Mau dikasih gems, dong, Kakak-kakak. biar aku semangat terus doble updatenya. Terima kasih.
Setelah berunding cukup lama, seraya menantikan Freya sadar, keputusan mereka bulat. Setelah pulang dari sini, Freya akan diantarkan ke rumah sehat milik Dokter Kinar. Sesuai nama yang tertera di kartu pemberian dokter sore tadi.Pukul tujuh, Freya sudah membuka mata dengan kondisi yang cukup tenang. Ia tidak mengusir keberadaan Sean. Namun, tatapannya hampa. Semangat berjuang hidupnya melemah. Kesunyian sekarang hanya didapatkan dari obat penenang semata.Kinasih dan Adam harus pulang ke rumah. Nia datang mengantarkan asi dan bayi itu masih saja rewel. Rasanya mereka ingin tetap menunggui Freya, tetapi kondisi keduanya sendiri tidak memungkinkan.“Hai. Feeling better, Freya?” Pertanyaan pertama setelah hampir empat hari Sean menahan diri untuk tidak berbicara dan memicu amarah wanita itu.“Di mana anakku?” Freya justru berbalik tanya dengan pertanyaan yang membuat Sean terkejut.Dia dengar dari Kinasih dan Adam, bahwa sejak dilahirkan, ibu muda itu bahkan tidak pernah mendekap bayiny
Perasaan Sean tidak pernah lebih baik setelah keluar dari rumah sehat Kinar. Pria itu masih berdiri jauh di luar pagar besar gangunan. Rasanya tidak rela meninggalkan Freya di tempat itu. Namun, kembali lagi pada kesehatan wanitanya. Tidak ada yang mengharapkan Freya terluka, baik secara fisik dan mentalnya.“Nak, ayo!” ajak, Adam.Mereka, orang tua Freya sangat paham perasaan Sean. Kinasih terharu dengan kebaikan dan ketulusan Sean. Sayangnya, anak gadisnya tidak memahaminya.“Dia akan baik-baik saja. Freya akan lekas pulih secepatnya, karena tidak melihat luka di tempat ini, Sean,” tambah Adam.Ya! Memang semua orang di dalam sana adalah kehidupan baru. Dalam pikiran Sean hanya bagaimana jika wanita itu kembali mengamuk? Bagaimana jika korbannya bukan hanya dia saja?Sean mengusap wajahnya, kemudian menarik napas dengan sangat dalam. Menarik kembali kesadaran dan ketabahan hatinya, dan menoleh ke arah Adam serta Kinasih yang menunggunya.“Iya, Pak.” Pria itu lantas berjalan mendekat
Mobil hitam Adam terguling. Kinasih terlontar keluar bersama dengan Gatra. Mereka terbanting bersama. Sean memekik melihat kejadian itu. Sementara, kendaraan yang ditumpangi dua pria itu meluncur bebas ke jurang di sisi kiri jalan. Tersangkut di pepohonan agung, kemudian meledak.“Ibu— ibu.” Sean berlarian mendekati Kinasih.Suara tangisan bayi sangat kencang. Setidaknya itu bukti bahwa Gatra masih hidup. Ia lantas meraih tubuh mungil Gatra. Lalu mengguncang tubuh Kinasih berulangkali. Ia juga menatap api yang berkobar sangat besar. Air mata Sean kembali luruh. Membayangkan tubuh Adam dan juga sopir mereka terpanggang di dalam sana.“Ibu bangun, Bu!” teriak Sean. Namun tidak ada pergerakan apa pun dari Kinasih. Sean mendekatkan jari ke hidung Kinasih. Dia tidak merasakan embusan napas. Kemudian ia memastikan dengan menyentuh denyut nadi di pergelangan tangan. Mengulangnya lagi pada pangkal leher Kinasih.“Ibu!” erang Sean.Kinasih sudah tiada. Tubuhnya memang sudah ringkih. Dia sudah
Zeta tiba di rumah sakit. Namun, ia tidak lantas segera masuk. Matanya terus saja menatap ke layar ponsel. Menunggu dengan hati tidak sabar. Sampai sebuah motor berhenti di dekatnya. "Mbak Kanaya Arzeta?' tanya pria berhelm itu. " Betul, Pak. Barangnya mana?" Tangan Zeta menengadah untuk meminta pesanannya. Laki-laki yang namanya tertera di layar ponsel dengan tag Agung itu memberikan pesanan Zeta. "Terima kasih, Pak. Ini tip buat Bapak." Lagi, Zeta mengulurkan tangan guna memberikan sedikit rejeki untuk kurir tersebut. Mereka terpisah. Zeta masuk dan mencari keberadaan Sean. Matanya terus menyapu seluruh lorong. Menjejaki koridor demi koridor untuk menemui pria malang itu. Bola mata wanita berambut panjang itu menangkap sosok tinggi dengan pakaian compang-camping yang dia cari. Zeta berjalan perlahan mendekati laki-laki yang setia berdiri di dekat jendela menatap ke dalam ruangan itu. "Dia akan segera pulih," ujar Zeta saat telah tiba di sisi Sean. Pria itu menoleh kearah ke
Bayi sekecil itu harus merasakan betapa tajamnya jarum menusuk ke dalam kulitnya. Juga gerak terbatas karena penyangga di tangannya. Namun, tatapannya tampak tidak merasakan sesuatu yang besar.Zeta tersenyum melihat wajah manis dengan lidah yang sesekali menjulur karena kehausan. “Dia butuh susu, Sean. Bisa kita menepi dulu?” tanya Zeta.Mereka sudah brada dalam perjalanan kembali ke kota. Setengah jam lagi keduanya akan tiba di kediaman Sean. Pukul sembilan pagi tadi, Gatra sudah diizinkan untuk pulang. Namun, infus tetap terpasang di tangannya. Sehingga Zeta harus setia menggendongnya dan meletakkan cairan yang masuk ke dalam tubuhnya tepat di atas kepalanya. Harus lebih tinggi dari posisi bayinya.“Boleh.” Pria itu memasuki rest area. Lalu memutar tubuhnya untuk mencari perlengkapan susu milik bocah itu. Asi yang sudah siap sedot di bangku belakang. Perawat sudah menyiapkan segala keperluan mereka. Tiga botol 120ml, sudah lebih dari cukup untuk satu jam perjalanan.Setelah pria i
Zia berjalan dengan langkah yang lebar. Jantungnya berdebar tidak karuan, karena mendapat kabar bahwa sang kakak sudah kembali. Dia ingin melihat kondisi Sean. Bahkan, Zia tidak peduli dengan penampilannya yang masih sedikit lusuh. Pakaian belum ganti sejak semalam dan riasan wajah yang belum dihapus pula. "Bang!" serunya saat menjejakkan kaki dalam rumah. Ia berlarian ke sana ke mari mencari keberadaan sosok tinggi tersebut. "Abang!" ulang Zia. Akan tetapi, kali ini dengan suara yang lebih keras. Ia juga melepaskan high heels yang dikenakan, agar memudahkannya untuk melangkah. "Bang Sean! Ke mana, sih?" gerutunya. Mukanya sudah ditekuk, memberengut dan siap untuk melontarkan umpatan manja pada pria itu. "Ba—" Seketika seruannya berhenti saat mendapati siluet asing di taman dekat kolam renang lantai dasar tersebut. Zia memicingkan mata penuh selidik. Lantas berjalan mengendap-endap mendekati lokasi. Ingin tahu siapa gerangan orang yang sudah masuk tanpa izin itu. Kalau maling gi
Sean menatap kepergian Zeta. Kakinya ingin mengikutinya, tetapi sekuat hati dia tahan. Ia putuskan untuk pergi ke dapur. Menyiapkan bahan untuk memulai masak makanan kesukaan adiknya. Menarik wadah berisi udang yang telah dibersihkan kemudian ikan gurame yang ukurannya besar. Lalu pokcoy dan juga brokoli. "Aku bisa bantu," seru Zeta saat telah tiba di dapur. Sean menoleh ke arahnya, melayangkan senyum untuk gadis itu dan memberikan bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. "Duduklah! Kamu bisa kupas bawang ini." Zeta menerima bawang tersebut kemudian duduk di kursi. Ia fokus pada bumbu yang dipegangnya. "Zeta, kuharap kamu tidak serius dengan ucapanmu."Gadis itu menghentikan kegiatannya. Matanya pedih, entah karena bawang atau karena ucapan Sean. Namun, wanita itu berpura-pura tidak mengerti akan arah pembicaraan kali ini. "Serius apa? Mengupas bawang?" tanya Zeta. "Jelas harus serius, dong. Kalau kena tangan gimana?" imbuh Zeta. Suaranya tiba-tiba bergetar. Dia sudah menut
"Aku tidak tahu harus bilang apa, Zeta. Aku tidak ingin melukaimu terus menerus." Zeta menggeleng. "Aku selalu tahu kalau kamu adalah pria baik, Sean. Ucapanmu tanda bahwa kamu tidak sedang menolakku, tapi kau menjagaku, benar, kan?"Sean menarik tubuh Zeta. Memeluknya dengan penuh kasih. Ia juga mendaratkan satu kecupan di bahu wanita itu. Zeta membalas dekapan Sean. Dia tidak akan menyiakan kesempatan ini. Dia mendapat apa yang dia harap pagi tadi. "Maukah kau memperluas sabarmu, Zeta?""Seumur hidup aku akan pertahankan, Sean." Zeta melepaskan pelukannya. Mereka berjarak tetapi ikatan keduanya mulai semakin dekat kali ini. "Tidak. Tidak selama itu, Zeta. Sampai aku mrmastikan kalau Freya sembuh dari depresinya. Bersabarlah. Gatra butuh aku.""Maka dia juga memilikiku, Sean. Apa yang harus kau jaga maka, aku akan menjaganya pula untukmu.""Terima kasih," bisik Sean. Ia menangkup wajah Zeta dan menyingkirkan air mata yang membasahi wajah perempuan itu. "Cie! Ada yang jadian di