Mentari panik! Dia bersimpuh di sebelah Alman sambil berusaha menahan tangis. Satpam di depan mal sudah ikut menolong. Alman dibawa ke tepi agar tidak menghalangi orang berlalu lalang. Mereka yang merubung segera diminta minggir supaya ada udara terbuka untuk Alman bernapas lega. "Om! Bangun, Om! Ayo, bangun!" kata Mentari dengan cemas. "Ini harus dibawa ke rumah sakit, Neng. Pasti ada sesuatu, bapaknya jatuh tiba-tiba gitu." Seorang ibu yang ikut menolong bicara pada Mentari. "Rumah sakit?" Mentari tidak tahu harus bagaimana. Dia cemas dan takut. Berurusan dengan rumah sakit? "Maaf, ada apa ini?" Seorang pria mendekat. "Mas Agus!" Mentari tidak menduga Leon masih ada di mal ternyata. "Om Al? Apa yang terjadi?" Leon ikut berjongkok di samping Mentari. "Ga tahu, Mas. Tiba-tiba pingsan. Aku bingung. Aku harus bagaimana ini?" Mata Mentari berkaca-kaca. Pandangannya menghujam Leon. Dari tatapan itu, Leon tahu, Mentari butuh pertolongan. Leon mengangkat kepala, melihat pada satpam y
Leon terkejut. Apa yang tadi dia tawarkan? Dia dengan sengaja dan tidak bercanda bersedia menemani Alman di rumah sakit malam itu? Pertanyaan Mentari membuat Leon seperti bangun dari mimpi saja. "Ahh, yaa ..." Leon tidak meralat ucapannya. Dia meyakinkan Mentari kalau dia memang mau tinggal di rumah sakit. "Aku ga tahu gimana mau ngucapin terima kasih, Mas. Beneran, aku lega sekali." Mentari memandang Leon dengan wajah terharu dan penuh rasa terima kasih. "Kita kan, harus saling bantu. Kalau gue bisa, kenapa nggak?" Leon tersenyum. "Baiklah, kurasa aku harus melanjutkan melihat pasien lain. Sebentar lagi kalau tidak ada keluhan, Pak Alman bisa dipindahkan ke ruangan. Selamat malam, selamat beristirahat, Pak Alman." Dokter pamitan. "Sekali lagi terima kasih, Dok. Mbak Suster juga." Alman tersenyum kecil. Dokter dan perawat meninggalkan ruangan itu. Tinggal Leon dan Mentari berhadapan. "Lu balik?" Leon bertanya pada Mentari. "Mas, aku ga tahu balik ke mal gimana?" Mentari melihat
"Sof, ini teman paling baikku yang aku pernah cerita." Leon memegang bahu Baharudin. "Sofi? Gue Udin." Dengan senyum lebar, Baharudin mengulurkan tangan, menjabat tangan Mentari. Roman muka kesal pemuda itu berubah seketika. "Yang kasih Mas Agus HP?" tanya Mentari. "Ya, betul. " Leon mengangguk cepat. "Apa?" Baharudin bingung dengan percakapan dua orang di depannya itu. "Mobil yang tadi Mas Agus pakai juga punya dia?" tanya Mentari lagi. "Heii, tunggu!" Baharudin menyela. "Aku tahu, lu ga suka gue cerita kebaikan lu. Tapi Sofi teman baik gue juga, Din. Ga apalah dia tahu." Leon memotong ucapan Baharudin. "Yang bener aja, Gus!" sahut Baharudin. "Udah, gue jalan. Keburu makin malam." Leon menghindar berdebat dengan Baharudin. Tangannya dengan cepat meraih jemari Mentari dan menggandeng gadis itu, mengajaknya segera pergi. "Agus!" Baharudin masih mau protes. Tapi dia di rumah sakit, tidak mungkin berteriak kesal pada sohibnya yang semaunya itu. "Dasar, Agus Dodol! Kenapa jadi g
"Lu ga becanda, kan, Leon? Lu serius beneran suka sama cewek kecil kurus itu?" Suara itu terdengar jelas di ruangan itu. Nada terkejut yang muncul. Suara itu membuat Alman terjaga. Dia mencoba membuka mata, tapi masih sangat berat. Badannya juga hampir tak bisa dia gerakkan. Alman menarik nafas panjang, berusaha membuka mata, ingin tahu siapa yang ada di ruangannya. Apakah itu perawat? "Aku serius, Din. Jujur aja, gue awalnya ga yakin sama perasaan gue. Tapi makin ke sini, main gue ga bisa nolak, gue mulai sayang sama Sofi." Suara itu, Alman hapal sekali. Itu suara si Agus.Apa Alman tidak salah dengar? Perlahan jari tangan Alman bergerak. Matanya, dia coba membukanya lagi, tapi masih sulit juga."Leon, lu ini anak Tuan Alvarez. Tuan Muda Leonardo Fidel Alvarez. Kalau nyokap bokap lu tahu, apa mereka bilang?" Suara itu lagi yang berbicara.Alman mulai bisa membuka mata dengan jelas. Tapi dia masih pura-pura tidur. Dan percakapan itu sepertinya tidak boleh dia lewatkan."Sofi tahu el
Alman mendesah. Beberapa kali dia menarik napas dalam. Yang melintasi pikirannya bukan hanya soal Leon yang meyakinkan dirinya kalau anak big big bos jatuh cinta pada Mentari, gadis malang yang dia temukan di atap mal. Tapi, kisah pedih diri Alman sendiri terpampang di depan mata. Wanita yang dia cintai adalah anak orang yang cukup berada, meski tidak sesultan Tuan Alvarez. Demi cinta pada Alman, dia rela. meninggalkan keluarga. Yang terjadi? Tidak pernah sedikitpun keluarga wanita kecintaan Alman mau bersentuhan dengannya lagi. Dan baru sedikit bahagia menyapa, kecelakaan mengenaskan menerjang. Hingga bukan hanya dia ikut terenggut nyawa, buah hati mereka satu-satunya juga turut pergi selamanya. "Om, aku janji aku akan melakukan yang terbaik buat Sofi. Om ga usah kuatir." Kalimat itu membuyarkan lamunan Alman. "Aku bisa bilang apa, Tuan Muda? Sekuat apa aku bilang jangan, yang aku lihat ... hmm ..." Desahan kembali terlontar dari pria berkumis itu. "... kalau Sofi juga punya hati u
Mentari menunggu Leon menjelaskan apa yang terjadi dengan Alman. Sejak pagi Mentari berharap Leon segera datang dan memberi kabar. Tetapi tidak juga muncul. Begitu dia datang, yang Mentari lihat, Leon didekati Lila. Lila makin gencar mengejar cinta pegawai tampan itu. Dan Mentari merasa ciut. "Kamu mau kabar baik atau kabar buruk? Yang mana lebih dulu?" Leon masih dengan pandangan tegang, bertanya tanpa ada senyum yang biasanya dia urai di bibirnya. "Mas, jangan buat aku tambah tegang dan cemas. Kasih tahu aja Om Al kenapa?" Mentari tak sabar lagi rasanya. "Hari ini dia ..." Leon sengaja menggantung ucapannya. Mata Mentari tak berkedip. Leon seperti takut menyampaikan kabar tentang Alman. "Mas Agus ..." Mentari memanggil bermaksud memohon agar Leon segera bicara. "Om Al akan segera pulang. Kemungkinan besar besok. " Leon mengubah lagi mimik wajahnya. Senyum lebar muncul di sana. "Ahh, Mas Agus! Bikin aku kaget. Beneran aku terkejut." Mentari lega mendengar itu. "Hee ... hee ...
Mentari memegang di tangannya ponsel dengan warna biru cerah cantik. Dia tahu itu bukan HP keluaran baru. Bahkan ponsel Mentari yang dia tinggal di rumah besar tempat penampungan wanita malam itu, masih lebih bagus. Tapi kenapa Leon membeli HP buatnya? "Mas, ini maksudnya gimana?" ulang Mentari bertanya. "Sof, jangan marah dan jangan tersinggung. Aku tahu kamu butuh HP. Kamu perlu komunikasi dengan orang lain. Dan HP itu vital zaman sekarang, Sofi." Leon mencoba menjelaskan tujuannya. "Aku tahu, Mas. Tapi ga usah Mas Agus repot beliin aku kayak gini. Mas Agus dapat uang dari mana?" tanya Mentari. Ini benar-benar di luar dugaan Mentari! "Itu HP murah, HP tipe lama." Leon tahu apa yang ada di benak Mentari. "Iya, Mas. Aku tahu," sahut Mentari. "Jujur, Mas Agus dapat uang dari mana? Jangan bilang buka celengan. Atau, hasil job Mas Agus yang lain, kayak yang nyariin kado waktu itu ... Mas, ini berlebihan." Mentari meras sangat tidak enak dengan yang Leon lakukan. "Aku cuma mau mempe
Leon tersenyum dan menggeleng kecil. "Mama kangen sama aku. Minta aku cepat pulang." Leon menjawab. "Ah, semalam jaga di sini ya, temani Om Al. Maaf. Harusnya Mas Agus bisa tidur di rumah." Mentari merasa tidak enak Leon sampai dicari ibunya. "Kamu tuh, lugu amat. Aku canda doang, Sof. Mama cuma nitip dibelikan roti buat sarapan besok." Leon bicara asal. Ada hal lain yang sebenarnya yang diinginkan mamanya, tapi Leon tidak mungkin cerita. "Oohh ..." Mentari mengangguk-angguk. "Makananku abis. Kenyang." Alman meletakkan piring di nakas kecil sebelah ranjang. Mentari bergeser tiga langkah. Dia bantu Alman minum obat. Lalu Alman merebahkan badan dengan posisi kepala agak tinggi. "Kita makan dulu, sekalian aku beresin HP. Abis itu aku pulang." Leon menepuk bahu Mentari. "Ya, Mas." Mentari manut. Mereka keluar ruangan dan menuju ke kantin. Seperti sebelumnya, Leon duduk di kursi yang sama. Mentari duduk di depannya. Mentari memesan gado-gado dua porsi. Dia langsung membayarnya seka
"Mama! Lihat!" Suara kecil dan ceria itu memaksa Mentari mengangkat wajah ke depan. Bocah tiga tahun itu menunjukkan sebuah mainan robot di tangannya. Wajahnya sumringah, tampak gembira. Dia berhasil membuat mainan robot dari lego. "Keren, Juni! Merah warnanya, robot kamu pasti hebat!" Mentari bertepuk tangan. "Papa yang ajari. Aku mau buat robot lain, yang biru dan kuning!" ujar bocah itu riang. "Oke. Mama mau ambil minuman. Juni mau?" Mentari berdiri. "Iya, jus jeruk aku suka, Mama!" kata Junior semangat. "Sebentar, ya?" Mentari melangkah ke meja di dekat gudang dan menuangkan jus jeruk dalam gelas, lalu dia bawa kepada anaknya yang kembali sibuk dengan lego. "Makasih, Mama," kata Junior. Dengan cepat gelas berisi jus jeruk itu berkurang tinggal setengah. "Ahh ... segar sekali, hehehe ..." Senyum lebar muncul di bibir mungil Junior. Dia memberikan lagi gelas pada Mentari dan mengusap kasar bibirnya karena sisi jus menetes hingga ke dagunya. "Good boy. Lanjutkan main, ya?"
Dada Leon semakin menderu, bergejolak, berdetak cepat, dan entah apa lagi yang dia rasa. Tiba di depan ruangan Mentari, Leon makin tidak karuan. Leon cepat masuk ke ruangan itu. Di dalam ada dokter dan dua perawat yang membantu Mentari. Lusia juga ada di situ. "Dokter!" Leon memanggil dokter. Dokter wanita usia empat puluhan itu berbalik dan melihat Leon. "Nah, ini Pak Leon sudah datang. Sini, Pak, temani istrinya." Suara dokter itu tenang dan lembut. Leon seperti merasa ada aliran air menumpahi kepala hingga ke seluruh tubuh. Semua gerah dan panas tiba-tiba menjadi sejuk. "Bagaimana Mentari, Dok?" Leon mendekat ke samping dokter. Lusia sudah pindah ke sebelah Leon agak di belakang. Di ranjang Mentari berbaring lemah dengan wajah pucat dan tampak kesakitan. Leon maju lagi tiga langkah, memegang tangan kiri Mentari. Tangan kanan sudah dipasang infus. "Apa yang terjadi, Sayang?" Leon mendekatkan wajahnya, bertanya dengan nada cemas. "Maaf, aku ga bisa jaga diri. Aku berjalan ga ha
Mentari membuka mata. Entah berapa lama dia tertidur. Badan rasanya sakit semua. Mentari menoleh ke sisinya. Leon masih terlelap dengan posisi meringkuk. Sebelah tangan Leon memeluk pinggang Mentari. "Astaga ... udah kejadian, " kata Mentari pelan. Dadanya kembali berdegup kencang. Ingatan Mentari balik cepat ke sore hari saat tiba di hotel. Tanpa bisa dihalangi, begitu saja, Mentari membiarkan Leon merengkuh dirinya, utuh. Mentari juga tidak tahu bagaimana bisa dia punya keberanian itu. Semua trauma dan rasa takut disentuh pria tiba-tiba saja lenyap. Sebaliknya, dia ingin suami tercinta tidak melepaskan dirinya. "Ohh, malu sekali," ucap Mentari lirih. Rasa panas kembali menjalar di wajahnya. Perut seperti digelitik, susah dia gambarkan. "Hmm ... Sayang ..." Leon bergerak. Dia membuka mata dan melihat Mentari sedang memandang padanya. "Bangun?" Mentari menaikkan selimut untuk menutupi tubuhnya. "Kenapa mau selimutan? Ga usah." Leon menarik Mentari kembali merapat padanya. "Mas
"Uffhhh!!" Leon meletkakkan pantatnya di kursi pesawat dengan penuh rasa lega. Tinggal beberapa menit pesawat mengudara, Leon dan Mentari akhirnya bisa juga masuk pesawat. Mentari memegang dadanya, masih berusaha mentralkan napasnya yang terengah-engah. "Thank God, ga telat," kata Leon. Matanya memandang ke sekitarnya. Di depan pramugari mulai memberi aba-aba, menolong penumpang bersiap tinggal landas. Mentari memegang tangan Leon kuat-kuat. Ini pengalaman dia pertama kali masuk pesawat dan akan terbang di udara. Campur aduk rasa di dada Mentari. Kejutan pernikahan belum juga mereda. Semalam tegang sekali di hotel berdua dengan Leon. Tiba-tiba mendengar Leon menyebut dalam doa akan mengajak Mentari ke Spanyol. Dan di pagi hari kejar-kejaran tidak karuan demi tiba tepat waktu di bandara. Benar-benar luar biasa! "Kamu takut?" tanya Leon sambil mencermati wajah Mentari. "Aku baru ini naik pesawat. Ngeri ga, sih?" tanya Mentari dengan wajah melas. "Nggak, aman. Ada aku, tenang saj
Mentari makin mendekat. Pelan sekali Mentari naik ke kasur dan duduk di samping Leon. Sama sekali Leon tidak bergerak. Dia pasti sangat lelah dan terlelap tanpa tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya. Mentari mencermati detil wajah Leon. Oh, memang sungguh tampan dan mempesona. "Tidur nganga mulutnya, tetap saja tampan," ucap Mentari lirih. Refleks, karena makin mengagumi suaminya, tangan Mentari menyentuh lembut pipi Leon. "Uhh ..." Leon kaget karena sentuhan tangan Mentari yang dingin. Leon membuka matanya. Seketika Leon melihat Mentari di sampingnya. Leon langsung duduk dan menghadap ke arah Mentari. "Hei, sudah mandi? Aku ketiduran," kata Leon. Dia mengusap kedua mata dan wajahnya. "Pasti Mas Leon capek. Maaf, aku lama di dalam." Mentari kembali memperhatikan wajah Leon. Tampak lelah dan kuyu. "Mandi biar seger, tidur badannya bersih." "Hmm, yaa ... aku ga akan lama." ujar Leon. Dia mengusap lembut pipi Mentari lalu beranjak menuju kamar mandi. Mentari turun dari ranjang
Leon menggaruk kepalanya sambil memutar badan melihat ke arah pintu. Ada apa lagi? Tamu datang di saat dia sedang mulai permainan manis dengan istrinya? Astaga! Apa pihak hotel tidak tahu kalau harusnya pengantin baru tidak diganggu? Mentari pun memutar badan melihat ke arah lain. Malu sekali rasanya mengingat apa yang barusan dia dan Leon lakukan. Mentari menata napasnya. Ini baru di awal, sudah seperti itu rasanya. Pakaian Mentari bahkan masih lengkap, "Aku lihat siapa yang datang," kata Leon sambil melangkah menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan hotel berdiri di sana. Di tangan pria muda itu ada sebuah bingkisan cantik dibungkus kertas emas dengan pita manis di atasnya. "Kenapa?" Leon bertanya dengan wajah mengkerut. "Saya minta maaf, ini ada kiriman. Pesannya sangat penting dan harus sampai malam ini juga. Sekali lagi minta maaf," ujar pelayan itu. Terlihat dia tidak nyaman mengetuk pintu kamar Leon. "Oke, thank you." Leon menerima bingkisan itu dan menutup pi
Upacara sakral itu masih berlangsung. Hari bersejarah bagi dua insan yang dilanda asmara, yang bersiap memasuki kehidupan baru bersama. Saat itu saat di mana di hadapan Tuhan mereka akan mengucapkan janji, dengan sadar, dengan yakin, bahwa mereka disatukan dengan cinta melalui sebuah pernikahan kudus di hadapan-Nya. Leon merasakan getaran begitu kuat di hatinya. Rasaya syukur berlimpah yang seperti menenggelamkannya dalam kolam tapi tidak membuat Leon tak bisa bernapas. Mentari berulang kali menghapus air mata yang tak bisa dia tahan terus saja menitik. Janji pernikahan mereka ucapkan. Doa bagi kedua mempelai dinaikkan di hadirat Ilahi. Pendeta menyatakan sah, Leon dan Mentari menjadi suami istri. "Apa yang disatukan Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Tetap setialah satu sama lain, peliharanya cinta yang Tuhan hadirkan di antara kalian. Berjalanlah bersama merajut kebersamaan hingga maut memisahkan." Pesan terakhir pendeta bagi keduanya, kemudian sekali lagi pendeta itu ber
Lila berlari kecil menuju kamar utama apartemen. Di depan pintu kamar, ada Irma sudah menunggu. "Wah, cantik banget! Warna putih dan merah. Thank you!" Irma menerima buket dari tangan Lila. "Ternyata hasil karyaku ga mengecewakan, ya?" Lila tersenyum lebar. "Kamu buat sendiri? Ih, keren. Ntar aku nikah mau dong, dibuatin juga!" Irma seketika melebarkan senyumnya. "Pengantin sudah siap?" Lila melongok ke dalam kamar. "Hampir. Tinggal pasang cadar saja." Irma masuk dengan buket di tangannya. Irma dan Lila berhenti serentak. Mata mereka menatap gadis imut yang disulap menjadi ratu tercantik sepanjang hari. "Ini beneran kamu, Tari?" Lila maju dua langkah sambil matanya menatap makin dalam pada Mentari tanpa kedip. Mentari berdiri dalam balutan gaun putih panjang semata kaki. Ada pita sedikit besar yang menghiasi pinggang. Lalu bagian belakang gaun itu sedikit menyapu lantai. Di atas kepala Mentari ada mahkota kecil berwarna perak terpasang indah. Sedangkan cadar transparan menutup
Perkataan Asterita jelas dan tegas dia katakan. Leon merasa ada kehangatan kasih ibu yang begitu dalam hadir untuknya. Awalnya dia sangat kesal. Mamanya bertingkah aneh-aneh. Pasti hanya ingin mempermalukan Mentari, karena dia gadis sederhana dan tidak tahu banyak kehidupan manusia kalangan atas. Ternyata pikiran Leon salah. Asterita serius dengan yang dia lakukan demi kebaikan Leon, agar Leon tidak akan lagi terluka dan menemukan kebahagiaan utuh dalam cinta sejati yang dia butuhkan. Hati Leon melimpah dengan haru. Tatapan marah di hatinya dengan cepat berganti. "So? How?" Horacio memandang Asterita. Apakah yang dia cari sudah ketemu? Apakah dia sudah lega setelah melakukan ujian dan tantangan pada wanita-wanita yang mencintai putra sulung mereka? Asterita memandang Horacio dengan senyum kecil muncul di bibirnya yang disalut warna merah gelap, yang sangat pas di wajahnya. "Ya, kali ini aku harus mengakui, aku salah." Asterita menarik napas dalam. Mata Horacio menciut bersamaan de