Zeta menjauh dari mobil Sean. Pria itu masih termangu di kursinya. Setelah gadis itu hampir tiba di sisi Freya, barulah Sean keluar.Tangan Freya terulur untuk menyambut Gatra."Hai, Sayang. Kamu apa kabar? Senang? Senang sama Papa dan Tante, ya?" Seketika itu wajah Zeta berubah. Senyum yang semula mengembang penuh, tiba-tiba terkubur dalam."Terima kasih sudah jaga anakku, Zeta," imbuh Freya.Zeta mengangguk diselingi senyum keterpaksaan. "Sama-sama," balas Zeta pelan.Sean dengar apa yang dikatakan oleh Freya. Hatinya tergerus. Haruskah dia kembali berada di antara dua orang? Padahal selama enam bulan terakhir dia merasa bahwa Freya sekalipun tidak pernah menyinggung apa pun tentang masa lalu itu."Selamat datang kembali, Sean, Zeta. Ayo! Kita masuk," ajak Kinar.Mereka melangkah untuk masuk. Namun, langkah kaki Zeta terasa berat. Tidak seperti hari-hari sebelumnya saat mereka berkunjung."Maafkan, Freya, ya. Mungkin dia rindu dengan Sky," jelas, Sean. Ia mengusap punggung bawah Ze
Zeta yang mendengar suara teriakan Freya lantas segera berlari melihat kondisinya. Masih dengan menjaga jarak. Seluruh penghuni di sana berkerumun hanya untuk melihat amukan Freya. Satu persatu diajak masuk ke dalam oleh perawat rumah sehat itu agar tidak membuat Freya semakin tertekan. "Kamu membunuhnya, Sean? Atau kamu sengaja menjauhkan mereka dariku?! Kau berniat balas dendam karena aku selalu menolakmu. Benarkan?!" tuduh Freya sembari terus menunjuk ke arah Sean. Pria itu menggeleng. Tangannya terangkat ke depan sebagai upaya untuk menenangkan Freya. "Tidak, Freya. Tenanglah," bujuk Sean. Namun, Freya tidak mampu mengendalikan diri. Ia kembali melempar barang-barang yang dekat dengannya. Sean kira kondisi wanita itu benar-benar membaik, nyatanya keadaannya menurun drastis. Proses penyembuhan ini pasti tidaklah sebentar. Pria tinggi itu berusaha untuk terus menenangkan Freya. Akan tetapi, usahanya gagal. Semakin Sean mendekat, semakin Freya tidak terkendali. Kinar berusaha
Pria dengan gaya rambut undercut itu membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuat Zeta bak patung yang hanya mampu berdiam diri dengan memasang badan untuk Gatra agar bayi itu tidak terguncang dalam lelapnya. Setelah hampir tiba di rumah sakit, barulah dia sadar telah membuat gadis di sisinya ketakutan.“Maaf, Nay. Aku membuat kalian ketakutan. Aku— aku juga takut kalau terjadi apa-apa padamu, Nay.”Zeta hanya mengangguk. Kepalanya kian terasa pening. Hampir tidak mampu membuatnya terjaga, tetapi ia berusaha untuk terus sadar, karena Gatra. Mereka tidak menggunakan car seat karena berat badan Gatra belum mencapai sepuluh kilogram.“Nay?” Melihat Zeta yang tidak urung menjawab semakin membuat pria itu panik. Ia mengusap dahi Zeta dan ia semakin dibuat gelisah. Zeta demam.“Nay, ya Tuhan, bertahanlah, Sayang. Kumohon.” Pria itu lantas kembali menginjak gas dengan dalam. Sesekali tangannya memegang tubuh Gatra, kalau-kalau merosot dari gendongan
Suara jeritan Gatra menggema di seluruh kamar Sean. Baru saja dia bisa memejamkan mata setengah jam lalu. Namun, bocah cilik itu sudah kembali merengek. Dengan berat hati, Sean membuka matanya. Melihat ke sisinya dah sudah tidak mendapati Gatra.“Gatra?! Gatra?!” panggil Sean dengan panik. Ia juga sudah tidak memedulikan kepalanya yang terasa berat. Dalam benaknya dia harus lekas menemukan Gatra. Akan tetapi suara teriakan tangis bayi laki-laki itu masih terdengar kencang. Sean lekas berlari ke lain sisi dan benar saja, bocah itu terjatuh dari ranjang.“Gatra?!” pekik Sean. Ia lekas menggendong tubuh mungil itu dan mendudukkannya di tempat tidur. Memeriksa seluruh tubuh bayinya apakah ada yang terluka atau tidak. Beruntung ada kasur lantai yang cukup tebal di tiap sisi ranjang. Setidaknya, Gatra masih bisa dibilang aman, mungkin dia menangis hanya karena kaget.“Kamu tidak apa-apa kan, Nak? Ya Tuhan, kamu buat Paman takut. Lagian ini masih pagi, kenapa sudah bangun? Kalau belajar mera
Sean sibuk dengan ponselnya. Ia menelepon Zeta. Sejak semalam, pria itu sibuk mengurus Gatra hingga lupa berkabar pada gadis itu.“Maaf baru sempat telpon, Nay.”“Aku tahu, Mine. Gatra jauh lebih butuh kamu. Aku mengerti, jangan merasa bersalah,” jawab Zeta dari seberang.“Terima kasih, Sayang. Kamu ingin sesuatu? Aku akan kirim kurir jika kamu butuh sesuatu.”“Tidak, ada Mbak Runi di sini. Aku bisa minta tolong sama dia. Kamu di kantor?” tanya Zeta saat tahu background Sean yang sangat dia kenal itu bukan di rumah.“Iya, ada acara yang harus aku hadiri nanti pukul sepuluh, lalu saat makan siang dan juga nanti malam.”“Kalau begitu, bawa Gatra ke sini, Mine.”“Tidak. Kamu harus istirahat. Dia aman bersamaku.”“Yakin?”“Hmm.”“Yakin?” Zeta mengulum senyum karena melihat kemeja Sean yang tampak kurang rapi. Pria itu mengaitkan kancing kemejanya tidak setara.“Coba berdiri di depan cermin. Lihat bagaimana kamu mengaitkan kancing bajumu, Mine,” seru Zeta.Seketika itu, Sean menunduk dan m
Panorama kota London tengah malam tidak mampu membuat hati seseorang membaik setelah apa yang dia lakukan. Sorot matanya kosong mengarah pada kerlap kerlip lampu kota yang ia lihat dari ketinggian di kamar apartemen miliknya.“Sky!” teriakan dari luar yang sudah berlangsung selama dua puluh menit tidak mampu membuatnya menarik langkah berpaling dari balkon.“Kamu di dalam kan? Rio bilang kamu nggak latihan, kamu baik-baik saja kan?” seru orang itu lagi.Namun, tetap saja, Sky bergeming dikegelapan kamarnya. Ditemani dengan sebatang rokok disela jemarinya. Ia dengar suara itu. Dia tahu siapa yang memanggilnya. Akan tetapi, dia tak acuh kepadanya. Sky bosan. Menjalani hal gila yang hanya mengusung kesenangan sesaat.“Kalau kamu tidak buka sekarang, aku akan minta petugas buat buka paksa!” ancamnya lagi.Namun, tetap saja bujuk rayu itu tidak membuat Sky beranjak. Ia tetap menyesap rokoknya dan mengembuskan asap seraya menengadah.Tidak lama setelah teriakan wanita itu. Pintu kamar milik
Sebelum Sean berhasil mengayunkan tangan untuk mengetuk pintu. Daun pintu putih itu sudah terbuka dan disambut oleh senyuman manis, Zeta.“Hai, Mine,” sapa Zeta tidak sabar. Memberikan sunggingan yang tulus dan tersirat akan rindu.“Hai. Bagaimana kondisimu?”“Seperti yang kamu lihat. Kalau aku— sudah sangat baik.”“Maaf, Sayang. Aku harus menghancurkan—”“Sst! Berikan Gatra padaku. Nanti Nia juga akan kemari. Kamu bisa pergi dengan tenang,” potong Zeta. Gadis itu meraih tubuh gendut Gatra dan mendekapnya. Sesekali menghujam ciuman gemas pada pipi bocah itu.“Kamu yakin baik-baik saja?” Sean membelai pipi Zeta yang terasa begitu lembut.“Kau tidak percaya padaku?”Tanpa menjawab, Sean mendekap tubuh kekasihnya. Mencium pucuk kepala Zeta dengan sangat dalam.“Setelah semua ini selesai kamu tidak akan merasakan lelah mengurus bayi, Nay.”Wajah Sean berubah sendu. Tidak ada kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa dia sangat menyesal dengan semua ini. membawa Zeta pada kisah hidupnya
Bibir Sean hampir mendarat pada ujung bibir Zeta. Namun, tangan usil Gatra yang terus memainkan botol susu. Akhirnya membuat tempat susu itu terlempar dan mengenai pangal hidung Sean, antara kedua matanya. Pria itu mengaduh pelan dan Zeta mengulum senyum.“Kau— padahal hampir berhasil, Gatra. Seharusnya kau mendukung pamanmu, bukan malah jadi orang ketiga,” sembur Sean.Gatra justru tertawa cekikikan. Setiap ada yang mengajaknya berbicara bocah itu pasti mengira bahwa siapapun itu, tengah menghiburnya.“Harusnya bersyukur kan, karena Gatra mencegah Pamannya berbuat jahat.”“Dih, jahat? Padahal kamu juga—” Zeta membungkam mulut Sean dan menahan tawa. Setelah telapak tangan itu terlepas dari bibir Sean, pria itu lantas tertawa lepas.“Pergi sana! Bukannya kamu ada acara?” usir Zeta. Sejatinya dia menutupi perasaan memalukan itu.Sean melirik jam di pergelangan tangannya. Setengah jam lagi dari jadwal yang sudah disepakati.“Baikla, jaga dirimu, ya. Aku akan jemput Gatra malam nanti.”“