Freya bangkit dari sofa abu-abu hendak pergi dari tempat aneh itu. Namun, Sky dengan tangkas menarik pergelangan tangan Freya dan membuat gadis itu terpelanting, kemudian perutnya mendarat di meja bulat.Suara pekikan Freya kencang. Ia meraung kesakitan dengan tangan memegang bagian bawah perutnya. Kram, seketika menjalar. Membuat tubuhnya panas dingin. Tidak lama tatapannya terarah ke area betis. Wajah yang sudah teramat panik, kini semakin terlihat ketakutan.“Sky! Sky tolong aku! Bawa aku ke rumah sakit!” pintanya sembari berteriak. Ia melihat darah segar mengalir membaluri kakinya.Sky tidak terlihat panik. Dia justru masih sempat menyesap alkoholnya dan berdiri dengan santai.“Kenapa kamu selalu merepotkanku? Sehari saja tidak bisa membuatku tenang,” kesalnya. Tangannya terulur untuk membantu Freya bangkit. Akan tetapi tidak ada kelembutan dari tarikan tangan itu.Ia melangkah dengan cepat dan menyeret tubuh Freya dengan kasar. “Jalan yang benar dan cepat! Kamu minta segera kan?!
“Kak Freya kritis,” seru Dinda saat panggilannya yang ke lima terjawab oleh Sean.Setelah tiba di mobilnya, pria itu mendapati ponselnya berkedip berulang kali. Ia lantas menerima panggilan dari Dinda. Setelahnya, ia mengatakan bahwa Freya sekarang berada di rumah sakit.Dengan dorongan rasa panik dan khawatir, Sean melaju di jalanan. Beradu kecepatan dengan pengguna jalan lain. Menyalip sana sini. Di pikirannya hanya satu. Agar, dia bisa cepat sampai di Citra Husada. Tidak ada kata lain kecuali nama rumah sakit dan melihat bagaimana kondisi wanita yang masih bertahta tinggi di hati dan pikirannya.Sampai setengah jalan, matanya menangkap mobil yang melintas dari arah berlawanan sangat mencolok mata. Dia tahu betul itu mobil milik siapa.“Ke mana dia?” gumamnya dengan gigi mengerat. Tangannya menggenggam erat kemudi. Sungguh, Sean geram dengan kelakuan adiknya.Sekarang benaknya terpencar. Antara mengejar Sky lalu menghakimi sang adik kemudian menanyakan apa yang tengah terjadi pada F
Ruangan dengan nuansa putih dan bau karbol serta obat-obatan menyelimuti kamar perawatan Freya. Gadis itu sudah dipindahkan sejak satu jam yang lalu. Namun, belum juga ia ingin mengatakan apa pun pada Sean. Padahal, pria itu terus bertanya tentang apa yang dirasakan oleh ibu muda itu. "Kalau kamu sudah kentut atau ingin kentut, keluarkan saja, Freya. Jangan ditahan, biar kamu bisa minum. Kamu pasti haus kan?" ucapnya sembari menatap wajah pucat mantan istri yang bahkan belum pernah dia sentuh sekali pun. "Kenapa kamu di sini?" Satu-satunya pertanyaan dari sekian banyak tanya. Kenapa harus pertanyaan itu yang terlontar? Freya seharusnya tahu, hal itu adalah satu diantara soal yang tidak ingin Sean jawab. Namun, pria itu tetap menanggapi dengan sebenar-benarnya jawaban. "Untukmu. Aku sudah mengabulkan apa saja yang kamu mau. Kuharap kau tidak akan melarangku bertemu dengan anakmu ataupun menatapmu, Freya.""Jika kau tuli atau lupa ingatan. Aku ingatkan lagi, kalau aku tidak sudi deka
"Apa maksudmu ninggalin Freya sendirian di rumah sakit, huh?!" Begitu tiba di rumah ia melihat Sky tengah menikmati kopi di tangannya. Pria itu duduk memangku kaki dan menyulut rokok bak tanpa beban dan dosa. Sean mencengkeram kerah baju adiknya. Menatap netra Sky dengan tatapan tajam menghunus. Dengan gerakan santai, Sky menepis kedua tangan Sean. Ia bahkan meniupkan asap rokoknya di wajah sang kakak. "Terus, lo minta gue ngapain? Menurut lo, gue bakalan bener-bener bertanggung jawab atas apa yang nggak pernah gue lakuin?" ucapnya enteng. "Bajingan!" Sean melayangkan pukulan pada wajah Sky. Sampai gelas yang di pegang pembalap dunia itu terpelanting dan terburai. Pecahan kaca semburat ke segala arah. Bercak kopi hitam mengenai pakaian Sean dan Sky secara bersamaan. Amarah Sean memuncak. Dia tidak lagi menahan diri jika sudah berhubungan dengan Freya. Sky justru tersenyum miring. "Lo yang bajingan! Lo kira gue pantes sama wanita jalang seperti dia?! Lo kira gue mau sama wanita
Setelah menunggu tiga menit lamanya, Arzeta dipersilakan masuk oleh Zia. Gadis itu meniti penampilan wanita yang berdiri dengan memberikan senyum ayu ke arah sang empu rumah. "Cari siapa?" tanya Zia tidak ramah. Dia menyesal menerima semua orang dengan kelembutan dan tangan terbuka. Terakhir kali dia melakukannya, dua kakaknya berseteru dan terlebih sang abang terluka batinnya. "Saya ingin mengembalikan dompet, Tuan Sean. Kemarin jatuh di parkiran warung seblak saya," ungkapnya jelas. "Masuk!" perintah Zia. Sekali lagi dia memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengobati luka yang diderita saudara lelaki tertuanya. Zeta mengangguk dan melangkah masuk. Masih dengan senyum yang senantiasa terkembang di wajahnya. "Maaf berantakan." Zia terus berjalan dan berujar tanpa melihat ke arah tamunya. Mereka tiba di ruang tengah. Benar saja, mata Zeta seketika membola. Namun, dia lekas membawa diri. Bersikap biasa saja tanpa mengedarkan mata kecuali menatap ke arah Sean. "Tuan kenap
“Hasil seluruh pemeriksaan cukup baik, Tuan. Ibu Nia bisa menjadi ibu susu untuk bayi Anda. Nutrisi setiap harinya harus terpenuhi agar kualitas asi juga terjaga dengan baik,” ujar sang dokter sembari menulis beberapa suplemen yang dibutuhkan untuk Nia. Bahkan beliau mengatakan kata ‘bayinya’ Sean memang menjabarkan semuanya dasn tidak pernah mengutarakan bahwa itu hanya keponakannya. Dia menganggap bahwa anak Freya adalah buah hatinya. Anak dari wanita yang dia kehendaki. Wanita yang belum pernah menggeser tahkta tertinggi di relung jiwanya.“Terima kasih, Dokter.” Sean dibantu Zeta bangkit dan menjabat tangan petugas kesehatan tersebut.“Sebaiknya Anda juga harus melakukan pemeriksaan, Tuan,” imbuh dokter laki-laki itu.“Tentu saja.”Ketiganya kini keluar dengan resep terbaik di tangan Nia. Gadis itu membuntuti di belakang langkah Zeta dan Sean.“Nia, kamu antre obat dulu, ya. Saya mau antar, Tuan Sean ke radiologi.” Nia mengangguk. Dia menurut apa saja yang dikatakan oleh Zeta.Set
Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit. Sean sudah pulih. Nia sudah mulai menjalani hidupnya jauh lebih bewarna. Dia rajin memompa asinya. Kemudian mengirimkannya ke rumah Freya sendiri. Bertemu dengan Kinasih yang maha baik. Bahkan, wanita tua itu memintanya untuk menginap di rumahnya saja. Namun, Nia tidak mau. Dia tidak ingin menjadi beban siapa-siapa lagi. Setidaknya, dia bisa mendapatkan pekerjaan tanpa kehilangan pertanda bahwa dirinya pernah memiliki bayi.Sesekali, Nia menjenguk dan menggendong bayi Freya yang hingga kini belum diberikan nama. Sang ibu sendiri sama sekali tidak pernah mendekap bayinya.Fisiknya memang terlihat baik tetapi, Freya masih terguncang dengan jiwanya. Depresi dan hanya ingin berada di kamar sendirian.Zeta semakin sering bertemu dengan Sean. Sekadar berbasa-basi menanyakan kondisi Freya. Kendati dia merasa aneh dalam dirinya saat Sean terus menceritakan segala hal tentang gadis itu.Sean lebih terbuka dengan masalahnya pada Zeta. Wanita itu menjadi
Denting jam berulang empat kali. Setelah semua pertahanan yang tidak terkendali, Freya akhirnya kalah dengan pikirannya sendiri. Dia kehilangan rasionya setelah melihat Sky. Dua jam terlewat tidak mampu menenangkan gadis itu.Mendengar kegaduhan di kamar anaknya, Kinasih lekas-lekas berlari ke kamar Freya. Ia mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Khawatir kalau-kalau gadis itu melakukan hal nekat lainnya lagi.Suara amukan gadis berambut sebahu itu menggema. Ia meraung dan melempar semua yang terjangkau oleh tangannya ke segala arah. Ruangan gelap ditambah sekarang kacau balau.“Nak! Buka pintunya, Freya,” teriak Kinasih. Ia tidak berhenti menggedor penghalang di depannya.Namun, seruan itu tidak dihiraukan oleh sang pemilik kamar. Ia tetap mengamuk dan mengeluarkan suara dengan kencang.Sampai Sean tiba di hunian tua milik keluarga Freya. Tatapannya langsung tertuju ke lantai atas tempat kamar Freya berada.“Pak, ada apa?” tanya Sean saat melihat Adam dengan langkah tergopoh-gopoh hend