Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.
Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.
Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.
“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.
“Kau— tidak ada yang lebih membuatku ragu kecuali kau, Babe,” rintihnya.
Sekarang, telapak tangan besar itu berada di tengkuk Freya. Ujung ibu jarinya masih mampu menyentuh bibir Freya dan mengelusnya seakan meminta izin untuk kembali meraupnya.
“Aku pun—” ucap Freya terhenti. Ia merasa harganya begitu murah.
Nyatanya, memang tidak pernah ada yang menjual mahal pada Sky. Bahkan dimiliki oleh pria itu secara cuma-cuma pun tidak akan ada ruginya. Wanita di luar sana juga akan melakukannya jika, pria itu sehebat dan seterkenal, Sky.
Tanpa menunggu lebih lama, keduanya kembali beradu mulut, bukan pertengkaran, melainkan peraduan yang manis. Saling bertukar saliva. Saling menyalurkan rasa penasaran yang menyerang secara bersamaan. Mengikis jarang yang hanya sejengkal demi mempererat dekapan.
Leguhan Freya terus lolos dengan mudah dari mulutnya. Jemari kurusnya menjerat rambut Sky yang mulai memanjang. Mengalirkan dan membagi apa yang diresahkan oleh Freya pada kekasihnya.
“Kau sungguh tidak akan menghentikanku?” ulang Sky. Ia hanya tidak ingin berhenti di tengah jalan setelah gairahnya memberontak dalam dirinya.
“Kau belum mencobanya, Sky,” balas Freya dengan suara parau.
Secara brutal, Sky kembali melumat bibir Freya dan kedua tangannya menanggalkan satu persatu pakaian yang dia kenakan. Kemudian milik Freya. Napas mereka memburu, seolah tengah marathon di siang bolong.
Sampai pada apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Hal yang seharusnya tidak terjadi dan menghancurkan kehidupan serta mimpi, Freya.
“Aku belum memasangnya, Babe,” tutur Sky terenggah. Ia belum menggunakan pengamannya. Namun, ia tidak kuasa menunggu walau hanya sekadar merobek bungkus dari alat kontrasepsi tersebut.
Freya justru menggeleng dan menatap penuh harap pada pria itu. Memuja, mendamba, dan sangat mengharapkan kehadirannya. Ia juga tidak kuasa menunggu barang satu menit lagi. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyingkirkan akal sehatnya, ya— nafsu.
“You can do it,” bisik Freya. Ia mendekatkan wajah Sky agar bisa menjangkau bibir pria itu. Menggigit bibir bawah Sky dengan mata terpejam erat.
Sky mendorong dirinya dan— semua akan berubah setelah kejadian itu. Mereka hilang arah, melakukan dosa termanis yang sebelumnya hanya menjadi anggan dan bayangan. Adegan demi adegan yang dulu hanya bisa dinikmati dari film semi erotik kini mereka peragakan. Mereka rasakan dan akan terus mereka ulang demi kepuasan.
Desahan panjang keluar dari mulut Sky, bahkan dia tidak sempat melepaskan diri dari kenikmatan yang tercipta. Mereka telah berbuat sangat jauh. Bahkan Freya tidak terlihat ketakutan. Keduanya menikmati penyatuan yang belum seharusnya.
**
“Kamu baik-baik saja, Freya?” Tepukan disertai suara dari balik bahu Freya seketika membawa kesadarannya kembali. Entah sudah berapa lama gadis itu duduk melamun di sana dan hujan masih setia mengguyur kota ini. Seakan semesta ikut menangis dan menyayangkan nasib malang Freya.
Perempuan itu membawa pandangan pada sosok yang basah kuyup di sisinya. Ia memang memakai payung tetapi, itu tidak berhasil menghalau tetesan air yang berjumlah ribuan kubik.
“Sean?” Mata Freya berkaca-kaca dia tidak percaya melihat pria itu sekarang.
“Ini khayalanku saja ‘kan?” gumamnya. Ia memejamkan matanya untuk mengusir pandangan mata yang sempat kabur. Dia kira, melihat Sean sekarang hanyalah delusi karena kesedihan yang menyerangnya. Karena rasa putus asa yang menjerat dirinya. Serta penyesalan yang menggulung kesadarannya.
“Tidak, ini benar aku. Aku sudah kembali.” Sean membelai lembut pipi Freya. Pria itu terkejut meraskab panasnya tubuh wanita itu. Dia demam. Mungkin karena, terlalu lama berada di luar ruangan.
“Kita masuk dulu, Freya. Kamu demam,” ajaknya. Hendak menarik pergelangan tangan Freya, tetapi ditolak oleh wanita itu.
“Tidak! Jauh-jauh dariku. Berhenti memberiku perhatian, Sean. Kita tidak akan bersama. Lupakan impianmu, lupakan aku, lupakan kita pernah bersama.” Freya menepis tangan Sean dengan kasar kemudian dia nekat berlari menembus hujan. Membiarkan tubuhnya basah oleh tangisan alam. Ia terus berlari menjauh dari Sean.
Akan tetapi, pria itu tidak berdiam diri semata. Ia mengejar Freya. “Tunggu, Freya. Tidak masalah jika kau membenciku. Setidaknya pikirkan bayimu.”
“Berhenti ikut campur urusan bayiku, Sean! Kamu bukan siapa-siapa baginya, jangan berbuat lebih jauh!” bentak, Freya. Ia masih saja keras kepala.
“Tidak bisa, Freya. Kamu boleh saja mengacuhkan aku, tapi kamu tidak berhak menjauhkanku darinya. Dia keponakanku. Jika, Sky tidak mau bertanggung jawab, aku siap menjadi ayahnya.”
“Hentikan! Kau sungguh tuli, Sean?! Aku katakan ratusan kali, jangan pernah bermimpi untuk menikahiku! Aku lebih baik menjadi wanita hina dengan hamil tanpa suami ketimbang harus menikah denganmu!” Kembali, ia menjauh dari pria itu.
Namun, tak gentar juga Sean memaksa gadis kepala batu itu. “Aku tidak akan menyerah, Freya. Aku akan berjuang untukmu. Untuk anakmu dan buah hatimu,” tutur Sean dengan sungguh-sungguh.
Freya menangis. Air matanya tersapu oleh hujan seketika. Wajahnya parau. Ia menatap muka Sean dengan saksama kemudian memeluk tubuh jangkung di hadapannya. Dia merasa tidak pantas untuk laki-laki itu. Namun, sampai detik ini juga, Freya tidak mampu berdiri sendiri.
“Apa salahku? Kenapa Sky tidak mau menikahiku, Sean? Apakah aku wanita yang buruk?”
“Bukan. Kamu bukan wanita buruk, Freya. Dia mencintaimu. Dia menyukaimu. Kamu tahu betul alasannya. Sky memiliki impian yang sejak dulu ingin dia raih. Impian ayah kita.”
“Tapi, Ayahmu dan ayahnya sudah tiada ‘kan? Kenapa dia harus melanjutkan apa yang tidak seharusnya dia lakukan, Sean?”
Pria itu mendekap kian erat tubuh Freya yang menggigil. Membiarkan hujan membalut tubuh mereka, Sean sudah kehilangan payung biru miliknya sejak mengejar gadis itu.
“Kemarilah.” Sean membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan penghangat di bangku kemudi dan satu bangku di sebelahnya.
Sean juga meraih jas yang ada di bangku belakang. Ia tutup kedua bahu Freya agar lebih hangat. Bibir gadis itu pucat, badannya menggigil. Sean menggenggam tangan kurus Freya dengan sesekali meniupnya.
“Jangan pikirkan hal lain kecuali kesehatanmu dan janinnya, ya. Bolehkah aku minta kau untuk bedrest, Freya?”
“Aku—"
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky.
“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya ber
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tida
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak dipungkiri olehnya, apa yang dilihat di depan mata saat ini adalah baran
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungkin tumpukan piring di rumah sudah menunggunya untuk dicuci.“Baiklah, kalau begitu maukah kamu ikut denganku? Kita ke rumah, aku akan kenalka
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet serta sofa dari jaman Divya ada hingga sekarang tidak bergeser seinci pun.
Sean tidak sabar menunggu kembalinya, Freya. Hingga tiba di ambang pintu ia melihat gadis yang dia nantikan tersungkur dengan muka memar di pipi. Tidak hanya itu, ada bekas tusukan kuku di lengannya.“Siapa yang lakukan ini, Freya?” Pria itu tidak habis pikir. Freya hanya seorang wanita. Dia patut dilindungi bukan justru dianiaya seperti itu. Sean juga penasaran siapa pelakunya. Jikalau pelakunya kabur seharusnya dia melihatnya di depan gang bukan?“Kita harus segera pergi, Sean. Aku sudah dapatkan apa yang dibutuhkan,” ajak, Freya tanpa mau menjelaskan rasa keingintahuan yang melanda oleh Sean.“Tunggu, aku ingin tahu kamu kenapa dan siapa yang melakukannya,” hadang, Sean.“Aku akan jelaskan nanti di mobil,” lirihnya.Tanpa diminta lagi, keduanya keluar dari rumah. Sean masih mengedarkan pandang di dalam rumah Freya, hingga gadis itu menarik tangan besarnya. Dia tidak rela melihat Freya yang tadinya penuh dengan semangat menggebu, lalu tiba-tiba menangis tanpa daya hingga terluka fisi