Mentari memegang di tangannya ponsel dengan warna biru cerah cantik. Dia tahu itu bukan HP keluaran baru. Bahkan ponsel Mentari yang dia tinggal di rumah besar tempat penampungan wanita malam itu, masih lebih bagus. Tapi kenapa Leon membeli HP buatnya? "Mas, ini maksudnya gimana?" ulang Mentari bertanya. "Sof, jangan marah dan jangan tersinggung. Aku tahu kamu butuh HP. Kamu perlu komunikasi dengan orang lain. Dan HP itu vital zaman sekarang, Sofi." Leon mencoba menjelaskan tujuannya. "Aku tahu, Mas. Tapi ga usah Mas Agus repot beliin aku kayak gini. Mas Agus dapat uang dari mana?" tanya Mentari. Ini benar-benar di luar dugaan Mentari! "Itu HP murah, HP tipe lama." Leon tahu apa yang ada di benak Mentari. "Iya, Mas. Aku tahu," sahut Mentari. "Jujur, Mas Agus dapat uang dari mana? Jangan bilang buka celengan. Atau, hasil job Mas Agus yang lain, kayak yang nyariin kado waktu itu ... Mas, ini berlebihan." Mentari meras sangat tidak enak dengan yang Leon lakukan. "Aku cuma mau mempe
Leon tersenyum dan menggeleng kecil. "Mama kangen sama aku. Minta aku cepat pulang." Leon menjawab. "Ah, semalam jaga di sini ya, temani Om Al. Maaf. Harusnya Mas Agus bisa tidur di rumah." Mentari merasa tidak enak Leon sampai dicari ibunya. "Kamu tuh, lugu amat. Aku canda doang, Sof. Mama cuma nitip dibelikan roti buat sarapan besok." Leon bicara asal. Ada hal lain yang sebenarnya yang diinginkan mamanya, tapi Leon tidak mungkin cerita. "Oohh ..." Mentari mengangguk-angguk. "Makananku abis. Kenyang." Alman meletakkan piring di nakas kecil sebelah ranjang. Mentari bergeser tiga langkah. Dia bantu Alman minum obat. Lalu Alman merebahkan badan dengan posisi kepala agak tinggi. "Kita makan dulu, sekalian aku beresin HP. Abis itu aku pulang." Leon menepuk bahu Mentari. "Ya, Mas." Mentari manut. Mereka keluar ruangan dan menuju ke kantin. Seperti sebelumnya, Leon duduk di kursi yang sama. Mentari duduk di depannya. Mentari memesan gado-gado dua porsi. Dia langsung membayarnya seka
Asterita terkejut dengan reaksi Leon yang meledak tiba-tiba. Tidak dia kira putra sulungnya akan sekeras itu. Dia berusaha memahami selama ini luka Leon karena kehilangan dan pengkhianatan Hera. Tetapi semua itu sudah lewat. Waktu terus berjalan, Leon makin dewasa dan seharusnya dia siap memulai hubungan yang baru. "Sayang ... Mama lakukan ini karena sayang sama kamu." Asterita tidak melepaskan tangan Leon. Dia harus bisa meraih hati putranya dan membuat Leon menerima maksud baiknya. Leon akan menjadi pimpinan. Dia butuh pendamping yang tepat untuk bisa memahami dirinya. Seorang yang sepadan dan bisa mendukung Leon. Retha dalam bayangan Asterita adalah salah satu yang sangat mungkin. Dari keluarga dan pendidikan, dia akan bisa mengimbangi Leon. Tinggal keterbukaan Leon saja memberi kesempatan dirinya dan Retha untuk bisa saling mengenal. "Ada apa ini? Kalian serius sekali?" Horacio muncul dan duduk di samping Asterita. "Papa juga setuju dengan yang Mama rencanakan?" Leon beralih m
Mentari melihat jam dinding di kamar Alman dirawat. Tepat jam delapan pagi. Ya, Saatnya Mentari menemui bagian administrasi rumah sakit. Dia akan segera mengurus pembiayaan agar hari itu juga Alman bisa benar-benar pulang. Dalam hati Mentari berdoa agar tidak terlalu besar biaya yang harus dibayarkan. Walau begitu, buat Mentari akan tetap besar karena, yang pertama, dia tidak ada dana, dan kedua, ini di Jakarta. Mana ada yang murah?"Permisi. Maaf, saya ingin mengetahui administrasi untuk Pak Alman Hardian. Hari ini Pak Alman sudah bisa pulang." Mentari bicara pada pegawai yang duduk di meja depan."Oh, sebentar, saya coba cek." Dengan ramah pegawai itu meladeni Mentari.Mentari menunggu dengan harap-harap cemas. Kira-kira berapa yang harus dibayar? Kalau nego, bagaimana cara Mentari minta surat perjanjian untuk mengangsur? "Maaf, ini silakan." Pegawai Itu memberikan lembaran yang berisi catatan semua pengeluaran Alman di rumah sakit. Mata Mentari langsung tertuju pada nominal yang a
Leon merasa jantungnya berlarian ke sana sini. Di depannya Mentari memandang dengan mata lebar. Di tangannya, ponselnya berdering berulang kali. Mama tersayang masih menunggu Leon menerima panggilan darinya. "Mas, telpon!" ujar Mentari heran karena Leon tampak bingung. "Ah, ya ... oke." Leon menerima telpon tapi dia berjalan menjauh dengan alat pel di sebelah tangannya yang lain. Mentari mengerutkan kening. Lagi-lagi, Leon kalau menerima telpon tidak mau di depannya. Apa pembicaraannya privasi sekali? Kalau dengan Baharudin bicara soal film, apa perlu dia cari tempat sunyi? "Kenapa aku selalu ga nyaman kalau kamu terima telpon, Mas? Mboh wis ..." gumam Mentari. Lalu dia mengangkat kaki dari situ dan kembali ke tempatnya bekerja. Tadi dia hanya beli air mineral saja di salah satu counter minuman. Sedang Leon, dia harus meredakan suasana. Mamanya masih ngotot mau bertemu karena terlanjut Retha datang bersamanya. "Leon, sebentar saja. Masa barang sepuluh lima belas menit ga bisa, si
Asterita bisa melihat jelas kalau Retha memang sudah tertarik pada Leon. Ini pertanda baik. Jika dia serius sayang Leon, maka kebaikan hati dan ketulusan cinta Retha akan mampu meruntuhkan dinding kokoh yang Leon bangun membentengi hatinya. Asterita harus membantu Retha memenangkan hati Leon. "Kamu perlu tahu Leon seperti apa, Retha. Aku akan mengatakan apa saja yang kurasa akan menolong untuk kamu mengenal Leon." Asterita bicara serius. Dia memandang wajah Retha yang memiliki bentuk bagus. Tirus dengan tulang pipi menonjol dan dagu lancip. Sangat pas untuknya. "Aku akan menyimak, Tan. Kuharap aku bisa ingat semua." Kembali senyum manis mengembang di bibir Retha. Percakapan tentang Leon berlanjut. Sementara yang menjadi tokoh utama dalam perbintangan dua wanita itu sedang terburu-buru berganti kostum lagi dengan seragam kerja. Jangan sampai dia lambat menemui Mentari. Bantuan apa yang gadis itu perlukan? Bisa jadi memang mendesak. Apalagi Leon harus berganti kostum lagi sebelum mene
Tak tok tak tok! Derap langkah mereka nyaris sampai di tempat Mentari duduk. Mentari tidak tahu harus bagaimana. Tangannya makin gemetar. Tubuhnya makin panas dingin tidak karuan. "Tari, berpikir, jangan kalut ... tenang ..." Di hati Mentari berusaha menenangkan dirinya sendiri. Mentari harus bisa mengatasi situasi ini. Yang lalu dia berhasil kabur. Kali ini pasti juga dia bisa lepas. "Apa? Masih belum ketemu? Ga masuk akal!" Pria itu bicara dengan nada makin keras. Tidak sampai dua meter jaraknya ada di sisi kanan Mentari. "Kamu tadi bilang dia masuk di sini! Jadi?" "Dia itu dungu, Bang! Sia-sia kita kejar ke sini. Balik saja kita, Bang!" Suara serak dan tajam terdengar dari wanita yang bersama pria itu. "Dasar! Bego dipiara!" tukas pria itu kesal. Lalu keduanya bergegas meninggalkan tempat itu. Mentari menarik nafas dalam. Lega, sangat lega. Mereka tidak mengenalinya. Apa mereka orang yang sama yang mencari Mentari malam itu? "Nggak. Pasti bukan mereka. Kenapa aku setakut in
"Kamu sakit? Kok tiba-tiba?" Suara Vivin mulai cemas. Mentari sampai menangis, berarti ada yang serius. "Maaf, Bu ... saya ..." "Ya, sudah. Kamu pulang hari ini, istirahat. Pastikan istirahat dengan baik. Besok bisa kerja lagi. Besok Sabtu akan makin padat pengunjung," kata Vivin memutuskan. "Baik, Bu, terima kasih banyak," ujar Mentari. Telepon mereka berakhir. Mentari lega sekali. Vivin memang pimpinan yang baik. Dia perhatian dan tegas. Salah akan langsung dia tegur, tapi tidak enggan dia akan menolong jika karyawan ada kesulitan. Mentari masih memegang ponsel di tangannya. Dia kembali bersandar pada dinding gudang. Panas luar biasa di dalam dan jendela hanya terbuka setengah. Mentari merasa keringat sekujur tubuhnya. Tangan Mentari mengambil kertas potongan kardus yang ada di dekatnya dan memakainya menjadi kipas. "Tuhan, kalau aku mengeluh apa aku salah?" bisik hati Mentari. "Aku sendirian. Ga ada ayah dan ibu, tidak juga ada saudara. Semua yang aku jalani karena ada belas k