Satu
1
"Aku hamil," lirih Freya. Tangannya bergetar hebat memegang hasil tes kehamilan. Bahkan air mata tidak bisa dibendung olehnya.
"Hamil? Bagaimana bisa?" Sean mencoba untuk tetap tenang. Dia menarik dagu Freya. Ingin melihat wajah yang biasanya ceria dengan ribuan tawa, tetapi kini terlihat muram.
"Katakan padaku, Freya. Bagaimana bisa?Siapa yang melakukannya?"
Hanya suara isak tangis dari Freya yang terdengar jelas. Gadis itu bungkam tidak ingin menjawab.
"Maafkan aku, Sean. Maaf," sesal Freya. Dia sudah mengkhianati hubungannya. Namun, pengkhianatan ini jauh lebih baik ketimbang hubungannya dengan sang kekasih sebenarnya.
Pria yang begitu sabar menghadapi segala perilaku Freya selama ini, harus dikejutkan dengan berita kehamilan kekasihnya. Bahkan selama ini, dia tidak pernah merusak gadis itu. Dia begitu menjaga dan menghormati Freya.
"Katakan padaku, siapa yang melakukannya? Dia yang melakukan?" Sean mencekal erat kedua bahu Freya.
Gadis itu kian menunduk lebih dalam. Awalnya Freya masih tetap bungkam. Menyembunyikan pelaku. Namun, desakan dari Sean yang tiada henti akhirnya membuat Freya mengangguk.
"Bagaimana bisa? Dia bilang mencintaimu! Tapi kenapa justru membuatmu seperti ini, Freya?"
"Jangan salahkan dia. Aku cinta sama dia. Kami saling mencintai."
"Hanya kamu yang mencintai dia, Freya. Buka matamu, jika dia memang mencintaimu, dia tidak akan melakukan hal gila ini bukan?" Hampir saja Sean meluapkan amarahnya.
Dia tidak ingin menambah beban gadis yang begitu dia kasihi, dia cintai bahkan, dia ingin membawa hubungan ini kejenjang yang lebih serius. Namun, ternyata wanita itu lebih memilih menunggu kekasihnya yang berada jauh di perantauan.
"Dia mau bertanggung jawab 'kan? Bilang padaku kalau dia mau bertanggung jawab, Freya," lirih Sean. Tangannya masih setia mendekap bahu kekasihnya.
Menjadi simpanan gadis itu sudah dilakoni Sean selama satu tahun terakhir. Selama ini dia sadar hanya menjadi badut penghibur Freya. Namun, cinta dan kasihnya tulus. Dia tidak menganggap bahwa Freya hanya menjadikannya pelarian.
Sean benar-benar menghabiskan seluruh pikiran dan cintanya hanya untuk seorang gadis yang sudah memiliki kekasih.
"Tidak. Dia ingin mengejar impiannya, Sean. Dia belum mau menerimaku dan anaknya."
Tangan Sean terkepal. Mulutnya selalu dikunci rapat agar tidak mengumpat di depan wanitanya.
"Ini gila, Freya. Dia dengan sadar melakukan tindakan bodoh ini. Lalu kenapa dengan mudahnya dia menolakmu?"
"Dia tidak menolak, hanya menunggu waktu."
"Sampai kapan? Sampai anakmu lahir dan bertanya siapa ayahnya?"
"Cukup, Sean! Aku tidak ingin kamu terus berburuk sangka dengannya!"
"Kamu bodoh, Freya. Dia harus bertanggung jawab. Aku akan temui dia. Tunjukkan padaku, di mana dia? Di mana dia merantau? Siapa dia, Freya?"
"Tidak! Aku tahu kamu akan memakinya bukan? Harusnya kamu sadar, di sini kamu yang menjadi kedua, Sean. Kamu harus menerima semua kenyataan ini. Kenyataan kalau akhirnya aku akan menjadi milik dia seutuhnya!"
"Bodoh! Kamu sudah rugi banyak hal, Freya. Kamu begitu yakin dengannya, jelas-jelas dia bilang tidak bertanggung jawab dalam waktu dekat, Freya. Dia mengulur waktu dan itu merugikanmu! Sekalipun aku menjadi yang kedua, bilang padaku, pernahkah aku menuntutmu, Freya? Pernahkah aku membuatmu merasa sedih dan direndahkan seperti ini? Kamu—" Sean kehabisan kata-kata.
Dia tidak tahu jika cinta mampu membuat seseorang menutup mata dari fakta. Bahwa dia telah dilecehkan dan dihina mati-matian.
"Freya katakan padaku. Aku janji tidak akan marah atau memakinya. Aku hanya akan bicara dengannya. Aku akan menuntut hakmu dan anakmu. Dia harus bertanggung jawab."
"Kau berjanji?"
"Ya— tentu saja. Katakan di mana dia, siapa dia?"
"Dia seorang pembalap, Sean. Dia berada di London sekarang. Tiga bulan lalu, dia baru saja pulang."
Sean terdiam, dia berpikir banyak hal. Kepulangan pria itu sama dengan jadwal pulang adik laki-lakinya. Bahkan tempat dan profesinya sama dengan adiknya.
"Jangan bilang namanya, Sky," potong Sean.
"Ya. Dia memang Sky, Sean. Kamu mengenalnya?"
Seketika itu, Sean melerai diri dari Freya. Sekuat hati dia menahan agar tidak meledakkan amarahnya, tetapi gagal. Ia menendang kursi yang sempat dia duduki. Tangannya mengepal dengan kuat.
Dia meluapkan amarahnya. Emosinya memuncak, bahkan ia meninju meja berulang kali. Membuat Freya ketakutan.
"Sial! Kenapa tidak dari dulu aku menyadarinya?! Dia adikku, Freya! Dia adikku! Bajingan!"
"Apa? Tidak mungkin!"
"Ini fakta, Freya. Dia adikku! Sky Ahlam Gatra Fahar! Benar?"
"Kamu tahu namanya karena dia terkenal di dunia pembalap."
"Jangan bodoh, Freya! Dia adikku! Fahar adalah nama ayah kita! Ghazi Fahar. Namaku Sean Arshaka Fahar, kau lupa? Kenapa dia melakukan ini? Kenapa?!" Amarah Sean sudah tidak mampu dia tahan lagi. Ia berteriak kesetanan demi menyadarkan Freya.
Mereka mencintai perempuan yang sama. Nahasnya, Sky telah menghancurkan kehidupan gadis yang mereka cintai.
"Aku akan buat perhitungan dengannya." Tanpa persetujuan dari Freya, pria itu pergi. Dia benar-benar akan menghajar adiknya.
**
Menempuh waktu 14 jam lebih delapan menit, Sean benar-benar mendatangi adiknya di London. Bahkan tanpa berhenti untuk beristirahat, pria itu lekas menemui Sky di apartemennya. Menggedor pintu dengan brutal.
Begitu daun pintu itu terbuka, Sky langsung disambut oleh bogem sang kakak. Ia memekik pelan, tidak sempat untuk mengelak.
"Akh! Apa maksud Lo, hah?!" teriak Sky, begitu tahu bahwa sang kakaklah pelakunya.
"Justru seharusnya aku yang tanya! Apa maksudmu menghamili Freya?!"
"Dia hamil karena ceroboh! Dia yang nolak gue pakai pengaman," jawabnya enteng.
"Sinting, kamu, Sky! Kamu sudah hancurkan masa depan orang lain. Lalu kamu tidak mau tanggung jawab dengan dalih ngejar mimpi? Di mana otakmu?!"
"Oh— dia ngadu?" Sky menghapus darah di hidung dan ujung bibirnya.
"Sky, dengar. Kita memang sudah tidak punya orang tua buat mengarahkan hidup kita. Tapi, seenggaknya kamu harus tahu mana baik dan buruknya satu perilaku. Aku bahkan nggak pernah ngelarang kamu buat senang-senang. Tapi pikir pakai otakmu sebelum kamu bertindak."
"Ucapan Lo sepertinya lo tahu apa itu tindakan. Selama ini hidup lo juga cuma buat kerja kan? Mana tau senang-senang? Nggak usah sok bijak."
"Freya wanita, Sky. Dia hamil. Anakmu! Dia bakalan malu kalau sampai kamu nggak nikahin dia!"
"Itu bukan salah gue! Dia yang ngeyel!"
"Kalian pacaran udah lama, Sky! Jangan jadi pengecut!"
"Gue bakal nikahin dia. Tapi nggak sekarang! Gue masih mau raih cita-citaku."
"Lalu bagaimana dengan cita-citanya?! Dia punya keluarga, dia punya adik! Dia tulang punggung keluarganya, Sky!"
"Oh— lo tahu banyak tentang dia sepertinya." Sean terbungkam.
"Kenapa? Lo ada sesuatu dengannya? Nggak mungkin dia ngadu sama lo secepat ini kan? Gue juga nggak pernah kenalin kalian ke Freya."
"Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tugasmu hanya harus bertanggung jawab. Kamu bisa tetap di sini setelah menikahi dia."
"Tidak semudah itu. Stop ngatur gue, karena lo bukan Papa!"
"Aku kakakmu, Sky. Papa udah nggak ada. Itu karenamu! Kamu egois!"
"Justru gue egois demi impian dia yang tertunda! Itu juga karena wanita kan? Gue nggak mau dipenjara layaknya Papa. Nurut sama perempuan sampai mengubur mimpinya sendiri! Jangan munafik, Lo! Sebetulnya Lo ingin di posisi ini kan?"
Tangan Sean terangkat dan kembali membabi buta menghajar adiknya.
"Papa akan kecewa dengar ucapanmu, Sky. Dia mencintai Mama. Dia rela kehilangan apa pun demi Mama."
"Budak cinta!"
"Sky, cukup! Aku ke sini tidak untuk berdebat atau bahkan bertengkar denganmu. Kamu hanya perlu tanggung jawab sama Freya!"
"Dari tadi lo kekeh membela Freya. Gue curiga kalian ada sesuatu. Lagian selama ini Lo nggak pernah tahu apa pun tentang hubunganku sama dia kan? Ini aneh, tiba-tiba lo kenal dia dan ngotot buat gue tanggung jawab. Kenapa?"
Lagi-lagi Sean terdiam. Haruskah dia mengatakan kalau dia menjalin hubungan belakangan ini? Bagaimana jika Sky justru beranggapan jika anak itu adalah anaknya?
[Sky, kamu baik-baik saja 'kan?][Sean tidak melakukan apa pun padamu 'kan?][Sky, aku minta maaf. Tolong balas chatku sekali saja.]Itu adalah tiga diantara puluhan pesan yang sudah dia kirimkan pada Sky. Namun, pria itu belum juga membalasnya hingga malam tiba. Bahkan, Freya rela menunggu balasan pesan itu hingga tengah malam.Pikirannya kian penuh. Dia mengkhawatirkan kondisi kekasihnya, tapi tidak pernah sadar bahwa pria itu bahkan sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Dia justru sibuk dengan botol-botol minuman keras di sebuah bar ternama London.Tidak lama dari pesan itu terkirim. Freya mendengar denting notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ia lekas membukanya. Akan tetapi, bahunya langsung menurun. Semangatnya hilang seketika saat melihat kata demi kata dalam pesan tersebut.[Sudah tidur? Aku harap kamu tetap jaga kesehatan dan tidak memikirkan apa pun kecuali dirimu dan janinmu, Freya.]Itu bukan, Sky. Itu dari Sean. Freya tidak mengharapkan pria itu yang berkabar. Me
Freya menatap derasnya air yang membuncah turun ke jalanan. Air matanya pun sederas tangis pertiwi malam ini. Gadis itu melamun. Merutuki kebodohan yang sudah dia lakukan. Kenangan masa lalu berkelindan dalam ingatannya. Andaikata dia tidak bodoh dan ceroboh semuanya tidak akan pernah terjadi.**“Aku merindukanmu, Babe,” bisik Sky, saat berhasil mendekap tubuh kekasihnya setelah tiga tahun lamanya mereka berhubungan jarak jauh. Menikmati feromon yang menggelitik cuping hidungnya.Baik Sky dan Freya dilimpahi akan kebahagiaan dan suka cita. Euforia menumpahkan kerinduan itu mereka nikmati.Freya tidak mampu bertutur kata, ia hanya terus mendekap tubuh pujaan hatinya dan menghirup aroma yang menguar di balik baju kekasihnya. Sekadar mengedipkan mata— andaikan bisa— ia tidak akan melakukannya. Ia hanya ingin selalu menatap dan menikmati mahakarya Tuhan yang ada di hadapannya saat ini.Sejauh ini, Freya hanya mampu melihatnya lewat layar ponsel ataupun televisi, sekarang dia bisa mendekap
Jari-jari Sky mulai menjalari wajah Freya. Meniti pahatan sang agung yang tumbuh dan bernapas di hadapannya sekarang. Mulai dari hidung, mata, dahi, dagu, dan gerakannya terhenti di bibir Freya yang selalu tampak lembab dan basah.Mata Freya terpejam demi menyelami rasa yang berkejaran di seluruh aliran darahnya. Syarafnya menegang dan tubuhnya bergetar hanya karena sentuhan lembut yang diberikan oleh Sky. Untuk sekian kalinya, Freya terrbuai.Awal mula dari kehancurannya di masa depan. Permulaan dosa yang banyak digandrungi para pasangan di luar sana. Dosa yang terbungkus dengan kenikmatan dunia semu.“Kau tidak akan menolakku bukan?” lirih Sky dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Apa yang kamu harap, Sky?” Freya membalas tatapan mata Sky yang tersirat akan rasa penasaran. Andai dia lebih berani, bukan pertanyaan itu yang terlontar. Melainkan ‘Justru aku yang begitu mengharapkanmu’ tetapi, nyali Freya tidak sebesar itu. setidaknya harus menjaga image.“Kau— tidak ada yang lebih
Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky.
“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call. Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”“Percayalah aku akan baik-baik saja.”“Hm—”“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya ber
“Kakak baik-baik aja ‘kan? Aku lihat dari tadi melamun terus, makanan juga nggak disentuh,” celoteh Dinda. Gadis itu membetulkan kacamata fasionnya sembari menyedot ingus yang hendak mencuat keluar dari hidung.Freya tertawa kecil. Dia bahkan tidak sadar tengah berada di meja makan. Seharusnya dia menikmati sarapan dengan adik bungsunya. Akan tetapi, sungguh bayangan masa lalu di kepalanya tidak mudah disingkirkan. Freya hanya ingin mengingat semua kenangan sebelum dirinya dinyatakan hamil.“Kakak baik, kok. Minum obat, Din. Nanti kalau pas pelajaran kamu bersin terus ingusmu keluar— ih! Apa nggak malu sama temenmu?” ujar Freya.Hal itu disambut dengan tawa renyah Dinda. Dia selalu bawa tisu untuk persiapan. Anak perempuan memang selalu memperhatikan penampilan.Freya sadar, dia tetap harus membagi kasih sayangnya dengan sang adik yang memang sudah kehilangan perhatian dari orang tua. Sering kali, Freya kesal dengan kehidupannya. Apalagi sekarang, dirinya sudah berbadan dua, bagaimana
Freya berjalan begitu saja melewati keberadaan tamunya. Bagaimana tidak Sean-lah yang datang ke rumahnya. Mulut gadis itu terasa berbusa, dia sudah katakan tidak ingin ditemui oleh pria itu, tetapi Sean benar-benar kepala batu.“Freya, tunggu!” Laki-laki itu bangkit dan mengejar Freya yang berjalan dengan langkah cepat. Dia bahkan sibuk memainkan ponselnya untuk memesan ojek online.Panggilan, Sean sama sekali tidak diindahkan oleh Freya. Dia tetap terus melangkah hingga hampir tiba di ujung gang, Sean menghadang jalan. Menutup akses Freya agar tidak lagi menghindar darinya. Tangan Sean terangkat dan menekan kedua lengan Freya.“Freya. Aku tahu kamu membenciku. Aku tidak menutup fakta itu. Aku hanya ingin melihatmu senang, Freya.”“Jika itu yang kamu inginkan, jauhi aku! Pergi jauh dariku Sean! Menghilanglah! Itu adalah kebahagiaanku! Kamu tahu aku menyesal menerimamu! Aku menyesal mengenalmu!” Freya histeris.Semua ini karena hubungan mereka. Freya kehilangan Sky karena Sean. Sky tida
Sebelum keluar dari mobil, Sean mencekal tangan Freya. Gadis itu menoleh dan mempertanyakan apa yang dilakukan oleh pria di sisinya tersebut.Sean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berbentuk geometris. Transparan dan tampak jelas isian kotak itu.Ia menyodorkannya pada Freya. "Bukalah.""Tolong jangan secepat ini, Sean," tolak Freya."Tidak. Dengar, kamu pakai untuk saat ini saja. Kamu tidak mau 'kan di dalam orang berpikir macam-macam tentangmu?"Kendati itu hanya sebuah alasan untuk Sean, tetapi niatnya lurus. Dia menjaga nama baik Freya.Sean sama sekali tidak mau kalau Freya dipandang buruk oleh orang lain, bahkan adiknya sekalipun."Setelah itu aku akan melepasnya."Sean mengangguk menyetujui. Akhirnya tangan kecil milik Freya meraih kotak yang berbahan kaca itu dari tangan Sean.Senyum Sean merekah, dia senang. Dia bersyukur Freya memahami jalan pikirannya.Freya membukanya. Tidak dipungkiri olehnya, apa yang dilihat di depan mata saat ini adalah baran
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka