Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungkin tumpukan piring di rumah sudah menunggunya untuk dicuci.“Baiklah, kalau begitu maukah kamu ikut denganku? Kita ke rumah, aku akan kenalka
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet serta sofa dari jaman Divya ada hingga sekarang tidak bergeser seinci pun.
Sean tidak sabar menunggu kembalinya, Freya. Hingga tiba di ambang pintu ia melihat gadis yang dia nantikan tersungkur dengan muka memar di pipi. Tidak hanya itu, ada bekas tusukan kuku di lengannya.“Siapa yang lakukan ini, Freya?” Pria itu tidak habis pikir. Freya hanya seorang wanita. Dia patut dilindungi bukan justru dianiaya seperti itu. Sean juga penasaran siapa pelakunya. Jikalau pelakunya kabur seharusnya dia melihatnya di depan gang bukan?“Kita harus segera pergi, Sean. Aku sudah dapatkan apa yang dibutuhkan,” ajak, Freya tanpa mau menjelaskan rasa keingintahuan yang melanda oleh Sean.“Tunggu, aku ingin tahu kamu kenapa dan siapa yang melakukannya,” hadang, Sean.“Aku akan jelaskan nanti di mobil,” lirihnya.Tanpa diminta lagi, keduanya keluar dari rumah. Sean masih mengedarkan pandang di dalam rumah Freya, hingga gadis itu menarik tangan besarnya. Dia tidak rela melihat Freya yang tadinya penuh dengan semangat menggebu, lalu tiba-tiba menangis tanpa daya hingga terluka fisi
Sebuah poster informasi tentang nobar yang akan diselenggarakan di resto tempat Freya berada saat ini. Minggu depan siaran langsung pertandingan balap motogp akan dipertontonkan dan tempat itu menggelar di rooftop restoran. Itulah yang menyita perhatian Freya, hingga dia tidak lekas memesan apa yang ingin dimakan olehnya.Sean menatap ke arah yang dituju oleh netra kekasihnya. Pria itu mengembuskan napas dengan perlahan.“Sebelum itu dimulai, kita sudah tiba di sana, Sayang. Kumohon jangan terlalu banyak pikiran,” pinta Sean. Dia sangat mencemaskan kondisi janin Freya. Kendati saat mereka cek up tadi, semuanya tampak normal. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hasilnya akan berbeda jika, Freya terusa mermborbardir pikirannya dengan kecemasan pada orang lain— dengan kata lain, Sean cemburu.“Sedetik pun aku tidak pernah bisa mencegah memikirkan, Sky. Kamu yang katakan sendiri ‘kan? Aku boleh melakukan apa pun.”“Tapi tidak untuk saat ini, Freya.”“Lalu kapan?! Apa aku harus peduli pa
Pukul enam lebih dua puluh menit, Freya dan Sean menjauh dari kolam. Kulit mereka sudah mengerut karena terlalu lama berada dalam air. Ditambah lagi, Freya belum memasukkan sebutir nasi. Kini, masih dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya, tangan kecil itu mencengkeram mi dalam cup.Menghirup uap panas mi serta menyeruput kuah pedas yang menghangatkan tubuhnya.Keduanya duduk di resto kecil yang menghadap ke ladang bunga sedap malam. Aroma wewangian alami dari bunga itu menyeruak menggelitik hidung. Menenangkan kendati sedikit mistis."Andai aku hidup di sekitar sini. Aku pastikan setiap hari akan berendam di sana," kelakar Freya sembari menunjuk ke arah kolam yang sebelumnya sudah merendamnya selama dua jam.Sean tersenyum tipis seraya mengangguk. Mulutnya masih penuh dengan mi instan yang sama.Dering ponsel dalam saku Sean membuat keduanya tersadar. Freya sudah menitipkan benda itu sejak menginjakkan kaki di lokasi itu."Oh! Dinda, aku belum memberinya kabar, Sean. Dia pasti menung
Sean mengusap wajah dengan senyumnya yang tidak habis kira dengan pikirannya sendiri. Ia mati-matian mencemaskan kondisi gadis yang saat ini masih menikmati pelukan mimpi."Terima kasih, maaf merepotkan, ya," ungkapnya pada housekeeping.Sepagi ini Sean sudah membuat onar dengan para petugas. Nyatanya, apa yang dia takutkan tidak terjadi sama sekali.Freya tidur dengan nyaman dan nyenyak di ranjang luas nan empuk itu.Pria dengan kaos putih oblong itu duduk di bibir ranjang. Menatap wajah yang begitu polos dan sendu.Tangan Sean terulur membelai dengan lembut wajah ayu dan berseri milik wanita yang—jika bisa, ia ingin miliki sendiri."Kamu membuatku takut, Sayang."Bisakah kamu tidur lebih lama agar aku bisa memandang, membelai dan memilikimu untukku sendiri? Menatapmu terlelap jauh lebih baik ketimbang saat kau membuka mata. Kamu selalu mengingatnya, bukan aku, batin Sean."Hhh aku mau minum punyamu, Sky. Kamu curang—" Tiba-tiba gadis yang masih terpejam itu mengigau. Bahkan dalam mi
Sepanjang perjalanan pulang. Freya tidak banyak bicara. Ia hanya membisu di bangku. Mungkin apa yang sempat terpendam mencuat kembali. Mungkin juga dia kembali ingat akan semua permasalahan yang tengah dihadapi. “Aku ingin mengajakmu bertemu seseorang. Mungkin kamu tidak akan mau, tapi ini untuk kelancaran rencana besok, Freya.” Saat itu gadis bermata hitam pekat tersebut menoleh ke arah Sean. “Jangan bilang kalau itu ayah kandungku.” Tidak perlu menjawab, hanya dengan anggukan saja, Freya sudah tahu keabsahannya. “Bagaimana kamu menemukannya?” Suara Freya mengecil. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. “Bagas meminta bantuan anak bengkel untuk mencari tahu. Kebetulan orang bengkel itu banyak, Sayang. Jadi dia bisa cepat ketemu.” “Kalau secepat itu berarti dia dekat denganku?” Kedua kali Sean mengangguk. “Apa yang harus aku katakan padanya? Haruskah aku memakinya?” Freya tersenyum getir. Senyum yang sama seperti saat Sean mendapati kekasihnya membanggakan adik kandungnya se
Dua manusia yang duduk bersebalahan. Freya dan Sean, saat ini tengah melakukan ijab kabul. Tidak ada yang istimewa dari acara itu. Bahkan tamu pun tidak ada. Hanya ada ayah dan ibu kandung Freya, Bagas, dan dua saksi dari pengadilan agama.Tidak ada pesta meriah. Tidak ada gaun bermandikan permata, tidak ada permadani yang terbentang untuk menyambut kehadiran mereka. Semuanya serba minimalis. Bukan, Sean tidak mampu memberikan kemewahan serta pesta pernikahan yang menjadi impian calon istrinya. Akan tetapi, ada perasaan yang harus dijaga oleh Freya dan juga Sean. Kendati yang terlihat— Sky sama sekali tidak peduli akan hal itu. Namun, Freya peduli sepenuhnya.“Saya terima nikahnya, Freya Kayyona putri bapak Adam Bachtiar dengan mas kawin berupa emas seberat lima puluh gram dibayar tunai.” Sang penghulu menoleh pada dua saksi dan teriakan kata ‘sah’ itu terdengar oleh tujuh pasang telinga yang ada di ruangan itu.Sean menoleh ke arah Freya dan wanita itu mencium punggung tangan suaminya