Leon menghentikan langkah kakinya dan memperhatikan keributan yang ada di salah satu toko yang dia lalui.
"Gimana ceritanye, lu mau ngelamar kerja tapi kagak ada ijazah? Jangan ngadi-ngadi, Neng!" Seorang wanita berpostur besar tampak geram memandang gadis cantik yang ada di depannya.
Gadis itu tidak begitu tinggi, agak kurus, dan terlihat takut-takut melihat wanita itu.
"Maaf, Bu. Ijazah saya hilang, tapi saya butuh pekerjaan. Tolonglah, Bu." Gadis itu menghiba. "Saya bisa kerja apa saja, yang penting bisa kerja, Bu."
Leon mengerutkan keningnya. Aneh sih, ijazah kok sampai hilang. Memang gadis itu kena bencana banjir atau tanah longsor?
"Haallah, alasan klise. Bukan sekali ini orang datang minta kerja alasan kagak punye ijazah. Ntar, udah gue baikin, heh, nyolong! Ga pake alasan ye? Mau kerja, bawa sini ijazah lu!" Wanita itu masih terlihat emosi.
"Maaf, Bu. Saya permisi." Suara gadis itu terdengar pasrah dan sedih. Lalu dengan langkah lesu dia meninggalkan toko itu yang mulai ramai. Beberapa pengunjung berhenti dan memperhatikan kejadian itu.
Leon terus mengekori si gadis dengan pandangannya. Gadis itu melangkah ke arah food center yang akan Leon tuju. Refleks Leon mengikuti si gadis yang memang menuju food center. Dia berhenti tidak jauh dari stand pertama paling kiri. Tampak dia ragu-ragu melangkah. Gadis itu berbalik, dua langkah kaki, dia kembali berhenti.
"Kok, gue rasanya pernah lihat ini cewek?" gumam Leon. Seperti belum lama Leon melihat wajah dan model gadis seperti gadis melow itu.
Leon masih memperhatikan. Lalu gadis itu berbalik lagi dan melanjutkan langkah ke stand yang sepi, tidak ada pengunjung, stand minuman, stand nomor tiga dari kiri. Gadis itu mulai bicara dengan pegawai yang ada di stand itu. Kaki Leon kembali bergerak. Entah kenapa dia penasaran pada gadis itu. Leon bahkan lupa, dia mau beli makan siang. Dan stand yang Leon akan tuju hanya berjarak tiga stand lagi dari tempat gadis itu berdiri.
"Jadi ga bisa, ya? Serius, Mbak?" Suara sendu gadis itu terdengar. Leon makin yaikin dia pernah melihat gadis itu. Nada bicaranya khas Jawa meskipun tidak sangat medok.
"Ya gimana, ya? Itu aturannya, sih. Di sini emang ketat kalau buat ngelamar kerja. Ga ada ijazah dan KTP ga bisa, dong." Mbak pelayan stand itu menjawab ramah.
"Biar cuma bagian cuci piring dan bersihkan meja, ga bisa? Saya butuh kerja apapun untuk dapat uang, biar bisa makan, Mbak." Gadis itu masih membujuk.
"Beneran aku ga bisa bantu. Kalau misal ini stand aku yang punya, bisa jadi masih aku pertimbangkan." Pelayan itu menegaskan lagi.
"Baiklah ..." Lesu, gadis itu mengangguk. Dia memegang dadanya, lalu turun ke perutnya. Leon bisa melihat gadis itu tampak lelah dan sedih.
"Jadi aturannya seketat itu kalau mau kerja di sini?" Hati Leon bicara. Dia ingat kembali ucapan ibu di toko sebelumnya. Ada yang berbuat nakal, mencuri waktu diterima tanpa ada aturan tegas. Memang penting ada persyaratan jelas, agar orang tidak memanfaatkan kebaikan lalu disalahgunakan.
Gadis itu berjalan tertunduk. Dia berniat meninggalkan food center meskipun masih ada banyak stand yang belum dia datangi. Leon hampir saja mengikuti gadis itu lagi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan cepat dia mengambil dari saku celana dan menerima panggilan.
"Ya, Pak? Oh, ini baru mau makan. Sorry, antri dan rame. Aku cepat balik sana." Leon menjawab panggilan Sujana. Saat dia menoleh ke arah gadis tadi, gadis itu tak terlihat lagi. Leon mematikan panggilan, memasukkan lagi ponsel di celana, tetapi matanya masih beredar mencari di mana gadis itu berada.
Lalu Leon menuju stand yang dia maksud. Lumayan rame, tapi pelayanannya cukup cepat. Leon hanya menunggu beberapa menit sudah mendapatkan pesanan dan segera dia mencari tempat untuk menikmati makan siangnya. Sementara makan, pikiran Leon kembali teringat si gadis. Ke mana lagi dia? Kalau tidak dapat kerja, dia tidak ada uang, lalu dari mana dia bisa beli makanan?
"Harusnya gue bisa buat sesuatu. Gue apa perlu bicara sama Pak Su, ngasih dia kerjaan? Tapi gimana gue bisa ketemu tuh cewek?" Leon terus memikirkan gadis itu. Sedang dia harus bergegas balik menemui Sujana dan meneruskan urusan hari itu.
*****
Mentari duduk di kursi panjang teras mal. Dari pagi dia berkeliling bertanya di setiap toko jika bisa mendapakan pekerjaan, tapi tidak ada hasil. Semua jawaban sama, kalau mau bekerja, mengajukan lamaran dengan syarat lengkap, foto copy KTP dan Ijazah disertakan. Sedang syarat itu yang Mentari tidak mungkin akan penuhi.
"Ya Tuhan ... ke mana lagi aku cari kerjaan? Apa perlu keluar mal? Di toko sekitar mal ini? Kalau ternyata sama aja, gimana?" Mentari bergelut dalam hati. Dia memandang ke depan, pada jalanan di depan mal yang lumayan ramai. Orang berlalu lalang seperti tidak ada habisnya.
"Aku mohon, Tuhan, ulurkan tangan-Mu. Kerja apapun, yang penting bisa dapat uang, biar dikit. Ga mungkin aku ngarep bantuan Om Alman terus. Mau gimana, dia orang lain. Lama-lama pasti dia lelah bantu. Dia pasti juga ada kebutuhan buat dirinya dan keluarganya," lanjut Mentari bicara di dalam hatinya sendiri.
Mata Mentari tiba-tiba tertuju pada sosok pria tinggi besar di seberang jalan. Pria itu mengenakan pakaian hitam-hitam lengkap dengan topi hitam. Jantung Mentari seketika melaju cepat. Tidak menunggu apapun lagi, Mentari berdiri dan sedikit berlari masuk ke dalam mal. Yang dia tuju adalah lift menuju lantai teratas dan secepatnya dia balik ke atap, di gudang tempat dia bersembunyi.
Rasa takut begitu cepat mendera Mentari. Satu saja yang harus dia lakukan, menjauhi pria dengan pakaian hitam-hitam. Karena siapa tahu itu adalah anak buah Tuan Jahat yang hampir menodai Mentari malam itu. Sampai di gudang, Mentari duduk di dalam sambil memeluk lututnya kuat-kuat.
"Tuhan, tolong ... tolong aku ... singkirkan jauh-jauh orang-orang itu. Jangan sampai mereka datang dan menemukan aku. Aku ga mau. Aku takut sekali. Tuhan, tolong ..." Bibir Mentari terus mengucapkan doa itu. Dalam pikirannya seolah-olah pria yang mengejarnya sudah dekat dan bisa saja menemukan dia tiba-tiba.
Sampai beberapa waktu, karena tidak terdengar apa-apa, Mentari mulai merasa nafasnya yang memburu perlahan menjadi tenang. Mentari melonggarkan pelukan kuat di kedua kakinya. Lalu dia merangkak ke arah pintu dan perlahan melongok keluar. Tidak ada siapapun di sana.
"Aman ... Makasih, Tuhan ..." Mentari menarik tubuhnya lagi dan bersandar pada dinding triplek di belakangnya. Mentari menarik nafas dalam dan memejamkan mata.
"Hei ... kamu di sini?" Suara berat menegur Mentari dan membuatnya sedikit terlonjak karena kaget.
Mentari merasa tubuhnya kembali gemetar dan napasnya melaju cepat. Begitu dia membuka mata, ternyata Alman yang muncul di depannya. "Om, aku kaget ..." ujarnya dengan debaran di jantung masih belum normal. "Hee ... hee ... sorry ..." Alman membuka pintu lebar, lalu duduk di dekat pintu. Dia membuka plastik yang dia bawa. Lagi-lagi makan siang dia berikan untuk Mentari. "Ini, makan siang bentar, lalu lanjut kerja." Alman tersenyum. Dia cepat membuka makanannya dan segera menyuap yang pertama. Mentari mengikuti. Tapi terus terang saja, ada rasa tidak enak di hatinya. Kasihan Alman kalau terus membawakan makanan untuknya. Lapar yang tadi sempat melilit, tiba-tiba saja jadi hilang. "Belum dapat kerjaan?" tanya Alman sembari menyendok nasi. Mentari menggeleng. "Ga ada yang mau terima, Om. Soalnya aku ga ada ijazah dan KTP." "Emang susah kalau ga ada KTP dan ijazah." Suara Alman begitu tenang. Dia masukkan lagi sesuap dan mengunyah makanannya dengan semangat. "Aku ga enak kalau ngrep
Safira memutar tubuhnya sedikit dan menghadap lurus pada Alman. "Pak Alman, ini antara aku dan Sofi. Aku bisa paham situasinya, tetapi ..." Mata Safira beralih pada Alman. "... aku tetap mau memastikan perusahaan tidak akan sekadar menerima orang hanya karena iba. Perusahaan ini bukan yayasan sosial." Mendengar kalimat itu Mentari menelan ludahnya. Alman bilang Bu Bos baik? Tetapi yang Mentari hadapi adalah wanita tegas tanpa belas kasihan. Tetapi dia benar. Jika Mentari mau bekerja ada standar yang harus ia ikuti. Lalu, perlukah dia menghiba? Karena jelas kriteria yang diharapkan darinya belum tentu akan terpenuhi. "Bu, saya sangat membutuhkan pekerjaan, apapun itu. Saya minta maaf jika mengharapkan pekerjaan tetapi tidak memenuhi apa yang disyaratkan. Saya janji tidak akan mengecewakan. Beri saya waktu satu bulan saja. Jika ternyata tidak bisa bekerja dengan baik, saya yang akan mengundurkan diri." Mentari tidak mau menyerah begitu saja. Alman sudah berusaha mencari peluang buat
Leon memandang Mentari. Perlahan Leon ingat kalau gadis imut dan sedikit kurus itu adalah gadis yang bingung mencari kerja di mal itu. Bagus juga, akhirnya ada pekerjaan buatnya. "Iya, nama gue Agus," ulang pemuda itu yang tak lain adalah Leon. "Hee ... hee ..." Senyum Mentari melebar. Tapi tangannya terulur juga menyalami Leon. "Kenapa lu ketawa?" Ganti Leon yang merasa heran dengan reaksi Leon. "Nggak, ga apa-apa. Hee ... Mas Agus, iya ..." Mentari mengangguk-angguk lalu melepas jabat tangan mereka. "Mas Agus?" ulang Leon makin heran. Aneh sekali dengan panggilan itu. Dia dipanggil Mas! "Pagi!" Suara besar membuyarkan perkenalan Mentari dan Leon. Keduanya menoleh ke arah suara itu, tampaklah pria dan wanita berjalan mendekat. Suara besar itu adalah suara Alman. Mentari tidak terkejut. Sedang wanita yang di sampingnya, Mentari belum pernah melihatnya. "Ah, dia sudah di sini, Pak Alman. Bapak bener, dia memang rajin," Wanita itu menatap lurus pada Mentari. Ada senyum kecil dari
Refleks tangan Mentari mengusap rambutnya yang tergerai indah dengan warna baru yang membuatnya terlihat lebih cerah dan cantik. "Beda sekali. Hampir gue ga ngenalin lu. Sofi, kan?" tanya Leon sambil kembali mendekat beberapa langkah. Leon dan Mentari berhadapan hanya berjarak satu meter. Wajah tampan yang mempesona itu makin terlihat jelas. "Iya. Mas Agus udah hapal aku. Padahal kita baru kenal," kata Mentari. "Abis, lu unik. Manggil gue Mas. Aneh tahu. Panggil aja nama," ujar Leon. "Ga sopan, Mas. Ga boleh kata ibuku," sahut Mentari. "Terserah lu, deh. Hee ... hee ..." Leon tertawa kecil dengan ucapan Mentari. "Tapi lu cakep. Lu cantik kayak gini. Suka nyalon juga lu?" "Apa?" Mentari tidak begitu paham dengan kalimat Leon. Dia mengerutkan kening berpikir. "Ohh, salon? Nggak. Aku jarang ke salon. Ini gratisan, Mas. Mana aku ada duit." "Hee ... hee ... lu beneran unik. Lucu dan lugu banget." Leon menggeleng kepala. Dia tidak mengira hari begini ada gadis sepolos Mentari. Menta
Hampir tengah malam, Leon masuk ke halaman rumah besar di ujung gang utama perumahan elite. Motor dia parkir di garasi lalu lewat pintu samping Leon masuk ke dalam. Pintu samping bertemu dengan ruang makan yang luas. "Kamu pulang?" Sapaan itu membuat Leon terkejut. "Ah! Mama?!" ujar Leon sambil sedikit melonjak. "Mama belum tidur?" "Terbangun dan rasa haus. Tumben kamu pulang?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mendekati Leon dan memeluknya. Dia berikan kecupan sayang pada putra sulungnya. Asterita Widinata, istri Tuan Horacio Don Alvarez, ibu yang penyayang, tegas, dan kadang cenderung cerewet. "Repot emang jadi anak mama sama papa. Ga pulang dicari. Pulang ditanya kenapa pulang. Lalu aku mesti gimana?" kata Leon sambil nyengir. Dia berjalan menuju ke pantry dan mengambil botol air mineral di atas meja. "Udah hampir dua minggu kamu ga muncul di rumah." Wanita berusia empat puluhan itu mengikuti putranya. "Kangen Mama," ujar Leon cepat sembari berbalik dan memandang mamanya
"Bukan apa-apa, Leon. Lu itu orang paling cuek. Kalau ga ada untung buat diri lu, emang lu mau ikut repot?" ujar Baharudin. "Lu sadis ngomong gitu. Lebay. Gue juga punya perasaan. Hati gue bukan dari batu, Bro!" sahut Leon. Baharudin ngakak. Leon terpancing dan sedikit emosi. "Oke, my man. Terus, tuh cewek gimana? Jadi lu minta kerjaan apa mandor lu?" tanya Baharudin. "Ngarang. Pak Sujana itu asisten Papa," kata Leon meluruskan. "Alaah, buat aku dia mandor. Mandor khusus anak Tuan Alvarez." Baharudin tidak mau mengalah. "Itu cewek gimana?" "Gue ga tahu gimana, tapi dia akhirnya dapat kerjaan. Jadi penjaga toilet di mal." Leon menjawab. "Beneran? Lu ketemu lagi sama dia? Namanya?" Baharudin terus bertanya. Dia hanya mau memastikan Leon tidak akan memikirkan lagi luka lamanya karena Hera. Itu masa-masa paling berat buat Leon. Sejak itu Leon tidak pernah mau berhubungan dekat dengan wanita manapun, kecuali sebagai teman. That's it. "Namanya bagus juga. Dan kurasa cocok dengan waja
Mentari cepat-cepat menyiapkan diri agar tidak telat pergi dengan Leon. Tidak sempat mandi lagi. Mentari hanya mencuci muka, menyisir, dan mengenakan bedak tipis di wajahnya. Bahkan berganti baju pun tidak. Memang Mentari juga tidak ada baju keren buat pergi bersama lelaki tampan. Hanya jaket tipis pemberian Alman yang bisa dia kenakan menutupi baju kerjanya. Tinggal lima menit lagi film akan diputar. Mentari berlari kecil menuju ke bioskop tempat dia dan Leon janji bertemu. Di depan bioskop, lumayan ramai para penonton yang mulai memenuhi lokasi. Leon berdiri di dekat pintu masuk, bersandar pada dinding kaca sambil memainkan ponselnya. Mentari merasakan detak jantungnya makin beradu. Tepat tiga langkah dia berhenti di depan Leon. "Mas Agus," panggil Mentari. Leon mengangkat kepala dan melihat Mentari memandang padanya. "Aku ga telat, kan?" tanya Mentari dengan wajah sedikit cemas. Leon menegakkan badan, memasukkan ponsel ke saku, dan tersenyum sambil memandangi Mentari. "Kamu m
Leon tersenyum kecut. Dia berpikir bagaimana caranya Mentari akan percaya kalau buat beli makan Leon masih punya uang. Setidaknya sebelum Mentari pulang, gadis itu sudah lebih tenang. "Ada yang murah kok, makanannya. Aku lapar, Sof. Kerjaanku kan lumayan berat. Makan popcorn doang ga kenyang." Leon beralasan. "Beneran Mas Agus ada duit? Aku ga ada soalnya, Mas. Kalau aku punya ga apa bayar masing-masing," kata Mentari. "Udah, tenang aja. Ayo," ujar Leon. Dia berdiri dan mengulurkan tangan, berniat membantu Mentari bangkit dari duduk. Mentari ragu-ragu, tapi tangannya terulur juga. Tangan kuat dan hangat Leon menggenggam jemari Mentari erat. Mentari sudah di posisi tegak. Debaran di jantung Mentari berubah. Dari rasa takut, menjadi gugup. "Kamu mau nasi goreng?" tanya Leon sementara mereka berjalan menuju ke food court yang tidak jauh dari bioskop. "Apa aja. Aku ga terlalu lapar, kok." Mentari menjawab. Situasi menegangkan barusan memang membuat Mentari tak ingin makan apapun. Fo