Mentari menarik napas dalam. Bukan hal mudah baginya berkata sesuatu yang bukan kebenaran. Tetapi Mentari tidak mungkin mengatakan siapa dirinya. Dia adalah Sofia Agatha di mata semua pegawai di mal itu. Kalau tiba-tiba Mentari mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya, apa yang akan Leon katakan? Apa mungkin kira-kira Leon akan tetap baik padanya? Pria tampan penuh pesona itu sangat mungkin akan memandang dia sebagai pendusta. "Ini ... ceritaku pasti tidak menyenangkan untuk didengar. Kuharap, Mas Agus ga akan berpikir apa-apa kalau aku kasih tahu," kata Mentari berusaha tenang dengan mengucapkan kalimat pembuka. "Cerita saja. Gue siap dengar apapun itu," sahut Leon dengan cepat. Dia urungkan menggigit ayam yang sudah dekat ke mulutnya. "Aku asli dari Malang. Lulus SMA tahun lalu. Pingin kuliah ga ada biaya, karena aku hidup sendiri. Orang tuaku meninggal dalam waktu yang tidak berjarak lama. Ayahku kena liver kronis. Tidak sampai enam bulan, Ibu menyusul Ayah, dokter bilang Ibu me
"Aku udah cerita. Aku mau makan pizza. Lapar banget aku. Hee ... hhee ..." Mentari tersenyum lebar hingga giginya yang rapi terlihat. Leon termangu memandang Mentari. Dia masih merasa heran dengan rasa di hatinya. Sejak Leon kehilangan cinta terbaik yang dia rasa, tidak pernah rasa seperti ini hinggap di hati Leon. Sekian banyak teman wanita cantik dan berkelas mendekat, Leon tidak merasa apapun. Tapi dengan Mentari, mengapa rasa itu tiba-tiba muncul? "Mas Agus ga lapar?" Panggilan itu membuyarkan lamunan Leon. "Ya, ayo makan! Gue juga lapar banget!" Leon ikut melebarkan bibirnya yang bagus. Hampir bersamaan mereka memulai santapan yang sedari tadi belum jadi mereka nikmati. Pembicaraan kemudian berlanjut pada seputar pekerjaan. Bagaimana rasanya mereka bekerja di mal besar dengan banyak karyawan, banyak bagian, dan banyak yang diurusi. Mal selalu padat pengunjung dengan tingkah yang aneh-aneh dan bermacam model. Sesekali terdengar tawa mereka. Leon bisa saja membuat lelucon semen
Setelah mengucapkan itu Mentari cepat-cepat menuju pinggir tembok pembatas ke arah bagian depan mal. Mentari melongok ke jalan di depan mal itu. Dia berharap akan melihat Leon melintas di depan mal, seperti hari pertama dia melihat pria tampan penuh pesona itu. Tepat sekali! Leon melintas dengan motornya perlahan meninggalkan mal, bersatu dengan kendaraan di jalanan yang ramai. "Pokoknya Mas Agus harus cerita, biar aku ga sok tahu!" Mentari berteriak sekerasnya sambil terus memandang motor Leon yang makin menghilang di padatnya jalanan. Mentari berbalik ke depan gudang. Bungkus sisa pizza dan minuman dia bereskan. Lalu dia masukkan ke tas plastik besar di samping gudang. Mentari masuk ke dalam gudang dan merebahkan badannya. Perutnya penuh. Kenyang dengan makanan lezat yang jarang bisa dia nikmati. Rasa lelah dan kantuk dengan cepat menerjang. "Tuhan, aku cuma mau bersyukur, Kau lindungi aku, pelihara aku. Kau kirim orang-orang baik menolong aku bertahan. Om Al ... juga Mas Agus ..
Leon berbalik cepat! Pria berkumis dengan tubuh agak gendut itu menatap Leon tajam. Ada rasa curiga yang besar dia tunjukkan di wajahnya. "Hei, Om! Hee ... hhee ..." Leon tersenyum sampai gigi putihnya terlihat jelas. "Ga apa-apa. Mau balik kerja!" ujar Leon. Dia acungkan alat pel yang dia pegang. "Kamu ngintipin Sofi?" Alman dengan nada tidak suka bicara ketus. "Cuma mau mastiin aja, dia baik-baik," kata Leon. "Emang di sini ada penjahat apa? Dia pasti baik-baik. Kerja sana yang bener, biar ga usah dipindah-pindah. Masih bagus kamu ga dipecat!" gertak Alman kesal. "Iya, Om, siap." Leon menaikkan jemarinya di pelipis memberi hormat pada Alman. "Pakai hormat?! Kamu kira aku ini komandan peleton apa gimana?" Alman menggeleng dengan muka belum lega. "Hee ... hee ..." Leon menggaruk-garuk kepala sambil ngeloyor pergi. Alman berkacak pinggang sampai benar-benar Leon menghilang dari tempat itu. Lalu Alman berjalan mendekati Mentari yang ada di lorong arah masuk toilet. "Sofi!" Alma
Mentari panik! Dia bersimpuh di sebelah Alman sambil berusaha menahan tangis. Satpam di depan mal sudah ikut menolong. Alman dibawa ke tepi agar tidak menghalangi orang berlalu lalang. Mereka yang merubung segera diminta minggir supaya ada udara terbuka untuk Alman bernapas lega. "Om! Bangun, Om! Ayo, bangun!" kata Mentari dengan cemas. "Ini harus dibawa ke rumah sakit, Neng. Pasti ada sesuatu, bapaknya jatuh tiba-tiba gitu." Seorang ibu yang ikut menolong bicara pada Mentari. "Rumah sakit?" Mentari tidak tahu harus bagaimana. Dia cemas dan takut. Berurusan dengan rumah sakit? "Maaf, ada apa ini?" Seorang pria mendekat. "Mas Agus!" Mentari tidak menduga Leon masih ada di mal ternyata. "Om Al? Apa yang terjadi?" Leon ikut berjongkok di samping Mentari. "Ga tahu, Mas. Tiba-tiba pingsan. Aku bingung. Aku harus bagaimana ini?" Mata Mentari berkaca-kaca. Pandangannya menghujam Leon. Dari tatapan itu, Leon tahu, Mentari butuh pertolongan. Leon mengangkat kepala, melihat pada satpam y
Leon terkejut. Apa yang tadi dia tawarkan? Dia dengan sengaja dan tidak bercanda bersedia menemani Alman di rumah sakit malam itu? Pertanyaan Mentari membuat Leon seperti bangun dari mimpi saja. "Ahh, yaa ..." Leon tidak meralat ucapannya. Dia meyakinkan Mentari kalau dia memang mau tinggal di rumah sakit. "Aku ga tahu gimana mau ngucapin terima kasih, Mas. Beneran, aku lega sekali." Mentari memandang Leon dengan wajah terharu dan penuh rasa terima kasih. "Kita kan, harus saling bantu. Kalau gue bisa, kenapa nggak?" Leon tersenyum. "Baiklah, kurasa aku harus melanjutkan melihat pasien lain. Sebentar lagi kalau tidak ada keluhan, Pak Alman bisa dipindahkan ke ruangan. Selamat malam, selamat beristirahat, Pak Alman." Dokter pamitan. "Sekali lagi terima kasih, Dok. Mbak Suster juga." Alman tersenyum kecil. Dokter dan perawat meninggalkan ruangan itu. Tinggal Leon dan Mentari berhadapan. "Lu balik?" Leon bertanya pada Mentari. "Mas, aku ga tahu balik ke mal gimana?" Mentari melihat
"Sof, ini teman paling baikku yang aku pernah cerita." Leon memegang bahu Baharudin. "Sofi? Gue Udin." Dengan senyum lebar, Baharudin mengulurkan tangan, menjabat tangan Mentari. Roman muka kesal pemuda itu berubah seketika. "Yang kasih Mas Agus HP?" tanya Mentari. "Ya, betul. " Leon mengangguk cepat. "Apa?" Baharudin bingung dengan percakapan dua orang di depannya itu. "Mobil yang tadi Mas Agus pakai juga punya dia?" tanya Mentari lagi. "Heii, tunggu!" Baharudin menyela. "Aku tahu, lu ga suka gue cerita kebaikan lu. Tapi Sofi teman baik gue juga, Din. Ga apalah dia tahu." Leon memotong ucapan Baharudin. "Yang bener aja, Gus!" sahut Baharudin. "Udah, gue jalan. Keburu makin malam." Leon menghindar berdebat dengan Baharudin. Tangannya dengan cepat meraih jemari Mentari dan menggandeng gadis itu, mengajaknya segera pergi. "Agus!" Baharudin masih mau protes. Tapi dia di rumah sakit, tidak mungkin berteriak kesal pada sohibnya yang semaunya itu. "Dasar, Agus Dodol! Kenapa jadi g
"Lu ga becanda, kan, Leon? Lu serius beneran suka sama cewek kecil kurus itu?" Suara itu terdengar jelas di ruangan itu. Nada terkejut yang muncul. Suara itu membuat Alman terjaga. Dia mencoba membuka mata, tapi masih sangat berat. Badannya juga hampir tak bisa dia gerakkan. Alman menarik nafas panjang, berusaha membuka mata, ingin tahu siapa yang ada di ruangannya. Apakah itu perawat? "Aku serius, Din. Jujur aja, gue awalnya ga yakin sama perasaan gue. Tapi makin ke sini, main gue ga bisa nolak, gue mulai sayang sama Sofi." Suara itu, Alman hapal sekali. Itu suara si Agus.Apa Alman tidak salah dengar? Perlahan jari tangan Alman bergerak. Matanya, dia coba membukanya lagi, tapi masih sulit juga."Leon, lu ini anak Tuan Alvarez. Tuan Muda Leonardo Fidel Alvarez. Kalau nyokap bokap lu tahu, apa mereka bilang?" Suara itu lagi yang berbicara.Alman mulai bisa membuka mata dengan jelas. Tapi dia masih pura-pura tidur. Dan percakapan itu sepertinya tidak boleh dia lewatkan."Sofi tahu el