Share

Bab 2 - Bersembunyi

Penulis: Ayunina Sharlyn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-15 07:00:41

Mentari berjalan dengan cepat menjauh dari mobil Leon. Mata Mentari mengawasi ke kiri dan kanan, berhati-hati jika dia melihat pria dengan jaket hitam di sekitarnya. Degupan di dada Mentari belum mereda, pun rasa takut belum benar-benar menyingkir.

Mentari melihat ada gang tidak terlalu lebar di depannya. Langkah kaki Mentari berbelok masuk ke gang itu. Gang tampak sepi. Mentari berharap ada di arah yang benar dan dia bisa kabur dari kejaran pria-pria itu. Langkah kaki Mentari mulai melambat. Dia hampir yakin orang-orang itu sudah jauh.

Tak tok tak tok!

Mentari berbalik badan dengan cepat. Suara sepatu itu. Apakah itu mereka?

Tak tok tak tok!

“Tidak! Kenapa mereka ada di mana-mana, sih?” Ketakutan kembali menguasai hati Mentari. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari kemungkinan arah mana yang bisa dia pilih.

Mentari melihat beberapa meter di sebelah kanannya, ada tangga naik. Mentari tidak tahu itu gedung apa, yang pasti dia harus bersembunyi segera, sejauh mungkin dari jangkauan pria-pria itu. Dengan tubuh gemetar dan langkah sedikit oleng, Mentari nekat. Dia mendekati tangga darurat belakang gedung dan mulai naik.

Suara langkah kaki makin terdengar keras. Mentari mempercepat gerakan tangan dan kakinya ke atas. Jangan sampai dia tertangkap, atau dia akan kembali masuk dalam cengkeraman tangan manusia-manusia jahat.

Dua orang pria berhenti tidak jauh dari tangga yang Mentari naiki.

"Sial! Bagaimana bisa dia lolos!? Kita ada berenam, dan gadis kecil itu sendirian! Sial!!" Pria dengan jambang tebal itu menghentakkan kakinya karena kesal.

Mentari berjongkok, meringkuk di belokan tangga di salah satu lantai. Dia tidak berani bergerak. Kalau boleh, dia mau berhenti bernafas sebentar saja, sampai pria-pria itu kembali berlalu. Untung juga gaun yang dia kenakan warnanya gelap, hampir hitam. Tidak akan mudah terlihat oleh mereka di keremangan.

"Lu yakin, tuh cewek tadi ke arah sini?" Yang satu lagi ikut bicara.

"Iye, Bang, gue yakin. Tapi gimana bisa tiba-tiba tuh cewek ngeselin malah lenyap begitu aja?" sahut kawannya. Nada jengkel juga terdengar dari ucapannya.

"Waktu kita ga banyak. Dua jam lagi bos mau terbang. Dia ga boleh sampai ketinggalan pesawat. Kita bisa dia habisi. Benar-benar menyebalkan. Kalau gue dapat itu cewek, gue duluan yang akan makan dia! Biar tau rasa!" ujar pria itu dengan kesal.

Mendengar kata-kata itu, Mentari menutup mulutnya. Butiran bening dengan cepat mengumpul di matanya yang tampak penat. Sementara rasa ketakutan makin berlipat mendera.

Tuttt ... tuttt ... Bunyi dering ponsel.

Pria yang lebih kecil, dengan cepat menerima panggilan. Dia berbicara dengan lebih pelan, dan tidak bisa tertangkap suaranya oleh Mentari. Entah apa yang terjadi, kedua pria itu pun berjalan cepat meninggalkan lorong.

“Ahh … untunglah … Makasih, ya Tuhan,” gumam Mentari.

Begitu keduanya tidak lagi tampak, Mentari kembali naik ke atas. Lebih baik dia mengamankan diri secepatnya. Dengan tubuh terasa makin lemas dan lunglai, Mentari akhirnya berhasil mencapai puncak.

Atap bangunan besar dan tinggi sangat luas. Mentari berasa di atap sebuah mal.

Mentari tidak tahu ini di daerah mana, tidak juga tahu mal apa namanya. Yang pasti dari atap gedung itu, Mentari bisa melihat banyak gedung lain yang juga menjulang di sekitar tempat dia berdiri. Mentari memandang ke sekeliling. Tidak ada siapapun, tidak ada apapun. Kecuali satu bangunan seperti sebuah gudang tidak begitu besar, sedikit di pinggir di satu sisi atap mal itu.

"Aku lapar ... haus ... aku lelah sekali ..." Mentari menyeret kakinya menuju ke bangunan itu.

Ternyata memang bangunan darurat tidak permanen. Dinding dibuat dari triplek saja. Sedang atapnya terbuat dari seng dan kayu-kayu bekas. Mentari mengulurkan tangan dan membuka pintu gudang itu. Bagus, tidak dikunci.

Remang-remang cahaya dari lampu-lampu atas gedung dan lampu sorot sedikit menerangi hingga ke dalam. Mentari menajamkan pandangan matanya agar bisa melihat dalam ruangan dengan lebih jelas.

"Kosong ..." Mentari yakin gudang itu kosong.

Hanya ada beberapa barang di sana. Tali, selang air, kardus, dan plastik-plastik yang sepertinya sudah tidak terpakai.

"Ah ... sakit perutku ..." Mentari terduduk di atas tumpukan plastik.

Tubuh Mentari terasa gemetar. Dia benar-benar lelah, kelaparan, dan kehausan. Ruangan sempit dan berdebu sudah tidak Mentari pedulikan. Kalau bisa, Mentari ingin membaringkan badannya yang terasa sangat penat.

Perut Mentari semakin terasa melilit. Tidak ada air, apalagi makanan. Tubuh kecilnya semakin menggigil dan gemetar. Mentari menjatuhkan tubuh dan meringkuk memegangi perutnya.

"Ibu ... Ayah ... aku mau mati rasanya ... Apa kita akan segera bertemu ...?" lirih Mentari berucap.

Dalam bayangannya, kedua orang tuanya memandanginya dari jauh, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ibu … Ayah … bawa aku. Aku ga mau sendirian lagi … Aku takut … sangat takut …” lanjut Mentari semakin pelan.

Butiran bening mengalir dari mata Mentari. Dia bahkan tidak sanggup lagi mengusap air mata. Kedua tangannya terus memegangi perut yang makin sakit. Karena lelah, takut, dan kelaparan, Mentari pun tertidur.

*****

Mentari merasa ada tangan yang memegang bahunya. Kaget, Mentari dengan cepat bangun dan mengangkat wajah. Seorang pria setengah baya berkumis berdiri menatapnya dengan galak.

"Tuan, jangan, aku mohon. Aku ga mau ke sana lagi, Tuan. Aku mohon jangan. Jangan ganggu aku." Mentari menyatukan kedua tangannya, seperti sedang berdoa. Mentari memohon dengan ketakutan luar biasa menerjang tiba-tiba.

"Apa kamu bilang?" Suara pria itu berat dan serak. Matanya setengah melotot menatap Mentari.

"Tuan, tolong, Tuan. Ampun, aku ga mau dibawa ke sana lagi. Aku cuma mau cari kerja yang baik. Lepaskan aku, Tuan. Aku mohon." Tangan Mentari yang bersatu makin naik menutupi wajahnya. Tampak gemetar, seperti suaranya.

Lapar dan haus tidak lagi terasa. Penat dan sakit di sekujur tubuh pun tidak. Mentari putus asa. Di tempat yang paling tinggi yang dia yakin aman buat dia bersembunyi, tetap saja dia ketahuan.

"Kamu ga tahu ini tempat apa? Kamu ga seharusnya ada di sini! Ayo, ikut!" Pria itu maju selangkah dengan tangan terulur hendak memegang lengan Mentari.

"Jangan, Tuan! Jangan!" Mentari mundur, makin merapat ke dinding dengan tubuh makin gemetar.

Ketakutan, kelelahan, kelaparan, dan depresi membuat Mentari kalang kabut.

"Kamu harus ikut. Sekarang, ayo ..."

"Aku mohon, Tuan, jangan ... jangan ..." Tidak ada kata lain yang Mentari bisa katakan. Dia hanya bisa memohon dengan air mata sudah berderai di kedua pipinya.

Pria setengah baya itu maju dua langkah dan semakin mendekat. Tangannya terangkat ke arah lengan Mentari!

Bab terkait

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 3 - Sofi?

    Mentari makin meringkuk dengan tubuh bergetar. Nafasnya terdengar memburu karena ketakutan. Tubuh Mentari pun oleng. Pria itu urung memegang lengan Mentari, karena Mentari terjatuh, meringkuk, dan tidak sadarkan diri. "Astaga! Ini hari apa, sih? Kenapa aku sial begini?" Pria itu kaget dan bingung karena gadis di depannya tiba-tiba jatuh pingsan. "Aduh, bagaimana ini? Kalau ada yang tahu ini cewek di sini, bisa berabe juga. Dia harus bangun." Pria bertubuh agak gemuk itu kesal. Pria itu setengah berjongkok di sisi tubuh Mentari. Dia bermaksud membangunkan gadis itu. Tapi begitu dia sentuh lengan Mentari, segera dia lepaskan lagi. "Ya ampun!! Panas sekali. Ini cewek sakit?" Pria itu semakin bingung. Tidak mungkin dia membiarkan gadis tak dikenalnya itu pingsan di situ dengan kondisi mengenaskan. Perlahan dia menyentuh tubuh Mentari dan membaringkannya dengan posisi terlentang. Dia perhatikan kondisi gadis bertubuh kurus dengan rambut berantakan itu. "Wajahnya kotor begini. Sisa da

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-16
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 4 - Gudang

    Panggilan itu membuat Mentari dengan cepat menoleh. Alman berjalan mendekat. Pria bertubuh agak gemuk dengan rambut ikal itu tersenyum. Ternyata, Alman suka tersenyum. "Lihat ..." Alman menunjukkan kotak yang ada di tangannya. "Ada temanku yang ulang tahun. Dia bagi-bagi makanan. Ini pasti enak." Alman berjongkok di depan pintu dan membuka kotak kue yang dia letakkan di depan Mentari. Donat, pastel, dan risoles ada di kotak itu. Alman memberikannya pada Mentari. Mentari memandang Alman. Rasa takut yang semula menyergap hati Mentari perlahan lenyap. Apa Alman benar-benar baik? Mungkinkah Mentari akan mendapat pertolongan dari pria ini? “Makanlah, lalu minum obat ini.” Alman mengulurkan satu lembar obat kepada Mentari. “Setelah itu kamu bisa pulang.” "Bisakah aku di sini saja? Aku belum bisa pergi, Om. Belum kuat." Mentari beralasan. Sebenarnya Mentari belum berani keluar dari persembunyiannya. Paling aman kalau dia keluar di malam hari, atau setidaknya menunggu hingga sehari lag

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-17
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 5 - Terpana

    Mentari oleng dan terjatuh hingga hampir terlentang. Pria itu lumayan tinggi dan gagah. Pantas saja mampu membuat tubuh Mentari yang tipis sampai terjerembab. "Hei! Lu ngapain?!" Pria itu berseru kaget. Mentari dengan cepat menegakkan badan. Masih setengah berjongkok, Mentari melihat pada pria itu. Keren sekali. Kulitnya bersih, dengan kacamata gelap bertengger di wajahnya. Sedang kepalanya ditutup dengan topi merah gelap bertuliskan. You - Yes! "Lu nggak apa-apa?" tanya pria itu. Dia sedikit membungkuk, mengulurkan tangan hendak menolong Mentari. Mentari terpana. Benar-benar keren pria di depannya itu! Seperti artis saja. Dengan kaos putih dan denim biru terang, dia makin memukau meskipun Mentari tidak bisa melihat jelas karena kacamata dan topi yang menghiasi wajah dan kepala. "Hei, gue ngomong, nih!" ujar si tampan. "Lu ga apa-apa?" "Nggak, aku cuma kaget." Dengan cepat Mentari berdiri, tidak menerima uluran tangan pria itu. "Oh, oke. Gue kira ... abis lu bengong aja," kata

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 6 - Imajinasi dan Strategi

    "Om udah terlalu banyak bantu. Ga usah, Om makin repot nanti," kata Mentari. "Aku akan coba kerja apa saja, tukang cuci, jaga toko, apapun. Yang penting bisa makan tiap hari, yang boleh ga usah pakai ijazah." Sebenarnya, justru Mentari takut berurusan dengan polisi. Dia harus menunjukkan siapa dirinya dan asal usulnya, sedangkan Mentari sedang bersembunyi. Buyar semua kalau sampai dia ketahuan. Alman tersenyum. Hatinya berbisik, "Manis dan lugu sekali gadis cantik ini. Masih mikir ga mau ngrepotin orang. Padahal kondisinya memang banget butuh bantuan." "Ya, udah. Terserah kamu. Oya, aku punya rahasia. Tapi jangan kasih tahu siapapun." Alman maju dua langkah. "Rahasia? Apaan, Om?" Degdegan seketika dada Mentari mendengar kalimat Alman. "Aku ga gembok pintu turun ke mal. Kalau kamu perlu ke toilet, tengah malam, bisa langsung aja." Alman bicara setengah berbisik, seperti takut ada yang mendengar. Mentari tersenyum kecil. Alman punya kunci pintu? Dia cleaning service atau sekuriti?

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-01
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 7 - Seragam

    "Estas listo?" Pria berhidung bangir dengan rambut cepak sedikit botak di bagian atas itu menatap Leon. "Sí, Señor Álvarez. Saya siap bekerja." Leon berdiri tegak membalas tatapan papanya, Horacio Alvarez. “Oke. Kalau begitu, kamu mulai bekerja.” Horacio berkata tegas. Tangannya meraih plastik di meja sebelahnya. Plastik itu berisi pakaian yang terlipat rapi di sana. “Ini seragam kerjamu. Pak Sujana yang akan mengawasi kamu selama bekerja. Dia akan menunjukkan apapun yang kamu perlu tahu. Tapi, kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh dia. Kamu adalah pegawai. Kamu mengerti?” Tatapan tegas Horacio arahkan pada putra sulungnya. “Oke, ngerti,” jawab Leon setengah enggan. “Aku akan selalu bertanya pada Pak Sujana bagaimana kamu dalam bekerja. Itu bisa kapan saja. Aku tidak mau kamu membuat masalah. Paham?” Lagi-lagi, kalimat yang tidak ingin Leon dengar harus dia telan. “Iya, sangat paham. Jadi gimana? Aku sudah bisa bekerja?” Leon sudah tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Lebih baik dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-06
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 8 - Melamar

    Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui."Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu."Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi."Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai.

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-02
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 9 - Akhirnya!

    Mentari merasa tubuhnya kembali gemetar dan napasnya melaju cepat. Begitu dia membuka mata, ternyata Alman yang muncul di depannya. "Om, aku kaget ..." ujarnya dengan debaran di jantung masih belum normal. "Hee ... hee ... sorry ..." Alman membuka pintu lebar, lalu duduk di dekat pintu. Dia membuka plastik yang dia bawa. Lagi-lagi makan siang dia berikan untuk Mentari. "Ini, makan siang bentar, lalu lanjut kerja." Alman tersenyum. Dia cepat membuka makanannya dan segera menyuap yang pertama. Mentari mengikuti. Tapi terus terang saja, ada rasa tidak enak di hatinya. Kasihan Alman kalau terus membawakan makanan untuknya. Lapar yang tadi sempat melilit, tiba-tiba saja jadi hilang. "Belum dapat kerjaan?" tanya Alman sembari menyendok nasi. Mentari menggeleng. "Ga ada yang mau terima, Om. Soalnya aku ga ada ijazah dan KTP." "Emang susah kalau ga ada KTP dan ijazah." Suara Alman begitu tenang. Dia masukkan lagi sesuap dan mengunyah makanannya dengan semangat. "Aku ga enak kalau ngrep

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 10 - Agus

    Safira memutar tubuhnya sedikit dan menghadap lurus pada Alman. "Pak Alman, ini antara aku dan Sofi. Aku bisa paham situasinya, tetapi ..." Mata Safira beralih pada Alman. "... aku tetap mau memastikan perusahaan tidak akan sekadar menerima orang hanya karena iba. Perusahaan ini bukan yayasan sosial." Mendengar kalimat itu Mentari menelan ludahnya. Alman bilang Bu Bos baik? Tetapi yang Mentari hadapi adalah wanita tegas tanpa belas kasihan. Tetapi dia benar. Jika Mentari mau bekerja ada standar yang harus ia ikuti. Lalu, perlukah dia menghiba? Karena jelas kriteria yang diharapkan darinya belum tentu akan terpenuhi. "Bu, saya sangat membutuhkan pekerjaan, apapun itu. Saya minta maaf jika mengharapkan pekerjaan tetapi tidak memenuhi apa yang disyaratkan. Saya janji tidak akan mengecewakan. Beri saya waktu satu bulan saja. Jika ternyata tidak bisa bekerja dengan baik, saya yang akan mengundurkan diri." Mentari tidak mau menyerah begitu saja. Alman sudah berusaha mencari peluang buat

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-18

Bab terbaru

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 125 - Di Atap Mal

    "Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 124 - Satu Lagi Keajaiban

    Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 123 - Leon Junior!

    Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 122 - More Than I Can Wish

    "Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 121 - Kejutan Leon

    Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 120 - Tidak Malam Ini

    Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 119 - Di Kamar Pengantin

    Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 118 - Gaun Putih

    Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup

  • Ternyata Mencintai Anak Pemilik Mal   Bab 117 - So? How?

    Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status