Leon tersenyum kecut. Dia berpikir bagaimana caranya Mentari akan percaya kalau buat beli makan Leon masih punya uang. Setidaknya sebelum Mentari pulang, gadis itu sudah lebih tenang. "Ada yang murah kok, makanannya. Aku lapar, Sof. Kerjaanku kan lumayan berat. Makan popcorn doang ga kenyang." Leon beralasan. "Beneran Mas Agus ada duit? Aku ga ada soalnya, Mas. Kalau aku punya ga apa bayar masing-masing," kata Mentari. "Udah, tenang aja. Ayo," ujar Leon. Dia berdiri dan mengulurkan tangan, berniat membantu Mentari bangkit dari duduk. Mentari ragu-ragu, tapi tangannya terulur juga. Tangan kuat dan hangat Leon menggenggam jemari Mentari erat. Mentari sudah di posisi tegak. Debaran di jantung Mentari berubah. Dari rasa takut, menjadi gugup. "Kamu mau nasi goreng?" tanya Leon sementara mereka berjalan menuju ke food court yang tidak jauh dari bioskop. "Apa aja. Aku ga terlalu lapar, kok." Mentari menjawab. Situasi menegangkan barusan memang membuat Mentari tak ingin makan apapun. Fo
Dengan cepat Mentari harus mencari alasan agar Leon tidak memaksa dia memberitahu tinggal di mana. "Ga usah, Mas. Rumahku ga jauh. Jalan aja bisa. Mas Agus duluan ga apa-apa." Mentari menampik cepat. "Yakin? Gratis, ga pakai uang ojek." Leon berdiri. "Beneran. Paling bentar lagi Om aku datang. Bisa barengan pulang." Mentari menambahkan. "Okelah. Kamu takut dimarahin karena abis jalan sama cowok?" Leon mengganggu Mentari. Tapi pingin tahu juga sebenarnya gadis ini seperti apa. Satu sisi dia lugu dan lucu. Satu sisi ada yang cukup membingungkan dari sikapnya. "Ih, sok tahu. Udah sana, ntar cewek Mas Agus mergoki kita di sini. Bisa jadi huru hara." Jawaban asal yang Mentari katakan. "Lu juga sok tahu!" seru Leon. Tapi senyum lebar yang dia urai. Ternyata gadis lucu dan polos medok Jawa ini menyenangkan. Melihat usianya, Leon menduga mungkin sekali Mentari hampir sepantaran dengan Lusia, adiknya. Hanya Lusia masih kuliah dan Mentari karena kondisi bekerja saja bahkan cuma jadi tukang
"Bukan. Ini pesanan, sih." Leon tidak mau mengakui dengan jujur untuk apa kado itu. Dia takut nanti Mentari bertanya lebih jauh dan Leon keceplosan bicara soal keluarganya. "Mas Agus kerja cari barang buat orang mau kasih kado?" Mentari mencoba meluruskan apa yang Leon maksud. "Ya, bener, kayak gitu. Cerdas juga lu. Bisa kagak?" tanya Leon dengan semangat. Ternyata Mentari yang memberikan jawaban sendiri untuk pertanyaannya. "Hm, bisa aja. Emang kado buat siapa? Cewek atau cowok? Usia berapa? Ada budget nggak buat kadonya?" tanya Mentari lagi. Ah, panjang juga pertanyaannya. Dan pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan Mentari gadis yang pintar. Pikirannya langsung jauh ingin tahu detil apa yang diharapkan dari pencarian kado pesanan itu. Leon jadi berpikir lagi, mau menjawab apa. "Ehm, jam istirahat bisa nggak? Nanti aku jelaskan lengkap." "Wah, ga bisa kayaknya. Kalau mau abis kerja, Mas. Aku nanti kasih tahu Om Al juga kalau mau bantuain Mas Agus. Gimana?" Mentari ternyata tidak
"Langsung saja ya, ga banyak waktu. Takut hadiahnya ga sampai on time pada orangnya." Leon tidak mau meladeni tatapan penuh tanya dari wajah Mentari. Lebih baik tujuan dia meminta Mentari membantunya segera diwujudkan."Iya, Mas. Jadi bisa kasih info?" Mentari pun fokus pada rencana urusan cari kado.Leon mulai berjalan. Mentari menjajari langkah Leon. Leon menyebutkan seperti apa Lusia secara umum saja. Dari info itu mulai pertanyaan Mentari mengerucut."Hobinya apa? Warna kesukaan? Hal yang berarti buat dia seperti apa?" Pertanyaan-pertanyaan itu Mentari ajukan. Leon menjawab saja apa yang Mentari tanya. Dari gambaran yang Mentari dapat, dia mulai memikirkan benda apa yang paling mungkin bisa menjadi sesuatu buat gadis yang sedikit lebih muda dari Mentari. Seorang mahasiswa, penyuka musik indie, membaca, dan menulis. Semua data yang Mentari terima, membawa langkah gadis itu ke toko pernak-pernik yang super komplit. Leon ngikut saja, ingin tahu kira-kira Mentari punya ide apa. Sebe
Leon tertawa mendengar kata-kata Lusia. Ya, Leon bukan tipe pria yang bisa bermanis-manis pada wanita. Waktu masih punya Hera, dia berusaha melakukan itu, tapi luka yang dalam mendera hatinya, membuat Leon memilih tak peduli dan dingin pada wanita. Bahkan pada keluarganya sendiri. Lusia melirik kakaknya. Dia berjalan ke meja di teras, menaruh kado di sana. Lalu dia duduk dan mulai membuka kado yang Leon bilang istimewa itu. Leon sudah juga duduk di samping Lusia. Mata Lusia melebar saat melihat apa yang ada di dalam bungkusan cantik itu. "Ahh! Ini bagus! Kok tau sih, aku memang pingin ganti lampu belajar yang juga bisa jadi lampu tidur. Kamu bisa juga ya, baca pikiran orang?" Lusia tersenyum riang sambil mengusap lembut bagian-bagian lampu yang ada di depannya. "Hee ... hee ... Kamu kira aku ga tahu apa yang bagus buat kamu?" Leon kembali tersenyum lebar. Mengajak Mentari mencari kado buat Lusia ternyata pilihan yang sangat bagus. Senangnya bisa membuat adik satu-satunya sebahagia i
Leon refleks melangkah maju mendekat pada gudang di depannya. Dia penasaran apa mungkin ada orang di gudang sepagi itu? Betapa terkejutnya Leon, saat dari dalam gudang itu muncul gadis imut berambut coklat kemerahan dengan poni bagus di keningnya."Sofia?" ucap Leon hampir tak percaya apa yang dia lihat.Gadis itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mentari, sangat terkejut ada orang lain yang naik ke atap dan menemukan dia di gudang kosong itu."Mas Agus?" Gugup dengan wajah memerah, Mentari memandang Leon. Matanya melotot saking kagetnya."Kok kamu di sini?" Leon mencermati Mentari. Jelas terlihat gadis itu baru berganti pakaian. Dia rapi dengan seragam siap berangkat bekerja. "Ah, aku itu ... ehhh ..." Mentari bingung harus menjawa apa.Leon tidak menunggu jawaban. Kakinya segera bergerak mendekati pintu gudang dan melongok ke dalam tanpa bisa Mentari cegah. Leon melihat di dalam keadaan begitu sederhana, bahkan hampir tidak ada barang. Tapi tetap terlhat di dalam gudang itu su
Leon tidak menemukan apapun petunjuk tentang Mentari. Tidak ada hasil, Leon memilih keluar gudang kecil dan panas itu. Di luar gudang, sekalipun hawa panas mendera, angin cukup kuat menerpa, memberi rasa sejuk juga."Sorry, Sofi, terpaksa gue geledah gudang ini. Gue bukan orang yang kepo. Ga biasanya gue pake nyelidik orang. Tapi kalo mau terang-terangan, lu udah tinggal ilegal di mal gue." Leon memandang gudang yang telah kembali tertutup pintunya.Ttuttt!! Ttutttt!!Ponsel Leon berdering. Leon merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel untuk melihat panggilan siapa yang masuk."Pak Sujana?" Leon dengan cepat menerima panggilan itu. "Halo, Pak!""Tuan Muda, Tuan di mana? Aku dapat laporan mengejutkan pagi-pagi. Temui aku di kantor, segera." Sujana terdengar kesal bercampur panik."Ah, Pak Sujana sudah dengar soal keributan di gudang?" Leon tidak mengira secepat itu berita pertengkarannya dengan Seno sampai pada asisten papanya."Mataku ada di mana-mana, Tuan Muda. Aku mau Tuan Muda
Sujana menaikkan alisnya begitu melihat Leon tersenyum lebar."Tuan Muda tahu artinya kerja di divisi kebersihan?" tanya Sujana."Jadi cleaning service, kan?" Leon balik bertanya."Iya, itu termasuk. Tuan Muda kok keliatan senang?" sujana meminta penjelasan."Aku boleh memilih area mana yang akan jadi lokasi kerjaku?" pinta Leon."Yaa, boleh saja. Kenapa tidak?* jawab Sujana masih dengan rasa heran.*Nice. Kalau gitu aku mau ...." Leon mengutarakan apa yang ada di kepalanya.Sujana mendengarkan dengan serius apa yang Leon sampaikan. Agak aneh permintaan Leon menurut pikiran Sujana. Tetapi mau bagaimana Leon akan jadi pimpinan pucuk perusahaan. Sujana tidak boleh asal saja menempatkan Leon."Tuan Muda, ga salah Tuan mau di kamar mandi jadi cleaning service-nya?" tanya Sujana setelah mendengar penuturan Leon."Apa bahasaku susah dipahami, Pak?" Leon balik bertanya."Tidak, sangat jelas. Cuma ..." Sujana ragu menyelesaikan kalimatnya."Yang kerja di kamar mandi juga karyawan yang diperlu