“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call.
Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.
“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.
“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”
“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”
“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”
“Percayalah aku akan baik-baik saja.”
“Hm—”
“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya bersemangat.
Bagaimana tidak? Mereka sudah terpisah selama dua belas bulan. Bahkan baru sebulan mereka menjalin hubungan, Freya sudah harus berpisah jauh dari pria itu.
“Serius?” Matanya seketika berbinar. Bahkan senyum manis yang teramat dirindukan oleh Sky terukir jelas di bibir Freya yang indah.
“Tentu saja. Aku punya waktu satu bulan kalau pertandingan ini berhasil, Babe. Setelah itu F1 sudah menungguku.”
“Kalau kau menang bertanding kali ini, berarti sudah berakhir ‘kan permainannya? Kamu janji setelah menang juara dunia kamu akan berhenti.”
“Tidak. Bukan begitu. Juara dunia bukan hanya sekali, Babe.”
“Maksudmu kamu akan tetap bermain?” sela Freya.
“Ya—”
“Cukup! Aku benci sama kamu, Sky! Kamu terlalu berambisi untuk menjadi juara dunia. Kamu ngerti nggak sih gimana takutnya aku? Gimana aku terus berjanji sama diriku sendiri agar bisa buat kamu berhenti main bahaya? Sky, kamu masih muda, kamu bisa cari pekerjaan yang lebih aman ‘kan? Kenapa musti balapan,sih?”
“Karena ini impianku dan papaku, Babe. Aku sudah katakan ribuan kali ‘kan?”
“Tapi papamu udah nggak ada! Kamu nggak harus terus jalani itu kalau nggak mau kan?!”
“Kata siapa aku nggak mau, Freya?! Papa nggak ada demi ini. Aku cinta hobi dan pekerjaanku, sama seperti aku cinta kamu! Kenapa, sih kamu selalu egois?”
“Egois bagaimana?! Kamu yang egois! Aku yang terus-terusan harus turuti apa katamu. Aku yang harus sabar dengan caramu menjalani hidup penuh dengan bahaya. Pernah nggak, sih, kamu mikir gimana hancurnya aku kalau kamu kenapa-kenapa?! Pernah nggak kamu mikirin perasaanku setiap lihat kamu bertanding? Pernah nggak?!”
Melihat tangis dan air mata di wajah Freya membuat Sky serba salah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang. Ingin rasanya, ia menghapus air mata yang meleleh di pipi kekasihnya. Akan tetapi, jarak memisahkan mereka.
“Aku—” Panggilan itu diputus secara sepihak oleh Freya. Gadis itu meraung di bawah meja kasir.
“Permisi!” Sampai suara itu mengharuskan Freya untuk bangkit dan memasang wajah baik-baik saja yang selalu dia perlihatkan pada semua orang.
“Sudah? Ada membernya, Kak?” Suara Freya serak. Matanya sembam dan basah. Pelanggan yang berdiri dibalik meja kasir itu hanya menjawab dengan anggukan kepala dan mengulurkan sebuah member card.
“Terima kasih, selamat datang kembali.” Template yang selalu diserukan Freya setelah melakukan tugasnya.
[Aku minta maaf, Babe.] sebuah pesan yang hanya dibaca oleh Freya. Ia tidak berniat untuk membalas pesan tersebut.
Sampai jam pulang pun, Freya mengabaikan pesan dari Sky. Ia kembali memesan ojek online. Senyum dan keramahannya seolah memudar. Sepanjang perjalanan gadis itu hanya menutup rapat mulutnya. Membayar uang pas lalu merangsek dalam gang rumahnya.
“Ini baju siapa?” Belum juga Freya beristirahat, dia sudah harus ditodong dengan pertanyaan dari sang ayah.
“Baju orang, Pak. Tadi aku nggak sengaja tumpahin soto, jadi kudu aku cuci.”
“Buat Bapak, ya?” Freya mengangkat pandang.
“Jangan, Pak. Aku mau kembalikan itu besok. Lagian kenapa, sih bapak kurang kerjaan banget, sampe ngorek-ngorek baju di bak,” gerutu, Freya.
“Bapak lihat bajunya bagus, ya bapak ambillah.”
“Jangan, Pak. Kembalikan,” pinta Freya.
“Kamu beli yang baru saja lagi buat ganti baju ini.”
“Pak, itu baju mahal. Uang gaji aku nggak bakalan cukup buat gantiin itu.”
“Justru ini baju mahal, makanya buat bapak saja.”
“Pak! Aku capek, aku baru pulang! Mau istirahat, Bapak kaya bocah! Nggak bisakah hanya gangguin aku tanpa hal-hal yang lain? Aku capek, Pak! Aku pengen istirahat!” Freya sudah tidak bisa menahan dirinya.
Ia punya ayah tetapi ia kehilangan peran dari pria yang terus dia panggil ‘Bapak’ itu.
“Dasar pelit! Anak nggak tahu diuntung. Coba kalau bukan karena Bapak, kamu juga nggak bakalan hidup di dunia ini.” Laki-laki paruh baya itu melemparkan pakaian setengah basah itu ke muka Freya.
Ingin sekali Freya membantah ucapan itu. Dia bahkan tidak minta dilahirkan. Terlebih dalam kondisi seperti ini. Di mana letak keberuntungannya?
Namun, Freya lebih memilih diam. Dia tidak ada tenaga lagi untuk meladeni ucapan sang ayah. Freya masuk dan langsung ke kamar mandi. Mencuci kemeja dan jas itu. Dia harus lekas mengembalikannya sebelum ayahnya nekat memakai pakaian itu sebagai gaya-gayaan.
**
Setelah jam kerja di rumah makan modern itu berakhir, Freya kembali memesan ojek. Kali ini tujuannya bukan rumah, melainkan alamat kantor Sean yang ada di gagang payung itu.
“Gila! Ini jauh banget, aku bisa telat,” gumamnya. Seraya menantikan ojek itu datang. Butuh waktu setengah jam baginya ke tempat Sean. Artinya dia tidak bisa mampir ke rumah.
“Pak! Ngebut, ya!” Begitu ojol itu datang, tanpa menunggu Freya langsung memberinya intruksi. Ia menyahut helm dan memakainya dengan cepat.
Motor itu terus melaju dengan kecepatan sesuai keinginan Freya. Beruntung tidak ada drama kemacetan di kota ini.
Dua puluh menit kemudian, dia tiba di depan bangunan besar dan tinggi. Freya menatap takjub. Berandai-andai jika dia bisa bekerja dan menjadi bagian di dalamnya.
“Pak, tunggu di sini, ya.”
“Siap, Mbak.” Freya lekas merangsek memasuki bangunan maha megah itu.
Gaya Freya yang mencurigakan langsung menyita perhatian dari petugas jaga. Tentu saja mereka harus waspada dengan wanita-wanita yang bertampang polos layaknya Freya.
“Mau cari siapa, Mbak?”
“Ah— kebetulan. Saya mau cari, Om Sean,” ucapnya enteng. Jelas, satpam itu mengira bahwa Freya adalah keponakan dari atasannya.
“Oh— Mbak, keponakannya? Tapi, perasaan Tuan—”
“Iya, Pak. Ayo, buruan! Saya nggak ada waktu buat nunggu. Kalau, Om Sean tahu keponakannya menunggu lama, Anda bakalan kena masalah!” ancam, Freya menakuti pria di depannya.
“Eh— baik. Nona tunggu di sini saja, ya.”
“Tapi cepat, ya, Pak! Saya tidak ada waktu,” katanya. Freya duduk dengan rasa tidak sabar.
Sepuluh menit berikutnya dia bisa melihat Sean berjalan mendekatinya. Bahkan senyum tipis itu sudah terkembang jauh sebelum pria itu tiba di sisi Freya.
“Maaf, Om. Aku harus berbohong sama satpam. Aku tidak ada waktu buat nungguin Om.”
“Oke tidak apa-apa. Jadi— kenapa kamu datang?”
“Ini— terima kasih untuk payungnya dan maaf untuk kemeja serta jasnya,” balas Freya. Ia menyodorkan paper bag hitam.
Sean menerima paper bag itu dengan senyuman. “Tidak perlu buru-buru sebetulnya.”
“Tidak bisa begitu. Barang-barangmu tidak aman berada di rumahku.”
Alis Sean terangkat, aneh dengan pernyataan Freya. “Kenapa begitu?”
“Banyak maling baju branded,” kelakar Freya. Hal itu mampu memancing gelak tawa Sean.
“Ada-ada saja. Baiklah, mau mampir ngopi?”
“Tidak, aku harus ke toko yang waktu itu. Aku sudah terlambat, Om.”
“Oh— aku antar.”
“Eh—”
“Ayo! Katamu sudah terlambat ‘kan?”
“I— iya. Tapi aku sudah—”
“Sudah, ayo!” Tangan besar Sean sudah menggenggam pergelangan tangan Freya. Mereka keluar dari lobi. Freya harus meminta izin membatalkan ojolnya dan membayar tagihan sebelumnya.
“Sekali lagi terima kasih, Om,” ucap Freya dalam perjalanan menuju lokasi kerja keduanya.
“Tidak masalah, jangan panggil, Om. Aku tidak setua itu.”
“Tetap saja lebih tua dariku ‘kan?”
“Tidak juga. Anggap saja lebih dewasa dari kamu,” tandas Sean.
“Dih— sama aja ‘kan?” Sean tersenyum. Mereka tidak terlihat berbeda jauh.
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tida
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak dipungkiri olehnya, apa yang dilihat di depan mata saat ini adalah baran
Freya menatap tajam mata Sean. Siap untuk memakinya.“Kenapa?” tanya Sean dengan polos. Dia memang tidak merasa bersalah dalam hal apa pun.“Kenapa? Kamu tanya kenapa? Di dalam kita hanya pura-pura, Sean! Kenapa, kamu tidak katakan saja kalau kamu bahkan tidak ingin tahu tentang apa yang dikatakan oleh Dokter?” sanggah Freya berapi-api.“Tentang apa? Oh— tentang berhubungan itu? Aku bahkan sudah lupa apa yang dikatakan oleh Dokter.”“Itu kamu ingat ‘kan? Aku malu, Sean!”“Hei, tenang. Kalau aku katakan apa yang sebenarnya terjadi, sia-sia saja dong apa yang aku lakukan sejauh ini?” Sean kembali menjerat jemari Freya dengan lembut. “Sudah, ya. Sebaiknya kita jalan. Kamu mau ke mana? Mumpung libur kamu bisa jalan-jalan. Aku akan temani,” tambah Sean.“Aku ingin pulang,” tolak Freya. Dia bahkan tidak ada waktu untuk bersenang-senang selama ini. Mungkin tumpukan piring di rumah sudah menunggunya untuk dicuci.“Baiklah, kalau begitu maukah kamu ikut denganku? Kita ke rumah, aku akan kenalka
Mobil HRV putih yang dikendarai Sean dan Freya sudah memasuki halaman rumah. Kediaman yang masih menyimpan sejuta kenangan indah dari kedua orangtuanya.Sean memutar langkah guna membuka pintu untuk Freya.Sama layaknya Divya dulu, Freya pun dibuat takjub dengan tanaman yang memenuhi halaman rumah serta di bagian lantai peling tinggi, ia melihay tanaman hias yang bergelayut menjuntai ke bawah."Ayo!" Sean menggandeng tangan Freya sarat akan kasih."Ini rumahmu?"Sean mengangguk. "Juga Sky dan dua adikku yang lain.""Kalian empat bersaudara?""Ya. Sky tidak pernah bercerita?" Freya menggeleng, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kekasihnya.Sky hanya terus membahas tentang masa depan mereka kelak serta hobi dan keluarga Freya sendiri. Dia sangat tertutup tentang keluarganya."Mungkin Sky belum menerima kepergian orangtua kita," tandas Sean.Jemari kokoh itu mendorong tuas pintu. Dekorasi dan tatanan bufet serta sofa dari jaman Divya ada hingga sekarang tidak bergeser seinci pun.
Sean tidak sabar menunggu kembalinya, Freya. Hingga tiba di ambang pintu ia melihat gadis yang dia nantikan tersungkur dengan muka memar di pipi. Tidak hanya itu, ada bekas tusukan kuku di lengannya.“Siapa yang lakukan ini, Freya?” Pria itu tidak habis pikir. Freya hanya seorang wanita. Dia patut dilindungi bukan justru dianiaya seperti itu. Sean juga penasaran siapa pelakunya. Jikalau pelakunya kabur seharusnya dia melihatnya di depan gang bukan?“Kita harus segera pergi, Sean. Aku sudah dapatkan apa yang dibutuhkan,” ajak, Freya tanpa mau menjelaskan rasa keingintahuan yang melanda oleh Sean.“Tunggu, aku ingin tahu kamu kenapa dan siapa yang melakukannya,” hadang, Sean.“Aku akan jelaskan nanti di mobil,” lirihnya.Tanpa diminta lagi, keduanya keluar dari rumah. Sean masih mengedarkan pandang di dalam rumah Freya, hingga gadis itu menarik tangan besarnya. Dia tidak rela melihat Freya yang tadinya penuh dengan semangat menggebu, lalu tiba-tiba menangis tanpa daya hingga terluka fisi
Sebuah poster informasi tentang nobar yang akan diselenggarakan di resto tempat Freya berada saat ini. Minggu depan siaran langsung pertandingan balap motogp akan dipertontonkan dan tempat itu menggelar di rooftop restoran. Itulah yang menyita perhatian Freya, hingga dia tidak lekas memesan apa yang ingin dimakan olehnya.Sean menatap ke arah yang dituju oleh netra kekasihnya. Pria itu mengembuskan napas dengan perlahan.“Sebelum itu dimulai, kita sudah tiba di sana, Sayang. Kumohon jangan terlalu banyak pikiran,” pinta Sean. Dia sangat mencemaskan kondisi janin Freya. Kendati saat mereka cek up tadi, semuanya tampak normal. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan hasilnya akan berbeda jika, Freya terusa mermborbardir pikirannya dengan kecemasan pada orang lain— dengan kata lain, Sean cemburu.“Sedetik pun aku tidak pernah bisa mencegah memikirkan, Sky. Kamu yang katakan sendiri ‘kan? Aku boleh melakukan apa pun.”“Tapi tidak untuk saat ini, Freya.”“Lalu kapan?! Apa aku harus peduli pa
Pukul enam lebih dua puluh menit, Freya dan Sean menjauh dari kolam. Kulit mereka sudah mengerut karena terlalu lama berada dalam air. Ditambah lagi, Freya belum memasukkan sebutir nasi. Kini, masih dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya, tangan kecil itu mencengkeram mi dalam cup.Menghirup uap panas mi serta menyeruput kuah pedas yang menghangatkan tubuhnya.Keduanya duduk di resto kecil yang menghadap ke ladang bunga sedap malam. Aroma wewangian alami dari bunga itu menyeruak menggelitik hidung. Menenangkan kendati sedikit mistis."Andai aku hidup di sekitar sini. Aku pastikan setiap hari akan berendam di sana," kelakar Freya sembari menunjuk ke arah kolam yang sebelumnya sudah merendamnya selama dua jam.Sean tersenyum tipis seraya mengangguk. Mulutnya masih penuh dengan mi instan yang sama.Dering ponsel dalam saku Sean membuat keduanya tersadar. Freya sudah menitipkan benda itu sejak menginjakkan kaki di lokasi itu."Oh! Dinda, aku belum memberinya kabar, Sean. Dia pasti menung