"Di mana tuh cewek?! Cepat kejar! Jangan sampai dia lolos!!" Teriakan keras seorang pria berjaket hitam menggelegar di seluruh lorong belakang gedung-gedung tinggi itu. Langit di atas gelap, meskipun tidak sangat gelap. Hari memang sudah semakin malam. "Kita menyebar saja! Lu ke kanan, gue ke kiri. Lu, ame lu, lurus terus! Kalau sampai kita ga bisa bawa tuh cewek, kita yang mati. Paham lu pade?!" Suara keras itu makin tajam dan sangar terdengar. "Oke, Bang! Segera!" Salah satu dari lima pria itu menyahut. Sekejap, suara derap langkah berlari keras memenuhi lorong. Makin lama, makin menjauh. Beberapa detik berikut tidak terdengar lagi suara sepatu pria-pria berpakaian serba hitam itu. Perlahan, Mentari mengintip jalan di lorong itu, keluar dari persembunyian di belakang tempat sampah besar tepat di tengah lorong. Tidak ada siapapun. Tangan Mentari gemetar. Wajahnya pucat pasi, giginya pun gemeletuk saling beradu. Nafasnya juga masih tersengal. Mentari memastikan tidak ada yang m
Mentari berjalan dengan cepat menjauh dari mobil Leon. Mata Mentari mengawasi ke kiri dan kanan, berhati-hati jika dia melihat pria dengan jaket hitam di sekitarnya. Degupan di dada Mentari belum mereda, pun rasa takut belum benar-benar menyingkir. Mentari melihat ada gang tidak terlalu lebar di depannya. Langkah kaki Mentari berbelok masuk ke gang itu. Gang tampak sepi. Mentari berharap ada di arah yang benar dan dia bisa kabur dari kejaran pria-pria itu. Langkah kaki Mentari mulai melambat. Dia hampir yakin orang-orang itu sudah jauh. Tak tok tak tok! Mentari berbalik badan dengan cepat. Suara sepatu itu. Apakah itu mereka? Tak tok tak tok! “Tidak! Kenapa mereka ada di mana-mana, sih?” Ketakutan kembali menguasai hati Mentari. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari kemungkinan arah mana yang bisa dia pilih. Mentari melihat beberapa meter di sebelah kanannya, ada tangga naik. Mentari tidak tahu itu gedung apa, yang pasti dia harus bersembunyi segera, sejauh mungkin dari jang
Mentari makin meringkuk dengan tubuh bergetar. Nafasnya terdengar memburu karena ketakutan. Tubuh Mentari pun oleng. Pria itu urung memegang lengan Mentari, karena Mentari terjatuh, meringkuk, dan tidak sadarkan diri. "Astaga! Ini hari apa, sih? Kenapa aku sial begini?" Pria itu kaget dan bingung karena gadis di depannya tiba-tiba jatuh pingsan. "Aduh, bagaimana ini? Kalau ada yang tahu ini cewek di sini, bisa berabe juga. Dia harus bangun." Pria bertubuh agak gemuk itu kesal. Pria itu setengah berjongkok di sisi tubuh Mentari. Dia bermaksud membangunkan gadis itu. Tapi begitu dia sentuh lengan Mentari, segera dia lepaskan lagi. "Ya ampun!! Panas sekali. Ini cewek sakit?" Pria itu semakin bingung. Tidak mungkin dia membiarkan gadis tak dikenalnya itu pingsan di situ dengan kondisi mengenaskan. Perlahan dia menyentuh tubuh Mentari dan membaringkannya dengan posisi terlentang. Dia perhatikan kondisi gadis bertubuh kurus dengan rambut berantakan itu. "Wajahnya kotor begini. Sisa da
Panggilan itu membuat Mentari dengan cepat menoleh. Alman berjalan mendekat. Pria bertubuh agak gemuk dengan rambut ikal itu tersenyum. Ternyata, Alman suka tersenyum. "Lihat ..." Alman menunjukkan kotak yang ada di tangannya. "Ada temanku yang ulang tahun. Dia bagi-bagi makanan. Ini pasti enak." Alman berjongkok di depan pintu dan membuka kotak kue yang dia letakkan di depan Mentari. Donat, pastel, dan risoles ada di kotak itu. Alman memberikannya pada Mentari. Mentari memandang Alman. Rasa takut yang semula menyergap hati Mentari perlahan lenyap. Apa Alman benar-benar baik? Mungkinkah Mentari akan mendapat pertolongan dari pria ini? “Makanlah, lalu minum obat ini.” Alman mengulurkan satu lembar obat kepada Mentari. “Setelah itu kamu bisa pulang.” "Bisakah aku di sini saja? Aku belum bisa pergi, Om. Belum kuat." Mentari beralasan. Sebenarnya Mentari belum berani keluar dari persembunyiannya. Paling aman kalau dia keluar di malam hari, atau setidaknya menunggu hingga sehari lag
Mentari oleng dan terjatuh hingga hampir terlentang. Pria itu lumayan tinggi dan gagah. Pantas saja mampu membuat tubuh Mentari yang tipis sampai terjerembab. "Hei! Lu ngapain?!" Pria itu berseru kaget. Mentari dengan cepat menegakkan badan. Masih setengah berjongkok, Mentari melihat pada pria itu. Keren sekali. Kulitnya bersih, dengan kacamata gelap bertengger di wajahnya. Sedang kepalanya ditutup dengan topi merah gelap bertuliskan. You - Yes! "Lu nggak apa-apa?" tanya pria itu. Dia sedikit membungkuk, mengulurkan tangan hendak menolong Mentari. Mentari terpana. Benar-benar keren pria di depannya itu! Seperti artis saja. Dengan kaos putih dan denim biru terang, dia makin memukau meskipun Mentari tidak bisa melihat jelas karena kacamata dan topi yang menghiasi wajah dan kepala. "Hei, gue ngomong, nih!" ujar si tampan. "Lu ga apa-apa?" "Nggak, aku cuma kaget." Dengan cepat Mentari berdiri, tidak menerima uluran tangan pria itu. "Oh, oke. Gue kira ... abis lu bengong aja," kata
"Om udah terlalu banyak bantu. Ga usah, Om makin repot nanti," kata Mentari. "Aku akan coba kerja apa saja, tukang cuci, jaga toko, apapun. Yang penting bisa makan tiap hari, yang boleh ga usah pakai ijazah." Sebenarnya, justru Mentari takut berurusan dengan polisi. Dia harus menunjukkan siapa dirinya dan asal usulnya, sedangkan Mentari sedang bersembunyi. Buyar semua kalau sampai dia ketahuan. Alman tersenyum. Hatinya berbisik, "Manis dan lugu sekali gadis cantik ini. Masih mikir ga mau ngrepotin orang. Padahal kondisinya memang banget butuh bantuan." "Ya, udah. Terserah kamu. Oya, aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tahu siapapun." Alman maju dua langkah. "Rahasia? Apaan, Om?" Degdegan seketika dada Mentari mendengar kalimat Alman. "Aku ga gembok pintu turun ke mal. Kalau kamu perlu ke toilet, tengah malam, bisa langsung aja." Alman bicara setengah berbisik, seperti takut ada yang mendengar. Mentari tersenyum kecil. Alman punya kunci pintu? Dia cleaning service atau sekuriti?
"Estas listo?" Pria berhidung bangir dengan rambut cepak sedikit botak di bagian atas itu menatap Leon. "Sí, Señor Álvarez. Saya siap bekerja." Leon berdiri tegak membalas tatapan papanya, Horacio Alvarez. “Oke. Kalau begitu, kamu mulai bekerja.” Horacio berkata tegas. Tangannya meraih plastik di meja sebelahnya. Plastik itu berisi pakaian yang terlipat rapi di sana. “Ini seragam kerjamu. Pak Sujana yang akan mengawasi kamu selama bekerja. Dia akan menunjukkan apapun yang kamu perlu tahu. Tapi, kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh dia. Kamu adalah pegawai. Kamu mengerti?” Tatapan tegas Horacio arahkan pada putra sulungnya. “Oke, ngerti,” jawab Leon setengah enggan. “Aku akan selalu bertanya pada Pak Sujana bagaimana kamu dalam bekerja. Itu bisa kapan saja. Aku tidak mau kamu membuat masalah. Paham?” Lagi-lagi, kalimat yang tidak ingin Leon dengar harus dia telan. “Iya, sangat paham. Jadi gimana? Aku sudah bisa bekerja?” Leon sudah tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Lebih baik dia
Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui."Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu."Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi."Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai.