"Bukan apa-apa, Leon. Lu itu orang paling cuek. Kalau ga ada untung buat diri lu, emang lu mau ikut repot?" ujar Baharudin. "Lu sadis ngomong gitu. Lebay. Gue juga punya perasaan. Hati gue bukan dari batu, Bro!" sahut Leon. Baharudin ngakak. Leon terpancing dan sedikit emosi. "Oke, my man. Terus, tuh cewek gimana? Jadi lu minta kerjaan apa mandor lu?" tanya Baharudin. "Ngarang. Pak Sujana itu asisten Papa," kata Leon meluruskan. "Alaah, buat aku dia mandor. Mandor khusus anak Tuan Alvarez." Baharudin tidak mau mengalah. "Itu cewek gimana?" "Gue ga tahu gimana, tapi dia akhirnya dapat kerjaan. Jadi penjaga toilet di mal." Leon menjawab. "Beneran? Lu ketemu lagi sama dia? Namanya?" Baharudin terus bertanya. Dia hanya mau memastikan Leon tidak akan memikirkan lagi luka lamanya karena Hera. Itu masa-masa paling berat buat Leon. Sejak itu Leon tidak pernah mau berhubungan dekat dengan wanita manapun, kecuali sebagai teman. That's it. "Namanya bagus juga. Dan kurasa cocok dengan waja
Mentari cepat-cepat menyiapkan diri agar tidak telat pergi dengan Leon. Tidak sempat mandi lagi. Mentari hanya mencuci muka, menyisir, dan mengenakan bedak tipis di wajahnya. Bahkan berganti baju pun tidak. Memang Mentari juga tidak ada baju keren buat pergi bersama lelaki tampan. Hanya jaket tipis pemberian Alman yang bisa dia kenakan menutupi baju kerjanya. Tinggal lima menit lagi film akan diputar. Mentari berlari kecil menuju ke bioskop tempat dia dan Leon janji bertemu. Di depan bioskop, lumayan ramai para penonton yang mulai memenuhi lokasi. Leon berdiri di dekat pintu masuk, bersandar pada dinding kaca sambil memainkan ponselnya. Mentari merasakan detak jantungnya makin beradu. Tepat tiga langkah dia berhenti di depan Leon. "Mas Agus," panggil Mentari. Leon mengangkat kepala dan melihat Mentari memandang padanya. "Aku ga telat, kan?" tanya Mentari dengan wajah sedikit cemas. Leon menegakkan badan, memasukkan ponsel ke saku, dan tersenyum sambil memandangi Mentari. "Kamu m
Leon tersenyum kecut. Dia berpikir bagaimana caranya Mentari akan percaya kalau buat beli makan Leon masih punya uang. Setidaknya sebelum Mentari pulang, gadis itu sudah lebih tenang. "Ada yang murah kok, makanannya. Aku lapar, Sof. Kerjaanku kan lumayan berat. Makan popcorn doang ga kenyang." Leon beralasan. "Beneran Mas Agus ada duit? Aku ga ada soalnya, Mas. Kalau aku punya ga apa bayar masing-masing," kata Mentari. "Udah, tenang aja. Ayo," ujar Leon. Dia berdiri dan mengulurkan tangan, berniat membantu Mentari bangkit dari duduk. Mentari ragu-ragu, tapi tangannya terulur juga. Tangan kuat dan hangat Leon menggenggam jemari Mentari erat. Mentari sudah di posisi tegak. Debaran di jantung Mentari berubah. Dari rasa takut, menjadi gugup. "Kamu mau nasi goreng?" tanya Leon sementara mereka berjalan menuju ke food court yang tidak jauh dari bioskop. "Apa aja. Aku ga terlalu lapar, kok." Mentari menjawab. Situasi menegangkan barusan memang membuat Mentari tak ingin makan apapun. Fo
Dengan cepat Mentari harus mencari alasan agar Leon tidak memaksa dia memberitahu tinggal di mana. "Ga usah, Mas. Rumahku ga jauh. Jalan aja bisa. Mas Agus duluan ga apa-apa." Mentari menampik cepat. "Yakin? Gratis, ga pakai uang ojek." Leon berdiri. "Beneran. Paling bentar lagi Om aku datang. Bisa barengan pulang." Mentari menambahkan. "Okelah. Kamu takut dimarahin karena abis jalan sama cowok?" Leon mengganggu Mentari. Tapi pingin tahu juga sebenarnya gadis ini seperti apa. Satu sisi dia lugu dan lucu. Satu sisi ada yang cukup membingungkan dari sikapnya. "Ih, sok tahu. Udah sana, ntar cewek Mas Agus mergoki kita di sini. Bisa jadi huru hara." Jawaban asal yang Mentari katakan. "Lu juga sok tahu!" seru Leon. Tapi senyum lebar yang dia urai. Ternyata gadis lucu dan polos medok Jawa ini menyenangkan. Melihat usianya, Leon menduga mungkin sekali Mentari hampir sepantaran dengan Lusia, adiknya. Hanya Lusia masih kuliah dan Mentari karena kondisi bekerja saja bahkan cuma jadi tukang
"Bukan. Ini pesanan, sih." Leon tidak mau mengakui dengan jujur untuk apa kado itu. Dia takut nanti Mentari bertanya lebih jauh dan Leon keceplosan bicara soal keluarganya. "Mas Agus kerja cari barang buat orang mau kasih kado?" Mentari mencoba meluruskan apa yang Leon maksud. "Ya, bener, kayak gitu. Cerdas juga lu. Bisa kagak?" tanya Leon dengan semangat. Ternyata Mentari yang memberikan jawaban sendiri untuk pertanyaannya. "Hm, bisa aja. Emang kado buat siapa? Cewek atau cowok? Usia berapa? Ada budget nggak buat kadonya?" tanya Mentari lagi. Ah, panjang juga pertanyaannya. Dan pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan Mentari gadis yang pintar. Pikirannya langsung jauh ingin tahu detil apa yang diharapkan dari pencarian kado pesanan itu. Leon jadi berpikir lagi, mau menjawab apa. "Ehm, jam istirahat bisa nggak? Nanti aku jelaskan lengkap." "Wah, ga bisa kayaknya. Kalau mau abis kerja, Mas. Aku nanti kasih tahu Om Al juga kalau mau bantuain Mas Agus. Gimana?" Mentari ternyata tidak
"Langsung saja ya, ga banyak waktu. Takut hadiahnya ga sampai on time pada orangnya." Leon tidak mau meladeni tatapan penuh tanya dari wajah Mentari. Lebih baik tujuan dia meminta Mentari membantunya segera diwujudkan."Iya, Mas. Jadi bisa kasih info?" Mentari pun fokus pada rencana urusan cari kado.Leon mulai berjalan. Mentari menjajari langkah Leon. Leon menyebutkan seperti apa Lusia secara umum saja. Dari info itu mulai pertanyaan Mentari mengerucut."Hobinya apa? Warna kesukaan? Hal yang berarti buat dia seperti apa?" Pertanyaan-pertanyaan itu Mentari ajukan. Leon menjawab saja apa yang Mentari tanya. Dari gambaran yang Mentari dapat, dia mulai memikirkan benda apa yang paling mungkin bisa menjadi sesuatu buat gadis yang sedikit lebih muda dari Mentari. Seorang mahasiswa, penyuka musik indie, membaca, dan menulis. Semua data yang Mentari terima, membawa langkah gadis itu ke toko pernak-pernik yang super komplit. Leon ngikut saja, ingin tahu kira-kira Mentari punya ide apa. Sebe
Leon tertawa mendengar kata-kata Lusia. Ya, Leon bukan tipe pria yang bisa bermanis-manis pada wanita. Waktu masih punya Hera, dia berusaha melakukan itu, tapi luka yang dalam mendera hatinya, membuat Leon memilih tak peduli dan dingin pada wanita. Bahkan pada keluarganya sendiri. Lusia melirik kakaknya. Dia berjalan ke meja di teras, menaruh kado di sana. Lalu dia duduk dan mulai membuka kado yang Leon bilang istimewa itu. Leon sudah juga duduk di samping Lusia. Mata Lusia melebar saat melihat apa yang ada di dalam bungkusan cantik itu. "Ahh! Ini bagus! Kok tau sih, aku memang pingin ganti lampu belajar yang juga bisa jadi lampu tidur. Kamu bisa juga ya, baca pikiran orang?" Lusia tersenyum riang sambil mengusap lembut bagian-bagian lampu yang ada di depannya. "Hee ... hee ... Kamu kira aku ga tahu apa yang bagus buat kamu?" Leon kembali tersenyum lebar. Mengajak Mentari mencari kado buat Lusia ternyata pilihan yang sangat bagus. Senangnya bisa membuat adik satu-satunya sebahagia i
Leon refleks melangkah maju mendekat pada gudang di depannya. Dia penasaran apa mungkin ada orang di gudang sepagi itu? Betapa terkejutnya Leon, saat dari dalam gudang itu muncul gadis imut berambut coklat kemerahan dengan poni bagus di keningnya."Sofia?" ucap Leon hampir tak percaya apa yang dia lihat.Gadis itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mentari, sangat terkejut ada orang lain yang naik ke atap dan menemukan dia di gudang kosong itu."Mas Agus?" Gugup dengan wajah memerah, Mentari memandang Leon. Matanya melotot saking kagetnya."Kok kamu di sini?" Leon mencermati Mentari. Jelas terlihat gadis itu baru berganti pakaian. Dia rapi dengan seragam siap berangkat bekerja. "Ah, aku itu ... ehhh ..." Mentari bingung harus menjawa apa.Leon tidak menunggu jawaban. Kakinya segera bergerak mendekati pintu gudang dan melongok ke dalam tanpa bisa Mentari cegah. Leon melihat di dalam keadaan begitu sederhana, bahkan hampir tidak ada barang. Tapi tetap terlhat di dalam gudang itu su