Mentari melihat jam dinding di kamar Alman dirawat. Tepat jam delapan pagi. Ya, Saatnya Mentari menemui bagian administrasi rumah sakit. Dia akan segera mengurus pembiayaan agar hari itu juga Alman bisa benar-benar pulang. Dalam hati Mentari berdoa agar tidak terlalu besar biaya yang harus dibayarkan. Walau begitu, buat Mentari akan tetap besar karena, yang pertama, dia tidak ada dana, dan kedua, ini di Jakarta. Mana ada yang murah?"Permisi. Maaf, saya ingin mengetahui administrasi untuk Pak Alman Hardian. Hari ini Pak Alman sudah bisa pulang." Mentari bicara pada pegawai yang duduk di meja depan."Oh, sebentar, saya coba cek." Dengan ramah pegawai itu meladeni Mentari.Mentari menunggu dengan harap-harap cemas. Kira-kira berapa yang harus dibayar? Kalau nego, bagaimana cara Mentari minta surat perjanjian untuk mengangsur? "Maaf, ini silakan." Pegawai Itu memberikan lembaran yang berisi catatan semua pengeluaran Alman di rumah sakit. Mata Mentari langsung tertuju pada nominal yang a
Leon merasa jantungnya berlarian ke sana sini. Di depannya Mentari memandang dengan mata lebar. Di tangannya, ponselnya berdering berulang kali. Mama tersayang masih menunggu Leon menerima panggilan darinya. "Mas, telpon!" ujar Mentari heran karena Leon tampak bingung. "Ah, ya ... oke." Leon menerima telpon tapi dia berjalan menjauh dengan alat pel di sebelah tangannya yang lain. Mentari mengerutkan kening. Lagi-lagi, Leon kalau menerima telpon tidak mau di depannya. Apa pembicaraannya privasi sekali? Kalau dengan Baharudin bicara soal film, apa perlu dia cari tempat sunyi? "Kenapa aku selalu ga nyaman kalau kamu terima telpon, Mas? Mboh wis ..." gumam Mentari. Lalu dia mengangkat kaki dari situ dan kembali ke tempatnya bekerja. Tadi dia hanya beli air mineral saja di salah satu counter minuman. Sedang Leon, dia harus meredakan suasana. Mamanya masih ngotot mau bertemu karena terlanjut Retha datang bersamanya. "Leon, sebentar saja. Masa barang sepuluh lima belas menit ga bisa, si
Asterita bisa melihat jelas kalau Retha memang sudah tertarik pada Leon. Ini pertanda baik. Jika dia serius sayang Leon, maka kebaikan hati dan ketulusan cinta Retha akan mampu meruntuhkan dinding kokoh yang Leon bangun membentengi hatinya. Asterita harus membantu Retha memenangkan hati Leon. "Kamu perlu tahu Leon seperti apa, Retha. Aku akan mengatakan apa saja yang kurasa akan menolong untuk kamu mengenal Leon." Asterita bicara serius. Dia memandang wajah Retha yang memiliki bentuk bagus. Tirus dengan tulang pipi menonjol dan dagu lancip. Sangat pas untuknya. "Aku akan menyimak, Tan. Kuharap aku bisa ingat semua." Kembali senyum manis mengembang di bibir Retha. Percakapan tentang Leon berlanjut. Sementara yang menjadi tokoh utama dalam perbintangan dua wanita itu sedang terburu-buru berganti kostum lagi dengan seragam kerja. Jangan sampai dia lambat menemui Mentari. Bantuan apa yang gadis itu perlukan? Bisa jadi memang mendesak. Apalagi Leon harus berganti kostum lagi sebelum mene
Tak tok tak tok! Derap langkah mereka nyaris sampai di tempat Mentari duduk. Mentari tidak tahu harus bagaimana. Tangannya makin gemetar. Tubuhnya makin panas dingin tidak karuan. "Tari, berpikir, jangan kalut ... tenang ..." Di hati Mentari berusaha menenangkan dirinya sendiri. Mentari harus bisa mengatasi situasi ini. Yang lalu dia berhasil kabur. Kali ini pasti juga dia bisa lepas. "Apa? Masih belum ketemu? Ga masuk akal!" Pria itu bicara dengan nada makin keras. Tidak sampai dua meter jaraknya ada di sisi kanan Mentari. "Kamu tadi bilang dia masuk di sini! Jadi?" "Dia itu dungu, Bang! Sia-sia kita kejar ke sini. Balik saja kita, Bang!" Suara serak dan tajam terdengar dari wanita yang bersama pria itu. "Dasar! Bego dipiara!" tukas pria itu kesal. Lalu keduanya bergegas meninggalkan tempat itu. Mentari menarik nafas dalam. Lega, sangat lega. Mereka tidak mengenalinya. Apa mereka orang yang sama yang mencari Mentari malam itu? "Nggak. Pasti bukan mereka. Kenapa aku setakut in
"Kamu sakit? Kok tiba-tiba?" Suara Vivin mulai cemas. Mentari sampai menangis, berarti ada yang serius. "Maaf, Bu ... saya ..." "Ya, sudah. Kamu pulang hari ini, istirahat. Pastikan istirahat dengan baik. Besok bisa kerja lagi. Besok Sabtu akan makin padat pengunjung," kata Vivin memutuskan. "Baik, Bu, terima kasih banyak," ujar Mentari. Telepon mereka berakhir. Mentari lega sekali. Vivin memang pimpinan yang baik. Dia perhatian dan tegas. Salah akan langsung dia tegur, tapi tidak enggan dia akan menolong jika karyawan ada kesulitan. Mentari masih memegang ponsel di tangannya. Dia kembali bersandar pada dinding gudang. Panas luar biasa di dalam dan jendela hanya terbuka setengah. Mentari merasa keringat sekujur tubuhnya. Tangan Mentari mengambil kertas potongan kardus yang ada di dekatnya dan memakainya menjadi kipas. "Tuhan, kalau aku mengeluh apa aku salah?" bisik hati Mentari. "Aku sendirian. Ga ada ayah dan ibu, tidak juga ada saudara. Semua yang aku jalani karena ada belas k
"Kamu ga pingin keluar? Mau di sini aja?" Leon merasa Mentari masih belum benar-benar merasa lebih baik. Mentari mengerjap beberapa kali. Apa dia akan kalah dengan rasa takutnya? Orang-orang yang dia temui itu sama sekali tidak kenal dengannya, tidak ada hubungan dengan dirinya, dan dia bukan Mentari. Dia Sofia Agatha, pegawai mal, gadis berambut merah kecoklatan dan berponi. Mentari menanamkan itu pada dirinya. "Sof ..." Lebih lembut Leon bicara. "Oke, aku mau," kata Mentari seraya mengangguk. "Tapi ... aku ..." "Ga lama-lama, ga sampai malam," sahut Leon. "Oh, oke ..." Mentari mengangguk lagi. Leon menengok arlojinya. "Aku harus balik sekarang. Jam setengah tujuh, pintu depan, ya?" Leon memastikan janjian jalan bareng deal, lalu Leon berdiri, bersiap kembali ke tempatnya bekerja. "Iya, Mas." Mentari mengiyakan sambil lagi-lagi mengangguk. Leon meninggalkan gudang. Pintu dia biarkan terbuka. Mentari terus menatap keluar meskipu Leon tak tampak lagi. "Hari apa ini? Kenapa up
Mentari memandang Leon. Apa pria tampan itu memang tidak tahu kalau di tempat seperti itu yang namanya murah bisa jadi mahal untuk masyarakat kecil? "Mas, yakin mau beli di sini?" Mentari mendekatkan tubuhnya menempel ke bibir meja. "Iya, emang di sini." Leon menjawab dengan anggukan juga. "Nanti bayarnya bagi dua. Ini masih tengah bulan, Mas." Mentari menatap Leon lekat-lekat. Leon membalas tatapan itu. Gadis di depannya ini memang lugu, polos, dan tulus. Dia tidak memanfaatkan orang lain yang baik padanya. Dia justru tidak mau orang lain repot karena dia. Leon makin mengagumi kepribadian Mentari. "Sofi, kalau aku ajak kamu ke sini, itu berarti aku sudah mempertimbangkan semua." Leon ikut maju dan menempelkan tubuhnya di pinggir meja. "Aku mengajak kamu ke sini, ingin kamu happy ... tapi ..."Spontan tangan Mentari terangkat dan memegang tangan Leon yang ada di atas meja. "Mas, maaf ... aku happy, kok. Aku senang Mas Agus ajak aku ke sini." Mentari cepat bicara, memperbaiki situ
Mentari menjatuhkan sendok yang dia pegang. Ungkapan pertama yang dia dengar, Mentari masih mengira salah menangkap di telinganya. Tetapi yang kedua, saat Leon mengulangnya ... 'yo te amo' -- 'aku cinta kamu' -- 'i love you' -- pasti itu sengaja dan niat Leon ucapkan. Keduanya masih saling menatap. Mentari tidak tahu harus bicara apa. Leon pun terkejut, dia bisa mengucapkan kata itu begitu cepat. Bukan seperti ini yang dia mau! Dia sudah membayangkan romantis dan manisnya saat nanti dia akan menyatakan isi hati pada Mentari, lalu membuka dirinya sebagai Leon dan bukan Agus. Tapi yang terjadi? "Maksudnya ... Mas Agus mau kita jadian ...?" Bibir Mentari mengucapkan kalimat yang jauh di dasar hatinya adalah harapannya terhadap pria tampan penuh pesona itu. Leon seperti tersadar apa yang sedang terjadi. "Ya ... kita jadian." Kepalang tanggung, tidak bisa mundur. Leon akan maju dan menunjukkan dia memang sayang pada Mentari dan ingin gadis itu bersamanya. Mentari menarik nafas dalam. D