"Hei, kenapa ga bilang dari tadi!?" Laurina terperanjat mendapat kabar itu. "Ini luar biasa! Sepupu gue mau jadi istri lu?" Laurina sampai berdiri. Dia melihat pada Leon dan Retha dengan pandangan kaget tapi penuh kegembiraan. "Ini hadiah ultah paling keren buat gue, tahu!" sahut Laurina. "Apa lu bilang? Hadiah? Hadiah dari nenek buyut lu! Retha mengada-ada!" Leon melepaskan tangan Retha yang masih bergelayut padanya. Dia tidak percaya yang Retha katakan. "Tante Aster emang bener. Kamu ga suka kalau nunjukin soal hubungan spesial kamu ke orang lain. Tapi ga apa. Leon, aku orangnya sabar, kok." Retha melempar senyum manis pada Leon. "Wah, ini harus dirayakan, Guys!" Laurina mengambil gelasnya dan mengangkat tinggi-tinggi. "Gue pulang!" tukas Leon kesal. Semua mata memandang padanya dan Retha. Sungguh di luar dugaan, Retha dengan gampangnya membuat semacam pengumuman kalau dia dan Leon punya hubungan istimewa. Bahkan Retha
Malam yang penuh kejutan. Itu yang terjadi. Baik bagi Leon maupun Baharudin. Malam yang harusnya menggembirakan menjadi penuh ketegangan dan tanya. "Leon, gue rasanya ga kenal lu lagi, deh. Bilang yang jelas sama gue!" Baharudin minta Leon bicara terus terang padanya. Leon meraup muka hingga ke rambutnya. Jelas sekali dia tampak kacau. Ting! Ponsel Leon berbunyi. Notif masuk di sana. Leon tak bergerak untuk mengambil ponsel. Baharudin yang penasaran. Dia mendekatkan wajahnya dan menengok ke layar ponsel Leon. "Sofi Bukan So-phee yang kirim pesan. Namanya aneh banget." Baharudin mengabarkan. Lalu terus dia membaca pesan dari Sofi. "Mas Agus, makasih ya ..." Leon dengan cepat mengambil ponsel dan tidak mau Baharudin membaca pesan dari Mentari. 'Mas Agus, makasih ya mau terima aku. Rasanya kayak mimpi hee ... hee ...' Leon tersenyum membaca pesan itu. Dia tidak menulis pesan balasan tapi memilih menelpon Mentari. Mata Leon melirik ke dinding, jam yang terpajang di sana menunjukkan
Leon harus mencari cara agar Retha tidak akan mengganggu dia lagi. Setidaknya dia tidak nekat datang ke mal mencarinya. "Gue masih lama sampai. Lu titip aja yang lu bawa ke satpam, entar gue ambil." Leon mencari alasan. "Ga masalah. Aku ga ada kuliah hari ini. Aku bisa nunggu kamu seharian di sini, kok." Retha tidak mau mengalah. "Damn," umpat Leon di hati. "Mikir ... mikir, Leon!" "Retha, lu beneran pingin deketin gue?" Leon harus berstrategi. "Aku udah jelasin ke kamu. Masih perlu aku ulang?" tanya Retha. Dia tetap terdengar santai dan ceria. "Oke. Gue kasih lu kesempatan, tapi lu mesti ikuti syarat gue," ujar Leon. "Syarat apaan?" Retha mulai terpancing. "Satu, gue ga suka urusan pribadi dibawa ke kerjaan. Kalau mau ketemu gue, jangan pernah nongol di mal. Janjian aja mau di mana, ntar gue ke sana." Leon bicara dengan tegas. "Oke, tapi ...""Kedua, gue cuma. punya waktu sekali seminggu buat ketemu lu.
"Sofi, aku cuma mau kamu baik-baik. Kita ga pernah tahu hati orang yang terdalam. Bisa jadi dia terlihat baik, tapi siapa yang tahu." Alman ingin sekali mengatakan siapa Leon. Sayangnya, dia tidak mungkin lakukan itu. Dia sudah berjanji pada Leon akan tutup mulut tentang siapa sebenarnya 'Agus'. "Om, makasih udah kasih peringatan sama aku. Aku pasti jaga diriku. Aku akan cerita sama Om kalau ada apa-apa. Aku ga punya siapa-siapa. Di Jakarta, Tuhan kirim Om buat aku, seperti aku ketemu ayah lagi." Mentari tersenyum manis. "Ga usah diterusin. Nanti aku mewek. Cepat habisin makanan kamu." Alman mengusap ujung matanya yang mulai basah. Dia tidak mau baper, ingat anak dan keponakannya lagi. Mentari menghabiskan sarapannya, lalu segera memulai pekerjaan. Alman pun balik ke tempat dia bekerja. Seperti biasa, mal penuh karena ramai pengunjung. Mentari seperti tidak ada waktu istirahat. Kalau sangat ramai, para pegawai harus istirahat gantian, dan hanya punya waktu sepuluh menit. Buat Ment
"Hai, Sayang!" Leon segera melemparkan senyum lebar pada Mentari. Semua rasa yang campur aduk di hatinya cepat dia sisihkan. Mentari tidak merespon. Dia terpaku memandang Leon. Siapa Leon sebenarnya? Dia baik, tampan, dan suka menolong. Dia bilang cinta pada Mentari, lalu menjadikannya kekasih. Tapi, semudah itu dia membuka diri untuk orang lain. Apa dia tidak mengerti yang Mentari rasakan? "Aku masih kerja. Sorry," kata Mentari. Dia berusaha menekan marah yang terus merajai hatinya. Mentari seolah tersadar kalau dia tidak mengenal pria yang telah jadi pacar pertama buat Mentari. Alman pasti benar. Dia harus hati-hati dengan Leon. Kenapa Mentari langsung setuju waktu Leon menyatakan cinta? Kenapa Mentari tidak jual mahal saja? Cinta pada pria tampan membuat Mentari buta. "Nanti kita ketemu abis kerja. Oke?" Leon bisa melihat aura tidak senang di wajah Mentari. Dia tahu dengan pasti karena dia wanita yang memperebutkan dirinya. "Mas Agus kan, udah ada janji sama Lila. Ya udah, ngap
Hati Leon terenyuh melihat Mentari seperti itu. Ini kali kedua Leon melihat Mentari menangis. Rasanya hati Leon ikut pedih. Dan yang sangat dia tidak suka, Mentari menangis karena dia."Sofi ..." Leon mengusap pipi Mentari yang basah. "Maafkan aku. Aku tahu kamu pasti marah sama aku.""Mas Agus kalau mau main-main cari wanita lain saja. Aku cuma ingin hidup baik-baik, punya uang cukup beli makan dan minum. Asal bisa menjalani semua tanpa menyusahkan orang lain, aku sudah senang. Kenapa Mas Agus tega sama aku?" Mentari berontak dan melepaskan pegangan Leon.Leon makin merasa bersalah. Dia tarik Mentari ke dadanya dan memeluknya erat-erat. Dia ingin Mentari tahu, sama sekali dia tidak bermaksud melukai hati Mentari."Sayang, please, dengarkan aku ..." ujar Leon sambil terus memeluk Mentari."Ga usah panggil sayang. Semua cuma gombal. Aku ga mau. Mas Agus pergi saja. Aku ga mau kayak gini." Mentari masih berusaha melepaskan diri."Nggak. Aku ga akan melepaskan kamu. Aku sangat sayang sama
Mentari baru sampai di toilet tempat dia bekerja. Lila berdiri berkacak pinggang menyambutnya. Wajah wanita muda itu tampak tegang. "Mbak, pagi ..." sapa Mentari. Dia bersikap sewajarnya. "Hhmm, aku perlu bicara serius dengan kamu." Bukan balasan sapaan yang Mentari terima. Sebaliknya sambutan dingin yang dia dapatkan. Mentari sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Lila. "Ya, Mbak. Gimana?" Mentari merasa dadanya berdegup. Ternyata dia bisa grogi juga menghadapi Lila. Apa yang akan Lila katakan? "Kamu tahu kan, aku suka sama Agus? Kamu juga tahu aku berusaha merebut hatinya dengan membawa makanan, kasih hadiah, dan lainnya. Kenapa tiba-tiba kamu yang jadian sama Agus?" Lila langsung pada tujuan dia ingin bicara pada Mentari. Mentari kaget dan menjadi gugup. Dia ternyata tidak siap diserang Lila seperti itu. "Jelas-jelas aku di depan kamu nunjukin kalau Agus itu udah aku iket, aku patok, dan ga boleh siapapun mendekat. Kamu, tanpa tanda-tanda, udah jalan bareng dia?" Lila be
Tatapan tajam Leon tidak mengejutkan Retha. Sejak awal dia tahu Leon memang tidak menghendaki menjalin hubungan dengan Retha. Tetapi waktu Retha mendengar Leon mengatakan sudah punya kekasih, Retha agak terkejut."Kamu sudah punya kekasih? Kenapa aku tidak yakin? Kalau benar, untuk apa tante Aster sengaja memintaku mendekatimu?" Retha tidak percaya bagian itu."Terserah lu percaya apa kagak. Itu kenyataan. Ah, makanan datang, lebih baik gue cepat makan lalu pulang," kata Leon sembari matanya melihat pada pelayan mengantarkan pesanan mereka, lebih tepatnya pesanan Retha. "Leon, aku bukan tipe yang mudah menyerah jika aku tahu apa yang aku inginkan. Sejak aku bocah, semua yang aku mau pasti aku dapat. Dan aku akan buktikan sama kamu, aku bisa menaklukkan kamu," tutur Retha. Tenang doa bicara, tapi seolah ada ancaman di sana.Ah, ternyata tidak segampang menyingkirkan Lila dan Devi berurusan dengan Retha kali ini. Leon menarik napas panjang. Dia makin yakin, Retha bukan wanita yang dia p
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de