Ruangan dengan nuansa putih dan bau karbol serta obat-obatan menyelimuti kamar perawatan Freya. Gadis itu sudah dipindahkan sejak satu jam yang lalu. Namun, belum juga ia ingin mengatakan apa pun pada Sean. Padahal, pria itu terus bertanya tentang apa yang dirasakan oleh ibu muda itu. "Kalau kamu sudah kentut atau ingin kentut, keluarkan saja, Freya. Jangan ditahan, biar kamu bisa minum. Kamu pasti haus kan?" ucapnya sembari menatap wajah pucat mantan istri yang bahkan belum pernah dia sentuh sekali pun. "Kenapa kamu di sini?" Satu-satunya pertanyaan dari sekian banyak tanya. Kenapa harus pertanyaan itu yang terlontar? Freya seharusnya tahu, hal itu adalah satu diantara soal yang tidak ingin Sean jawab. Namun, pria itu tetap menanggapi dengan sebenar-benarnya jawaban. "Untukmu. Aku sudah mengabulkan apa saja yang kamu mau. Kuharap kau tidak akan melarangku bertemu dengan anakmu ataupun menatapmu, Freya.""Jika kau tuli atau lupa ingatan. Aku ingatkan lagi, kalau aku tidak sudi deka
"Apa maksudmu ninggalin Freya sendirian di rumah sakit, huh?!" Begitu tiba di rumah ia melihat Sky tengah menikmati kopi di tangannya. Pria itu duduk memangku kaki dan menyulut rokok bak tanpa beban dan dosa. Sean mencengkeram kerah baju adiknya. Menatap netra Sky dengan tatapan tajam menghunus. Dengan gerakan santai, Sky menepis kedua tangan Sean. Ia bahkan meniupkan asap rokoknya di wajah sang kakak. "Terus, lo minta gue ngapain? Menurut lo, gue bakalan bener-bener bertanggung jawab atas apa yang nggak pernah gue lakuin?" ucapnya enteng. "Bajingan!" Sean melayangkan pukulan pada wajah Sky. Sampai gelas yang di pegang pembalap dunia itu terpelanting dan terburai. Pecahan kaca semburat ke segala arah. Bercak kopi hitam mengenai pakaian Sean dan Sky secara bersamaan. Amarah Sean memuncak. Dia tidak lagi menahan diri jika sudah berhubungan dengan Freya. Sky justru tersenyum miring. "Lo yang bajingan! Lo kira gue pantes sama wanita jalang seperti dia?! Lo kira gue mau sama wanita
Setelah menunggu tiga menit lamanya, Arzeta dipersilakan masuk oleh Zia. Gadis itu meniti penampilan wanita yang berdiri dengan memberikan senyum ayu ke arah sang empu rumah. "Cari siapa?" tanya Zia tidak ramah. Dia menyesal menerima semua orang dengan kelembutan dan tangan terbuka. Terakhir kali dia melakukannya, dua kakaknya berseteru dan terlebih sang abang terluka batinnya. "Saya ingin mengembalikan dompet, Tuan Sean. Kemarin jatuh di parkiran warung seblak saya," ungkapnya jelas. "Masuk!" perintah Zia. Sekali lagi dia memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengobati luka yang diderita saudara lelaki tertuanya. Zeta mengangguk dan melangkah masuk. Masih dengan senyum yang senantiasa terkembang di wajahnya. "Maaf berantakan." Zia terus berjalan dan berujar tanpa melihat ke arah tamunya. Mereka tiba di ruang tengah. Benar saja, mata Zeta seketika membola. Namun, dia lekas membawa diri. Bersikap biasa saja tanpa mengedarkan mata kecuali menatap ke arah Sean. "Tuan kenap
“Hasil seluruh pemeriksaan cukup baik, Tuan. Ibu Nia bisa menjadi ibu susu untuk bayi Anda. Nutrisi setiap harinya harus terpenuhi agar kualitas asi juga terjaga dengan baik,” ujar sang dokter sembari menulis beberapa suplemen yang dibutuhkan untuk Nia. Bahkan beliau mengatakan kata ‘bayinya’ Sean memang menjabarkan semuanya dasn tidak pernah mengutarakan bahwa itu hanya keponakannya. Dia menganggap bahwa anak Freya adalah buah hatinya. Anak dari wanita yang dia kehendaki. Wanita yang belum pernah menggeser tahkta tertinggi di relung jiwanya.“Terima kasih, Dokter.” Sean dibantu Zeta bangkit dan menjabat tangan petugas kesehatan tersebut.“Sebaiknya Anda juga harus melakukan pemeriksaan, Tuan,” imbuh dokter laki-laki itu.“Tentu saja.”Ketiganya kini keluar dengan resep terbaik di tangan Nia. Gadis itu membuntuti di belakang langkah Zeta dan Sean.“Nia, kamu antre obat dulu, ya. Saya mau antar, Tuan Sean ke radiologi.” Nia mengangguk. Dia menurut apa saja yang dikatakan oleh Zeta.Set
Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit. Sean sudah pulih. Nia sudah mulai menjalani hidupnya jauh lebih bewarna. Dia rajin memompa asinya. Kemudian mengirimkannya ke rumah Freya sendiri. Bertemu dengan Kinasih yang maha baik. Bahkan, wanita tua itu memintanya untuk menginap di rumahnya saja. Namun, Nia tidak mau. Dia tidak ingin menjadi beban siapa-siapa lagi. Setidaknya, dia bisa mendapatkan pekerjaan tanpa kehilangan pertanda bahwa dirinya pernah memiliki bayi.Sesekali, Nia menjenguk dan menggendong bayi Freya yang hingga kini belum diberikan nama. Sang ibu sendiri sama sekali tidak pernah mendekap bayinya.Fisiknya memang terlihat baik tetapi, Freya masih terguncang dengan jiwanya. Depresi dan hanya ingin berada di kamar sendirian.Zeta semakin sering bertemu dengan Sean. Sekadar berbasa-basi menanyakan kondisi Freya. Kendati dia merasa aneh dalam dirinya saat Sean terus menceritakan segala hal tentang gadis itu.Sean lebih terbuka dengan masalahnya pada Zeta. Wanita itu menjadi
Denting jam berulang empat kali. Setelah semua pertahanan yang tidak terkendali, Freya akhirnya kalah dengan pikirannya sendiri. Dia kehilangan rasionya setelah melihat Sky. Dua jam terlewat tidak mampu menenangkan gadis itu.Mendengar kegaduhan di kamar anaknya, Kinasih lekas-lekas berlari ke kamar Freya. Ia mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Khawatir kalau-kalau gadis itu melakukan hal nekat lainnya lagi.Suara amukan gadis berambut sebahu itu menggema. Ia meraung dan melempar semua yang terjangkau oleh tangannya ke segala arah. Ruangan gelap ditambah sekarang kacau balau.“Nak! Buka pintunya, Freya,” teriak Kinasih. Ia tidak berhenti menggedor penghalang di depannya.Namun, seruan itu tidak dihiraukan oleh sang pemilik kamar. Ia tetap mengamuk dan mengeluarkan suara dengan kencang.Sampai Sean tiba di hunian tua milik keluarga Freya. Tatapannya langsung tertuju ke lantai atas tempat kamar Freya berada.“Pak, ada apa?” tanya Sean saat melihat Adam dengan langkah tergopoh-gopoh hend
Setelah berunding cukup lama, seraya menantikan Freya sadar, keputusan mereka bulat. Setelah pulang dari sini, Freya akan diantarkan ke rumah sehat milik Dokter Kinar. Sesuai nama yang tertera di kartu pemberian dokter sore tadi.Pukul tujuh, Freya sudah membuka mata dengan kondisi yang cukup tenang. Ia tidak mengusir keberadaan Sean. Namun, tatapannya hampa. Semangat berjuang hidupnya melemah. Kesunyian sekarang hanya didapatkan dari obat penenang semata.Kinasih dan Adam harus pulang ke rumah. Nia datang mengantarkan asi dan bayi itu masih saja rewel. Rasanya mereka ingin tetap menunggui Freya, tetapi kondisi keduanya sendiri tidak memungkinkan.“Hai. Feeling better, Freya?” Pertanyaan pertama setelah hampir empat hari Sean menahan diri untuk tidak berbicara dan memicu amarah wanita itu.“Di mana anakku?” Freya justru berbalik tanya dengan pertanyaan yang membuat Sean terkejut.Dia dengar dari Kinasih dan Adam, bahwa sejak dilahirkan, ibu muda itu bahkan tidak pernah mendekap bayiny
Perasaan Sean tidak pernah lebih baik setelah keluar dari rumah sehat Kinar. Pria itu masih berdiri jauh di luar pagar besar gangunan. Rasanya tidak rela meninggalkan Freya di tempat itu. Namun, kembali lagi pada kesehatan wanitanya. Tidak ada yang mengharapkan Freya terluka, baik secara fisik dan mentalnya.“Nak, ayo!” ajak, Adam.Mereka, orang tua Freya sangat paham perasaan Sean. Kinasih terharu dengan kebaikan dan ketulusan Sean. Sayangnya, anak gadisnya tidak memahaminya.“Dia akan baik-baik saja. Freya akan lekas pulih secepatnya, karena tidak melihat luka di tempat ini, Sean,” tambah Adam.Ya! Memang semua orang di dalam sana adalah kehidupan baru. Dalam pikiran Sean hanya bagaimana jika wanita itu kembali mengamuk? Bagaimana jika korbannya bukan hanya dia saja?Sean mengusap wajahnya, kemudian menarik napas dengan sangat dalam. Menarik kembali kesadaran dan ketabahan hatinya, dan menoleh ke arah Adam serta Kinasih yang menunggunya.“Iya, Pak.” Pria itu lantas berjalan mendekat
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka