Zia berjalan dengan langkah yang lebar. Jantungnya berdebar tidak karuan, karena mendapat kabar bahwa sang kakak sudah kembali. Dia ingin melihat kondisi Sean. Bahkan, Zia tidak peduli dengan penampilannya yang masih sedikit lusuh. Pakaian belum ganti sejak semalam dan riasan wajah yang belum dihapus pula. "Bang!" serunya saat menjejakkan kaki dalam rumah. Ia berlarian ke sana ke mari mencari keberadaan sosok tinggi tersebut. "Abang!" ulang Zia. Akan tetapi, kali ini dengan suara yang lebih keras. Ia juga melepaskan high heels yang dikenakan, agar memudahkannya untuk melangkah. "Bang Sean! Ke mana, sih?" gerutunya. Mukanya sudah ditekuk, memberengut dan siap untuk melontarkan umpatan manja pada pria itu. "Ba—" Seketika seruannya berhenti saat mendapati siluet asing di taman dekat kolam renang lantai dasar tersebut. Zia memicingkan mata penuh selidik. Lantas berjalan mengendap-endap mendekati lokasi. Ingin tahu siapa gerangan orang yang sudah masuk tanpa izin itu. Kalau maling gi
Sean menatap kepergian Zeta. Kakinya ingin mengikutinya, tetapi sekuat hati dia tahan. Ia putuskan untuk pergi ke dapur. Menyiapkan bahan untuk memulai masak makanan kesukaan adiknya. Menarik wadah berisi udang yang telah dibersihkan kemudian ikan gurame yang ukurannya besar. Lalu pokcoy dan juga brokoli. "Aku bisa bantu," seru Zeta saat telah tiba di dapur. Sean menoleh ke arahnya, melayangkan senyum untuk gadis itu dan memberikan bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. "Duduklah! Kamu bisa kupas bawang ini." Zeta menerima bawang tersebut kemudian duduk di kursi. Ia fokus pada bumbu yang dipegangnya. "Zeta, kuharap kamu tidak serius dengan ucapanmu."Gadis itu menghentikan kegiatannya. Matanya pedih, entah karena bawang atau karena ucapan Sean. Namun, wanita itu berpura-pura tidak mengerti akan arah pembicaraan kali ini. "Serius apa? Mengupas bawang?" tanya Zeta. "Jelas harus serius, dong. Kalau kena tangan gimana?" imbuh Zeta. Suaranya tiba-tiba bergetar. Dia sudah menut
"Aku tidak tahu harus bilang apa, Zeta. Aku tidak ingin melukaimu terus menerus." Zeta menggeleng. "Aku selalu tahu kalau kamu adalah pria baik, Sean. Ucapanmu tanda bahwa kamu tidak sedang menolakku, tapi kau menjagaku, benar, kan?"Sean menarik tubuh Zeta. Memeluknya dengan penuh kasih. Ia juga mendaratkan satu kecupan di bahu wanita itu. Zeta membalas dekapan Sean. Dia tidak akan menyiakan kesempatan ini. Dia mendapat apa yang dia harap pagi tadi. "Maukah kau memperluas sabarmu, Zeta?""Seumur hidup aku akan pertahankan, Sean." Zeta melepaskan pelukannya. Mereka berjarak tetapi ikatan keduanya mulai semakin dekat kali ini. "Tidak. Tidak selama itu, Zeta. Sampai aku mrmastikan kalau Freya sembuh dari depresinya. Bersabarlah. Gatra butuh aku.""Maka dia juga memilikiku, Sean. Apa yang harus kau jaga maka, aku akan menjaganya pula untukmu.""Terima kasih," bisik Sean. Ia menangkup wajah Zeta dan menyingkirkan air mata yang membasahi wajah perempuan itu. "Cie! Ada yang jadian di
Enam bulan sejak kecelakaan berlalu. Selama itu juga Freya dirawat di Rumah Sehat Kinar. Selama itu juga Sky lepas kontak dari kakak dan juga gadis yang seharusnya menjadi istrinya. Sean tidak pernah absen menelepon Freya saat akhir pekan. Banyak kegiatan yang diceritakan oleh Freya. Banyak sudah hal yang berubah. Hubungan Sean dan Zeta yang semakin lebih dekat dan penuh dengan pengertian. Wanita yang tetap sabar menghadapi ujian cintanya. Kemajuan kondisi Freya yang mulai membaik. Namun, Kinar masih was-was pada apa yang akan disampaikan Sean pada Freya. Sekarang, Sean dan Zeta bersama Gatra mengunjungi wanita itu untuk kesekian kalinya. Gatra mulai tumbuh besar. Diasuh dengan baik dan penuh kasih sayang oleh Zeta dan Sean. Namun, sekalipun Zeta tidak pernah mengatakan bahwa dia ibunya. Dia tidak ingin membuat luka di hati Freya. Ia anggap bahwa dirinya adalah seorang Tante. "Gatra sudah tidak sabar ketemu Mama, ya?" Bayi laki-laki itu mengoceh tidak jelas, ia juga terus tersenyu
Zeta menjauh dari mobil Sean. Pria itu masih termangu di kursinya. Setelah gadis itu hampir tiba di sisi Freya, barulah Sean keluar.Tangan Freya terulur untuk menyambut Gatra."Hai, Sayang. Kamu apa kabar? Senang? Senang sama Papa dan Tante, ya?" Seketika itu wajah Zeta berubah. Senyum yang semula mengembang penuh, tiba-tiba terkubur dalam."Terima kasih sudah jaga anakku, Zeta," imbuh Freya.Zeta mengangguk diselingi senyum keterpaksaan. "Sama-sama," balas Zeta pelan.Sean dengar apa yang dikatakan oleh Freya. Hatinya tergerus. Haruskah dia kembali berada di antara dua orang? Padahal selama enam bulan terakhir dia merasa bahwa Freya sekalipun tidak pernah menyinggung apa pun tentang masa lalu itu."Selamat datang kembali, Sean, Zeta. Ayo! Kita masuk," ajak Kinar.Mereka melangkah untuk masuk. Namun, langkah kaki Zeta terasa berat. Tidak seperti hari-hari sebelumnya saat mereka berkunjung."Maafkan, Freya, ya. Mungkin dia rindu dengan Sky," jelas, Sean. Ia mengusap punggung bawah Ze
Zeta yang mendengar suara teriakan Freya lantas segera berlari melihat kondisinya. Masih dengan menjaga jarak. Seluruh penghuni di sana berkerumun hanya untuk melihat amukan Freya. Satu persatu diajak masuk ke dalam oleh perawat rumah sehat itu agar tidak membuat Freya semakin tertekan. "Kamu membunuhnya, Sean? Atau kamu sengaja menjauhkan mereka dariku?! Kau berniat balas dendam karena aku selalu menolakmu. Benarkan?!" tuduh Freya sembari terus menunjuk ke arah Sean. Pria itu menggeleng. Tangannya terangkat ke depan sebagai upaya untuk menenangkan Freya. "Tidak, Freya. Tenanglah," bujuk Sean. Namun, Freya tidak mampu mengendalikan diri. Ia kembali melempar barang-barang yang dekat dengannya. Sean kira kondisi wanita itu benar-benar membaik, nyatanya keadaannya menurun drastis. Proses penyembuhan ini pasti tidaklah sebentar. Pria tinggi itu berusaha untuk terus menenangkan Freya. Akan tetapi, usahanya gagal. Semakin Sean mendekat, semakin Freya tidak terkendali. Kinar berusaha
Pria dengan gaya rambut undercut itu membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuat Zeta bak patung yang hanya mampu berdiam diri dengan memasang badan untuk Gatra agar bayi itu tidak terguncang dalam lelapnya. Setelah hampir tiba di rumah sakit, barulah dia sadar telah membuat gadis di sisinya ketakutan.“Maaf, Nay. Aku membuat kalian ketakutan. Aku— aku juga takut kalau terjadi apa-apa padamu, Nay.”Zeta hanya mengangguk. Kepalanya kian terasa pening. Hampir tidak mampu membuatnya terjaga, tetapi ia berusaha untuk terus sadar, karena Gatra. Mereka tidak menggunakan car seat karena berat badan Gatra belum mencapai sepuluh kilogram.“Nay?” Melihat Zeta yang tidak urung menjawab semakin membuat pria itu panik. Ia mengusap dahi Zeta dan ia semakin dibuat gelisah. Zeta demam.“Nay, ya Tuhan, bertahanlah, Sayang. Kumohon.” Pria itu lantas kembali menginjak gas dengan dalam. Sesekali tangannya memegang tubuh Gatra, kalau-kalau merosot dari gendongan
Suara jeritan Gatra menggema di seluruh kamar Sean. Baru saja dia bisa memejamkan mata setengah jam lalu. Namun, bocah cilik itu sudah kembali merengek. Dengan berat hati, Sean membuka matanya. Melihat ke sisinya dah sudah tidak mendapati Gatra.“Gatra?! Gatra?!” panggil Sean dengan panik. Ia juga sudah tidak memedulikan kepalanya yang terasa berat. Dalam benaknya dia harus lekas menemukan Gatra. Akan tetapi suara teriakan tangis bayi laki-laki itu masih terdengar kencang. Sean lekas berlari ke lain sisi dan benar saja, bocah itu terjatuh dari ranjang.“Gatra?!” pekik Sean. Ia lekas menggendong tubuh mungil itu dan mendudukkannya di tempat tidur. Memeriksa seluruh tubuh bayinya apakah ada yang terluka atau tidak. Beruntung ada kasur lantai yang cukup tebal di tiap sisi ranjang. Setidaknya, Gatra masih bisa dibilang aman, mungkin dia menangis hanya karena kaget.“Kamu tidak apa-apa kan, Nak? Ya Tuhan, kamu buat Paman takut. Lagian ini masih pagi, kenapa sudah bangun? Kalau belajar mera