Hai, untuk yang bigung dengan alur cerita ini, sungguh aku pengen jelaskan, tapi terlalupanjang. Coba kalian komen, nanti aku jawab lewat komentar, ya. Aku bakal ubah jduul biar nggak ajdi kontroversi. Aku akan klarifikasi, meskipun pengarang dilarang Klarifikasi,katanya hanya pembelaan, wkwkwk. tapi,kalian butuh kepastian kan? Aku tunggu komentar, dan gems kalian, ta. hatur nuhun
Sebelum Sean berhasil mengayunkan tangan untuk mengetuk pintu. Daun pintu putih itu sudah terbuka dan disambut oleh senyuman manis, Zeta.“Hai, Mine,” sapa Zeta tidak sabar. Memberikan sunggingan yang tulus dan tersirat akan rindu.“Hai. Bagaimana kondisimu?”“Seperti yang kamu lihat. Kalau aku— sudah sangat baik.”“Maaf, Sayang. Aku harus menghancurkan—”“Sst! Berikan Gatra padaku. Nanti Nia juga akan kemari. Kamu bisa pergi dengan tenang,” potong Zeta. Gadis itu meraih tubuh gendut Gatra dan mendekapnya. Sesekali menghujam ciuman gemas pada pipi bocah itu.“Kamu yakin baik-baik saja?” Sean membelai pipi Zeta yang terasa begitu lembut.“Kau tidak percaya padaku?”Tanpa menjawab, Sean mendekap tubuh kekasihnya. Mencium pucuk kepala Zeta dengan sangat dalam.“Setelah semua ini selesai kamu tidak akan merasakan lelah mengurus bayi, Nay.”Wajah Sean berubah sendu. Tidak ada kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa dia sangat menyesal dengan semua ini. membawa Zeta pada kisah hidupnya
Bibir Sean hampir mendarat pada ujung bibir Zeta. Namun, tangan usil Gatra yang terus memainkan botol susu. Akhirnya membuat tempat susu itu terlempar dan mengenai pangal hidung Sean, antara kedua matanya. Pria itu mengaduh pelan dan Zeta mengulum senyum.“Kau— padahal hampir berhasil, Gatra. Seharusnya kau mendukung pamanmu, bukan malah jadi orang ketiga,” sembur Sean.Gatra justru tertawa cekikikan. Setiap ada yang mengajaknya berbicara bocah itu pasti mengira bahwa siapapun itu, tengah menghiburnya.“Harusnya bersyukur kan, karena Gatra mencegah Pamannya berbuat jahat.”“Dih, jahat? Padahal kamu juga—” Zeta membungkam mulut Sean dan menahan tawa. Setelah telapak tangan itu terlepas dari bibir Sean, pria itu lantas tertawa lepas.“Pergi sana! Bukannya kamu ada acara?” usir Zeta. Sejatinya dia menutupi perasaan memalukan itu.Sean melirik jam di pergelangan tangannya. Setengah jam lagi dari jadwal yang sudah disepakati.“Baikla, jaga dirimu, ya. Aku akan jemput Gatra malam nanti.”“
Freya menitikan air mata. Ia lekas mengusapnya dengan kasar. “Ada yang ingin kamu tanyakan padaku?” tandas Freya dengan suara lemah.“Bayinya. Aku ingin bertemu dengannya. Dia anakku?” Suara Sky bergetar. Dia sangat malu. Ini sudah sangat terlambat. Bahkan bayi itu sudah lahir dan tumbuh menjadi bayi yang lucu.“Kalau kau masih ragu, tidak perlu memaksa diri untuk memercayaiku, Sky. Sungguh, aku tidak mau jadi seperti sekarang karena orang yang sama.”“Tidak. Aku percaya, Freya. Aku percaya. Mas Rayyan sudah urus kepulanganku. Aku akan temui kamu dan anak kita. Ya, anak kita.”Sky ingat bagaimana dia begitu jahat pada janin itu. Bagaimana dia sama sekali tidak peduli pada anaknya sendiri. Matanya pedih, butir demi butir air mata siap untuk meluncur melewati pipinya. Sky tidak ingin menahannya. Pria juga boleh menangis, itu yang dikatakan seseorang padanya.“Aku minta maaf sama kamu, Freya. Tolong maafkan aku dan terima aku kembali. Aku sadar hanya kamu yang bisa mencintaiku sebesar itu
Kantong kemihnya penuh. Zeta berniat untuk turun. Saat dia menoleh, Sean sudah berdiri di ambang pintu dengan bersandar bahu di kusen. Senyumnya menyambut gadis berambut panjang itu. Zeta turun dari ranjang dan membalas senyuman Sean.Pria itu melangkah mendekati Zeta. Ia raih pinggang Zeta, sebelah tangannya bersarang pada pipi wanita itu. Membawa anak rambut Zeta ke belakang telinga.“Aku dengar tadi ada yang mencari suaminya? Siapa suami, wanita di hadapanku?” wajah Zeta memerah. Dia malu sekaligus senang.Perempuan itu mencoba untuk menjauh dari Sean, tetapi tidak semudah yang dia bayangkan. Sean mencekal pinggang Zeta dengan sedikit lebih kuat dan tangan kanannya masih setia membelai wajah sensual kekasihnya.“Siapa suamimu? Aku akan cemburu kalau ternyata kekasihku sudah bersuami,” bisik Sean tepat di hadapan Zeta. Tingginya memang terpaut cukup jauh tetapi, Sean mampu menunduk hanya sekedar menatap, tanpa jenuh wajah perempuan itu.Embusan nafas Sean menghangat pada dahi Zeta.
Pagi ini, entah bagaimana posisi tidur mereka berubah total. Gatra berada di belakang punggung Sean. Sementara Zeta berkelung nyaman di depan dada bidang pria itu. Udara menjelang pagi hari selalu jauh lebih dingin. Membuat Zeta mencari kehangatan sebisa mungkin. Di sanalah, ia. Dalam dekapan Sean yang mana mereka sendiri sama-sama tidak menyadari semua kejadian pukul empat pagi itu. Suara rengekan Gatra tidak mampu membuat keduanya terjaga. Bahkan tendangan demi tendangan yang dilayangkan Gatra pada sang paman pun tidak mampu mengusik kenyamanan keduanya. Rintihan Gatra berubah menjadi celoteh absurd yang seharusnya membuat mereka terusik. Merasa kesal karena tidak digubris, bocah cilik itu lantas mengerahkan seluruh usahanya untuk berteriak. Namun,bukan Sean atau Zeta yang mendengar, melainkan Runi. Wanita yang jasanya dibeli oleh Zeta itu lekas masuk ke kamar sang majikan dia bahkan tidak tahu kalau ada Sean di dalam kamar itu. "Oh— sst, Sayang. Sepertinya kamu dilupakan, ya?"
Menghirup kembali udara segar di negara kelahiran. Mata pria dua puluh delapan tahun itu menahan perih. Penyesalan menggerogoti seluruh jiwanya. Namun, apa yang sudah ia pilih tidak akan bisa ia balik. Segala tindakan pasti akan ada konsekuensi yang kudu ditanggung.“Tidak apa-apa. Ini pelajaran berharga buat kamu. Kita akan luluhkan hati mereka, dan saudara-saudaramu akan menerimamu serta memaafkanmu. Kamu dikelilingi orang hebat, oke,” seru pria berambut cepak pirang itu. mengajak mantan pembalap keluar dari area bandara.Sky— ya, pria itu tersenyum kecut. Dulu, dia bisa dengan sombong berjalan di bumi manusia ini. Namun, sekarang tidak seorang pun menatapnya atau berlari mendekatinya hanya sekadar meminta foto.Sebuah mobil jemputan sudah mengantre sejak satu jam lalu. Rayyan, membantu Sky masuk ke mobil. “Hati-hati, Sky.” Tangannya terulur digawang mobil agar kepala Sky tidak terantuk.Pria itu tidak membalas. Wajahnya datar dan kebahagiaan serta kebanggan yang dulu terus muncul di
Dua pasang bola mata seakan mencuat keluar dari tempatnya. Mulut Sean terbungkam. Saat itu juga perih menyerang mata. Zeta membekap bibirnya menahan raungan keterkejutan dengan sungai kecil di permukaan pipi yang berderai.Inikah karma yang harus ditanggung? Seberat ini? Sebesar ini?Zeta tidak kuasa melihat dua bersaudara yang akhirnya saling mendekap. Saling mencurahkan penyesalan yang seharusnya tidak pernah terjadi jika— kisah cinta mereka tidak tertuju pada objek yang sama.Bayi yang digendong Zeta seolah penasaran dengan apa yang terjadi. Ia terdiam dalam dekapan wanita itu dan menatap dua laki-laki yang terisak. Kondisi ini benar-benar menyesakan. Memang benar, bahwa setiap peristiwa, setiap tragedi yang terjadi pasti memiliki hikmah.Di sinilah puncak dari masalah yang terjadi. Namun, Sean seolah tidak terima dengan balasan Tuhan pada adiknya. Pertanyaannya hanya kenapa? Kenapa harus semenyeramkan itu?Pria itu berjongkok. Memegang lutut Sky dan menatap wajah adiknya. Bocah y
Sky merasa tidak asing dengan nama Gatra. Memperjelas dengan bergumam di hadapan sang kakak. Sean mengangguk dengan ulasan senyum hangat layaknya Divya. "Freya yang memberikan nama itu. Gatra Ambara. Bukankah itu nama yang indah?" Sky memeluk tubuh Gatra semakin erat. Menumpahkan kerinduan dan kasih sayang yang lambat untuk hadir. "Ini bukti nyata bahwa Freya akan melakukan apa pun demi kamu, Sky. Dia sangat mencintaimu." Sky menilik wajah kakaknya. Tidak ia dapati raut dusta di sana. Dulu, dia cemburu buta pada pria itu. Nyatanya sebesar itu ketulusan Sean. Dia rela melepaskan wanita yang dicintai demi kebahagiaan yang diyakini olehnya. "Thank's. Sudah jagain mereka. Thanks sudah jadi orang yang paling baik. Mom tidak pernah salah dengan cara mendidiknya," ujar Sky. Gatra sudah tenang dalam gendongan Sky. Bayi itu duduk di pangkuan sang ayah. Memukuli paha Sky. Rasa penasaran membawa tangan mungil itu guna menekan perban di lutut kiri aang ayah. Sky, meringis tipis. "Apakah ter