"Kamu ga pingin keluar? Mau di sini aja?" Leon merasa Mentari masih belum benar-benar merasa lebih baik. Mentari mengerjap beberapa kali. Apa dia akan kalah dengan rasa takutnya? Orang-orang yang dia temui itu sama sekali tidak kenal dengannya, tidak ada hubungan dengan dirinya, dan dia bukan Mentari. Dia Sofia Agatha, pegawai mal, gadis berambut merah kecoklatan dan berponi. Mentari menanamkan itu pada dirinya. "Sof ..." Lebih lembut Leon bicara. "Oke, aku mau," kata Mentari seraya mengangguk. "Tapi ... aku ..." "Ga lama-lama, ga sampai malam," sahut Leon. "Oh, oke ..." Mentari mengangguk lagi. Leon menengok arlojinya. "Aku harus balik sekarang. Jam setengah tujuh, pintu depan, ya?" Leon memastikan janjian jalan bareng deal, lalu Leon berdiri, bersiap kembali ke tempatnya bekerja. "Iya, Mas." Mentari mengiyakan sambil lagi-lagi mengangguk. Leon meninggalkan gudang. Pintu dia biarkan terbuka. Mentari terus menatap keluar meskipu Leon tak tampak lagi. "Hari apa ini? Kenapa up
Mentari memandang Leon. Apa pria tampan itu memang tidak tahu kalau di tempat seperti itu yang namanya murah bisa jadi mahal untuk masyarakat kecil? "Mas, yakin mau beli di sini?" Mentari mendekatkan tubuhnya menempel ke bibir meja. "Iya, emang di sini." Leon menjawab dengan anggukan juga. "Nanti bayarnya bagi dua. Ini masih tengah bulan, Mas." Mentari menatap Leon lekat-lekat. Leon membalas tatapan itu. Gadis di depannya ini memang lugu, polos, dan tulus. Dia tidak memanfaatkan orang lain yang baik padanya. Dia justru tidak mau orang lain repot karena dia. Leon makin mengagumi kepribadian Mentari. "Sofi, kalau aku ajak kamu ke sini, itu berarti aku sudah mempertimbangkan semua." Leon ikut maju dan menempelkan tubuhnya di pinggir meja. "Aku mengajak kamu ke sini, ingin kamu happy ... tapi ..."Spontan tangan Mentari terangkat dan memegang tangan Leon yang ada di atas meja. "Mas, maaf ... aku happy, kok. Aku senang Mas Agus ajak aku ke sini." Mentari cepat bicara, memperbaiki situ
Mentari menjatuhkan sendok yang dia pegang. Ungkapan pertama yang dia dengar, Mentari masih mengira salah menangkap di telinganya. Tetapi yang kedua, saat Leon mengulangnya ... 'yo te amo' -- 'aku cinta kamu' -- 'i love you' -- pasti itu sengaja dan niat Leon ucapkan. Keduanya masih saling menatap. Mentari tidak tahu harus bicara apa. Leon pun terkejut, dia bisa mengucapkan kata itu begitu cepat. Bukan seperti ini yang dia mau! Dia sudah membayangkan romantis dan manisnya saat nanti dia akan menyatakan isi hati pada Mentari, lalu membuka dirinya sebagai Leon dan bukan Agus. Tapi yang terjadi? "Maksudnya ... Mas Agus mau kita jadian ...?" Bibir Mentari mengucapkan kalimat yang jauh di dasar hatinya adalah harapannya terhadap pria tampan penuh pesona itu. Leon seperti tersadar apa yang sedang terjadi. "Ya ... kita jadian." Kepalang tanggung, tidak bisa mundur. Leon akan maju dan menunjukkan dia memang sayang pada Mentari dan ingin gadis itu bersamanya. Mentari menarik nafas dalam. D
"Hei, kenapa ga bilang dari tadi!?" Laurina terperanjat mendapat kabar itu. "Ini luar biasa! Sepupu gue mau jadi istri lu?" Laurina sampai berdiri. Dia melihat pada Leon dan Retha dengan pandangan kaget tapi penuh kegembiraan. "Ini hadiah ultah paling keren buat gue, tahu!" sahut Laurina. "Apa lu bilang? Hadiah? Hadiah dari nenek buyut lu! Retha mengada-ada!" Leon melepaskan tangan Retha yang masih bergelayut padanya. Dia tidak percaya yang Retha katakan. "Tante Aster emang bener. Kamu ga suka kalau nunjukin soal hubungan spesial kamu ke orang lain. Tapi ga apa. Leon, aku orangnya sabar, kok." Retha melempar senyum manis pada Leon. "Wah, ini harus dirayakan, Guys!" Laurina mengambil gelasnya dan mengangkat tinggi-tinggi. "Gue pulang!" tukas Leon kesal. Semua mata memandang padanya dan Retha. Sungguh di luar dugaan, Retha dengan gampangnya membuat semacam pengumuman kalau dia dan Leon punya hubungan istimewa. Bahkan Retha
Malam yang penuh kejutan. Itu yang terjadi. Baik bagi Leon maupun Baharudin. Malam yang harusnya menggembirakan menjadi penuh ketegangan dan tanya. "Leon, gue rasanya ga kenal lu lagi, deh. Bilang yang jelas sama gue!" Baharudin minta Leon bicara terus terang padanya. Leon meraup muka hingga ke rambutnya. Jelas sekali dia tampak kacau. Ting! Ponsel Leon berbunyi. Notif masuk di sana. Leon tak bergerak untuk mengambil ponsel. Baharudin yang penasaran. Dia mendekatkan wajahnya dan menengok ke layar ponsel Leon. "Sofi Bukan So-phee yang kirim pesan. Namanya aneh banget." Baharudin mengabarkan. Lalu terus dia membaca pesan dari Sofi. "Mas Agus, makasih ya ..." Leon dengan cepat mengambil ponsel dan tidak mau Baharudin membaca pesan dari Mentari. 'Mas Agus, makasih ya mau terima aku. Rasanya kayak mimpi hee ... hee ...' Leon tersenyum membaca pesan itu. Dia tidak menulis pesan balasan tapi memilih menelpon Mentari. Mata Leon melirik ke dinding, jam yang terpajang di sana menunjukkan
Leon harus mencari cara agar Retha tidak akan mengganggu dia lagi. Setidaknya dia tidak nekat datang ke mal mencarinya. "Gue masih lama sampai. Lu titip aja yang lu bawa ke satpam, entar gue ambil." Leon mencari alasan. "Ga masalah. Aku ga ada kuliah hari ini. Aku bisa nunggu kamu seharian di sini, kok." Retha tidak mau mengalah. "Damn," umpat Leon di hati. "Mikir ... mikir, Leon!" "Retha, lu beneran pingin deketin gue?" Leon harus berstrategi. "Aku udah jelasin ke kamu. Masih perlu aku ulang?" tanya Retha. Dia tetap terdengar santai dan ceria. "Oke. Gue kasih lu kesempatan, tapi lu mesti ikuti syarat gue," ujar Leon. "Syarat apaan?" Retha mulai terpancing. "Satu, gue ga suka urusan pribadi dibawa ke kerjaan. Kalau mau ketemu gue, jangan pernah nongol di mal. Janjian aja mau di mana, ntar gue ke sana." Leon bicara dengan tegas. "Oke, tapi ...""Kedua, gue cuma. punya waktu sekali seminggu buat ketemu lu.
"Sofi, aku cuma mau kamu baik-baik. Kita ga pernah tahu hati orang yang terdalam. Bisa jadi dia terlihat baik, tapi siapa yang tahu." Alman ingin sekali mengatakan siapa Leon. Sayangnya, dia tidak mungkin lakukan itu. Dia sudah berjanji pada Leon akan tutup mulut tentang siapa sebenarnya 'Agus'. "Om, makasih udah kasih peringatan sama aku. Aku pasti jaga diriku. Aku akan cerita sama Om kalau ada apa-apa. Aku ga punya siapa-siapa. Di Jakarta, Tuhan kirim Om buat aku, seperti aku ketemu ayah lagi." Mentari tersenyum manis. "Ga usah diterusin. Nanti aku mewek. Cepat habisin makanan kamu." Alman mengusap ujung matanya yang mulai basah. Dia tidak mau baper, ingat anak dan keponakannya lagi. Mentari menghabiskan sarapannya, lalu segera memulai pekerjaan. Alman pun balik ke tempat dia bekerja. Seperti biasa, mal penuh karena ramai pengunjung. Mentari seperti tidak ada waktu istirahat. Kalau sangat ramai, para pegawai harus istirahat gantian, dan hanya punya waktu sepuluh menit. Buat Ment
"Hai, Sayang!" Leon segera melemparkan senyum lebar pada Mentari. Semua rasa yang campur aduk di hatinya cepat dia sisihkan. Mentari tidak merespon. Dia terpaku memandang Leon. Siapa Leon sebenarnya? Dia baik, tampan, dan suka menolong. Dia bilang cinta pada Mentari, lalu menjadikannya kekasih. Tapi, semudah itu dia membuka diri untuk orang lain. Apa dia tidak mengerti yang Mentari rasakan? "Aku masih kerja. Sorry," kata Mentari. Dia berusaha menekan marah yang terus merajai hatinya. Mentari seolah tersadar kalau dia tidak mengenal pria yang telah jadi pacar pertama buat Mentari. Alman pasti benar. Dia harus hati-hati dengan Leon. Kenapa Mentari langsung setuju waktu Leon menyatakan cinta? Kenapa Mentari tidak jual mahal saja? Cinta pada pria tampan membuat Mentari buta. "Nanti kita ketemu abis kerja. Oke?" Leon bisa melihat aura tidak senang di wajah Mentari. Dia tahu dengan pasti karena dia wanita yang memperebutkan dirinya. "Mas Agus kan, udah ada janji sama Lila. Ya udah, ngap