“Kita di tempat umum, Sky,” elak Freya menahan malu. Dia grogi karena terlihat terang-terangan bahwa sedikit sentuhan Sky berdampak besar baginya. Bahkan hanya sebuah bisikan saja mampu membuat tubuh Freya bergetar seolah kehilangan tulang belulang.
“Artinya— aku punya kesempatan saat berada di private room?” Freya melayangkan pukulan manja pada Sky yang membuat keduanya tergelak.
Pintu lift berdenting kembali. Mereka tiba di lantai tujuan. Sebelum keluar, Sky mengangkat tubuh Freya. Sehingga membuat gadis itu memekik pelan kemudian mendelik garang pada Sky.
“Maaf jika mengejutkanmu, Babe,” sesalnya tanpa rasa menyesal. Ia bahkan mengerling ke arah Freya dan ya— hal itu kembali sukses membuat wanita bermata besar tersebut tersipu. Ia alihkan pandang dengan menenggelamkan wajahnya pada dada bidang kekasihnya.
Sky terkekeh dengan tingkah Freya. Dia menggemaskan. Kemudian pria itu menurunkan tubuh Freya ketika telah berada di depan pintu. Ia merogoh sakunya dan mencari card lock lalu menempelnya pada sensor di batang tuas pintu tersebut. Mereka masuk setelah bunyi klik pada penutup ruangan itu.
“Terima kasih, Sky” kata Freya dengan senyum dan tindakan malu-malu.
“Tidak masalah, Babe.” Sky memutar tubuh dan meraih kembali jemari Freya.
Mengajaknya berdansa tanpa irama. Melangkah ke sisi kanan dan kiri. Sebelah tangannya mencengkeram pinggang ramping Freya dan satu tangan lainnya menjerat jemari kekasihnya.
Freya mengikuti setiap gerak langkah Sky, sesekali tawanya pecah karena ia bahkan tidak pernah melakukannya sepanjang hidup. Tidak jarang kaki, Sky justru terinjak olehnya.
"Kau cantik, Babe. Aku adalah pria paling beruntung di dunia ini," pujinya, dengan tatapan yang berpusta mata netra wanitanya.
“Tidak, aku yang beruntung mendapatkan juara dunia MotoGP dan F1 ‘kan?” elak, Freya.
“Kita mendapatkan keberuntungan yang setera.” Sky membelai kedua pipi Freya.
Pria itu menghentikan tariannya. Mereka berdiri di samping jendela kaca lebar dengan lukisan nyata Tuhan menjadi ikon terbaik. Pria itu mengelus dalam garis pipi Freya dan mulai—
Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.“Kau— tidak ada yang lebih
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky.
“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya ber
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tida
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak dipungkiri olehnya, apa yang dilihat di depan mata saat ini adalah baran
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungkin tumpukan piring di rumah sudah menunggunya untuk dicuci.“Baiklah, kalau begitu maukah kamu ikut denganku? Kita ke rumah, aku akan kenalka
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet serta sofa dari jaman Divya ada hingga sekarang tidak bergeser seinci pun.
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka